Kenanganku tentang Alm. Romo Frietz R. Tambunan, Pr
|
Bersama Romo Frietz dalam rangkaian Konser Credo Choir di Yogyakarta (dokpri, Foto by Pakde) |
Dimula ni mulana ditompa Debata ma langit dohot tano
on.
Bahasa Batak yang berarti “Pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi” tersebut merupakan kalimat pertama pada Kitab
Kejadian Bab 1 yang akan selalu membawa saya pada kenangan akan sosok Alm. Romo
Frietz R. Tambunan,
Pr. Mengingatnya pun selalu membuat saya tersenyum sendiri.
Suatu malam di tahun 1999 sebelum memimpin ibadat
bersama kelompok Paduan Suara Credo (Credo Choir) Romo
Frietz meminta saya membaca Kitab Suci. Saya langsung menyanggupi tanpa lebih
dahulu bertanya perikop mana yang nantinya harus dibaca. Namun, alangkah
terkejutnya saya ketika Romo Frietz menyerahkan Kitab Suci yang sudah terbuka.
Kitab Suci tersebut bertuliskan bahasa Batak, saudara-saudara! Meskipun cukup
syok, saya tetap membacanya sebaik mungkin. Alhasil, dalam kekhidmatan ibadat
beberapa teman tampak menyunggingkan senyuman pertanda geli. Bagaimana tidak?
Saya membaca Kitab Suci berbahasa Batak dengan logat Jawa yang sangat kental.
Alamak!
Paduan Suara Credo yang didirikan Romo Frietz pada
awal Januari 1999 ini beranggotakan kaum muda lajang dari berbagai latar
belakang--mahasiswa, dosen, pegawai, dll. Sebagai pendatang baru di kota Medan,
tentu saya sangat senang ketika diajak bergabung. Meskipun di Jawa saya juga
turut dalam kelompok paduan suara, tetapi sebenarnya suara saya pas-pasan.
Seingat saya dari 40-an anggota Credo Choir, sekitar
90%-nya menyandang marga/boru Batak yang terkenal hebat dalam bernyanyi.
Selebihnya ada juga dari suku Nias, Cina, Manado, dll., termasuk saya yang
orang Jawa. Jadi, walaupun terkesan ngeprank, kala itu saya menangkap bahwa
maksud Romo Frietz meminta saya membacakan Kitab Suci berbahasa Batak adalah
untuk membuat saya tidak merasa minder sebagai minoritas. Melalui selera
humornya yang paten itu, beliau hendak mengatakan bahwa saya diterima dengan
baik sekaligus mengajak saya untuk mulai mencintai lingkungan, budaya, dan
komunitas baru yang akan menjadi keseharian saya. Di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung.
Meskipun tidak fasih dalam percakapan--yang paling
kuhafal cuma “horas” dan “mauliate”--belakangan saya dituntut lancar
menyanyikan sejumlah lagu bahasa Batak yang diajarkan dalam Credo Choir. Meskipun
cenderung belepotan, tetapi saya sangat suka dengan satu lagu berirama rancak
yang diajarkan. Judulnya “Marmutik Inggir-Inggir”. Marmutik inggir
inggir/marparbue tada tada/ro ahu nuaeng sinuru ni halak amanta/ mangalehon
sada tin tin ima tin tin namar mata... dago da ito dago da ito/ dai da go ale
ito... .
Begitulah! Karena semenjak awal Romo Frietz sudah
mengajari untuk mencintai bahasa yang bukan bahasa ibu saya maka saya pun dapat
menyanyi dengan setulus hati. Romo selalu mengingatkan bahwa musik tidak
mengenal batas-batas etnis.
Romo yang berperawakan tinggi besar serta murah senyum
ini mengajarkan beragam jenis lagu dalam kelompok Credo Choir. Selain
lagu-lagu gerejawi umum atau bernuansa etnis, kami juga diajari lagu-lagu
gerejawi klasik karya Friedrich Händel, Franz Schubert, Carl Boberg, Verdi, dll. yang
umumnya dipelajari juga oleh kelompok paduan suara gerejawi lain. Namun, ada
satu keistimewaan Credo Choir! Secara
khusus Romo Frietz mengajari kami menyanyikan lagu-lagu Taizé, yang kemudian
bahkan menjadi semacam “trade mark” bagi paduan suara kami.
Romo Frietz bukan sekadar mengajari kami menyanyi
lagu-lagu Taizé, tetapi melatih bagaimana menyanyikannya dari dalam hati dengan
penuh penghayatan. Seperti diketahui, lagu-lagu Taizé meskipun sederhana tetapi
mampu membawa umat kepada suasana meditatif yang mendalam. Dengan sabar Romo
mengajari bagaimana cara menyanyikan lagu tersebut dengan pelan dan lembut
tetapi mengalirkan energi yang kuat serta mampu menghadirkan suasana doa yang
khidmat. Tentu tidak mudah bagi teman-teman dari etnis Batak yang biasa
menyanyi dengan powerful ‘lantang’; tidak juga bagi orang Jawa seperti saya
yang bukan dari golongan priyayi nan lemah lembut. Nyatanya Romo Frietz
berhasil menempa kami hingga boleh dibilang Credo Choir selalu
mengesankan dalam setiap penampilan! Syahdu membawakan lagu-lagu Taizé, tetapi
tetap gegap gempita menyanyikan Halleluja Händel.
Beberapa hari sebelum mendengar kabar berpulangnya
Romo Frietz, tanpa saya sadari ada kerinduan mendalam untuk beribadat Taizé
seperti saat masih bersama Credo Choir. Saya
menyukai semua lagu Taizé. Namun, kemarin hampir tiap hari saya menyanyikan
Nada te Turbe ‘Janganlah Cemas’. Saya bahkan iseng membuat video rekaman
ecek-ecek. Menurut Romo, lagu ini harus dinyanyikan dengan ringan dan riang
untuk mengajak orang agar tidak cemas ataupun takut karena di dalam Tuhan
berlimpah rahmat. Saat membawakan lagu ini biasanya kami duduk dengan kedua
tangan ditepuk-tepukkan pelan di atas paha disertai ekspresi gembira serta
sedikit berayun-ayun. Kekhidmatan selalu ada dalam lantunan lagu-lagu Taizé.
Saya ingat betapa dalam banyak kesempatan Romo Frietz selalu mengajak kami melakukan
misa atau ibadat meditatif dengan iringan lagu-lagu Taizé. Saya yakin
teman-teman anggota Credo Choir juga
memiliki kesan mendalam seperti yang saya rasakan. Di antara banyak misa dan
ibadat bersama beliau, ada satu yang sangat berkesan dan membekas dalam ingatan
saya, yaitu yang kami lakukan di atas kapal kecil yang terombang-ambing di
tengah Danau Toba.
Sosok Romo yang cerdas, ramah, murah hati, dan energik
serta suka bercanda ini sungguh menginspirasi saya dan semestinya juga siapa
pun yang pernah mengenalnya. Melalui ketekunan beliau, kami telah ditempa
sekaligus disadarkan bahwa Tuhan berkenan bekerja melalui setiap pribadi,
termasuk lewat suara yang mungkin bahkan tidak merdu. Dengan tekun Romo melatih
hingga suara kami padu, lalu mengajak kami melayani Tuhan ke mana pun seturut
kehendak-Nya. Kala itu, didukung oleh Yayasan Aku Percaya pimpinan Bapak
Antonius Sujata SH, Romo Frietz juga telah membawa Credo Choir jajah deso
milang kori ‘menjelajah banyak tempat’ untuk merasul dan mewartakan kasih Allah
lewat beragam lagu gerejawi sekaligus mempopulerkan lagu-lagu Taizé. Kala itu
kami melang-lang buana ke berbagai daerah, mengadakan sejumlah konser di Medan,
Samosir, Jakarta, dan Yogyakarta, bahkan sempat pula masuk dapur rekaman MMA
Record dan melahirkan album (ketika itu masih berupa kaset). Kiranya Tuhan
sungguh berkenan dan memberkati usaha dan perjuangan Romo Frietz menghimpun dan
membina persaudaraan sekaligus menempa laskar Kristus untuk mewartakan
kasih-Nya lewat suara. Hingga kini nama Credo Choir masih tetap
eksis, begitupun persaudaraan di antara para anggota dan mantan anggotanya.
Sayang kemudian hari saya harus meninggalkan kota
Medan dan berpisah dengan beliau juga teman-teman di Credo Choir.
Bagaimanapun saya sangat bersyukur karena Tuhan pernah mempertemukan saya
dengan Romo Frietz. Melalui mars Credo Choir, “Aku
Percaya” yang ditulis Bapak Antonius Sujata dan diaransemen oleh Romo Frietz
saya selalu diingatkan bahwa Credo “Aku Percaya” bukan sekadar pernyataan
basa-basi, tetapi juga keyakinan dan kekuatan iman yang senantiasa percaya akan
janji Tuhan. Oleh karenanya, saya pun mengimani dan percaya bahwa malaikat
Allah telah membawa jiwa romo/guru/pembimbing/sahabat kami tercinta untuk
berkumpul bersama para kudus-Nya di surga.
Selamat jalan Romo. You’ll never be forgotten, may
you rest in peace.
Depok, 18 Mei 2020
Catatan: