Kamis, 20 Oktober 2016

Kasih adalah Kata Favoritku

Foto: Image by simplu27 from Pixabay
Kata yang paling kusukai adalah ‘kasih’. Bagiku kata tersebut selalu terdengar menetramkan. Termasuk dalam berbagai padanannya (cinta, sayang, kasih sayang, love, affection, dsb.) dan kata berimbuhan dari kata sifat tersebut (kekasih, pengasih, pecinta, mencintai, dicintai, penyayang, menyayangi, dsb.). Kata ‘kasih’ dapat berelasi baik dengan semua kata: cokelat, bunga, rumput, hujan, awan, tanah, matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Kata ‘kasih’ mampu menginspirasi hingga membuatku menjelma penyair/penulis yang melahirkan puisi serta kisah romantis yang menyejukkan dan membahagiakan hati pembaca.    

Kasih sudah kualami sebelum aku mengenal diriku sendiri, saat aku masih berupa janin dalam kandungan ibuku. Aku yakin betapa ibu dan ayahku sangat mengasihiku bahkan sebelum mereka melihat wujudku. Aku ada karena kasih Sang Pemberi Hidup; karena kasih antara kedua orang tuaku; karena kasih dokter dan perawat yang membantu kelahiranku; dan sebagainya. Setelah lahir sepanjang hidup, kudapat tambahan kasih dari sanak keluarga dan handai taulan, juga kawan-kawan yang datang silih berganti. Meskipun hingga saat ini aku belum menemukan kekasih hati pasangan hidupku, aku tetap merasa bahagia berkat Kasih Tuhan dan kasih semua orang di sekelilingku yang kualami setiap hari.   

Ada kerinduan untuk selalu menjadi orang yang penuh kasih. Namun ternyata tidak mudah. Karena kasih bkan sekadar kata sifat yang mudah disandang, sebaliknya memiliki konsekuensi sangat luas. Apalagi jika teringat perikop terkenal mengenai ‘Kasih’ dalam Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Huufff! Sekadar menghafal ayat tersebut dengan sempurna saja sangat sulit, apalagi untuk mengimplementasikannya. Betapa sulit bersikap sabar saat seseorang—bahkan yang sangat kita sayangi—demikian menjengkelkan. Sangat sulit untuk tetap sabar dan tidak menjadi pemarah ataupun menyimpan kesalahan pada orang/situasi yang . Sulit untuk bermurah hati ketika aku berkekurangan. Di lain waktu aku justru mencari keuntungan dari orang lain. Walaupun begitu karena telah mengimani Kristus, aku wajib berjuang untuk menjadi pribadi penuh kasih seperti Dia. Kalaupun hari ini gagal, aku harus berusaha esok hari. Jika esok belum berhasil, kuharap lusa aku bisa, dan seterusnya. 


Depok, 20 Oktober 2016

Waktu Kita vs. Waktu Tuhan


Lokasi: Stasiun Manggarai Foto: @dwi_klarasari
Siang menjelang sore, KA Menoreh dari Semarang yang kutumpangi tiba di Stasiun Jatinegara. Dengan menyeret travel bag aku turun dari gerbong dan setengah berlari menghampiri gateway penumpang Commuter Line (KRL). Ya, aku harus melanjutkan perjalanan ke Depok dengan KRL. Meskipun KRL akan melewati jalur yang sama dan aku sudah memiliki tiket berlangganan (multi trip), tetap saja aku harus lebih dulu menempelkan tiketku pada mesin gateway sebagai tanda masuk. Alih-alih keluar dari stasiun, aku langsung mendatangi mesin gateway di area lobi dan meminta tolong satpam untuk menempelkan tiketku dari arah dalam.

Namun Satpam tersebut menolak dengan sopan. “Ibu harus keluar dari stasiun dulu, baru masuk lagi dan nge-tap sendiri tiketnya,” katanya.

Begitulah konsep pelayanan di stasiun ini. Penumpang KA dari luar kota yang turun dan hendak melanjutkan perjalanan dengan KRL harus keluar dari stasiun, berjalan menyusuri trotoar, lalu masuk lagi lewat pintu stasiun yang lain. Jaraknya cukup jauh dan memakan waktu, sehingga membuat jengkel penumpang yang terburu-buru sepertiku hari ini—aku harus sampai Depok sebelum pukul 17.00 WIB untuk sebuah pertemuan. Belum lagi jika harus menyeret travel bag dan menggendong ransel yang lumayan berat.   

“Tolonglah Pak… sebentar lagi CL-nya datang,” pintaku. Kupasang raut muka memelas.
“Maaf Bu, tidak bisa!” Satpam menjawab tegas.
“Ah, Bapak ini… kemarin-kemarin bisa, kan?” Aku berusaha mencari celah.
“Sekarang tidak bisa lagi Bu, sudah dipasang kamera CCTV! Kalau ketahuan kami bisa kena tegur!” 

Jawaban Satpam membuatku diam seribu bahasa. Manalah mungkin kukorbankan pekerjaan satpam tersebut hanya demi egoku. Dengan nada kesal kukeluhkan sistem sirkulasi penumpang yang tidak efisien.  Petugas berseragam biru tua tersebut hanya mengangkat bahu dan tersenyum mahfum. Sambil mengomel aku bergegas meninggalkannya dan berjalan ke pintu keluar. Gerimis di luar stasiun membuatku bertambah kesal, karena aku harus menapaki trotoar becek dan berlubang-lubang. Syukurlah, tepat saat melewati mesin gateway, kudengar informasi bahwa KRL yang hendak kunaiki baru akan tiba setelah melewati dua stasiun lagi. Aku tersenyum senang. Ah, pas sekali waktunya! Kalau tadi jadi nge-tap dari dalam, meskipun lebih cepat tetapi pasti aku akan terlalu lama menunggu di peron. 

Akhirnya aku berhasil naik KRL jurusan Jakarta Kota dan turun di Stasiun Manggarai untuk melanjutkan perjalanan ke Depok. Aku sudah berdiri di peron tepat di depan jalur 6—jalur untuk KRL jurusan Depok/Bogor. Aku datang tepat lima menit sebelum jadwal KRL tujuan Bogor tiba. Namun lima menit tersebut berlalu tanpa kehadiran KRL yang kunanti. Lalu 15’, 20', hingga akhirnya 60 menit berlalu, tetapi KRL yang kutunggu tidak kunjung tiba. Setiap kali melihat jam aku berpikir akan terlambat sampai Depok. Setelah cukup lama barulah terdengar informasi bahwa ada gangguan perlintasan sehingga KRL tidak dapat tiba sesuai jadwal. 

Singkat cerita lintasan kembali normal, dan aku pun mendapatkan KRL jurusan Depok. Namun, waktu untuk pertemuan sudah pasti terlewat jika aku tiba di Depok. Aku yakin tidak akan bisa menghadirinya. Sepanjang jalan aku merasa tidak enak karena ponselku mati dan tidak bisa mengirim pesan. Namun setibanya di Depok, aku mendapat kabar bahwa pertemuan diundur karena sesuatu hal. Aku tersenyum lega. Beruntung KRL-nya terlambat. Seandainya aku sampai di Depok tepat waktu dan tahu bahwa pertemuan dibatalkan, pasti aku kecewa kepada banyak orang. Lalu, mungkin saja aku akan melampiaskan kejengkelan dengan berkata-kata buruk.   

Demikianlah yang sering terjadi dalam kehidupan. Saat mengalami ketidaksinkronan waktu antara rencana dan kenyataan, banyak dari kita cenderung mengeluh. Lalu, berprasangka serta menyalahkan orang/segala hal di sekitarnya, dan yang lebih buruk adalah mengajukan protes bahkan menggugat Tuhan. Kita pun sering mempertanyakan pada Tuhan tentang segala permohonan yang tak kunjung terkabul padahal sudah lewat dari tenggat waktu—tentu saja waktu yang kita tentukan sendiri. Acap kali kita tidak sabar dan terburu-buru untuk mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa peduli apa pun. Dalam ketergesaan kita cenderung gegabah dalam melangkah dan tak ragu mengambil jalan pintas menyalahi aturan. Semua tersebab kita hanya mengenal satu penunjuk waktu, yaitu ‘waktu kita’. Kita lupa bahwa setiap hela napas dan jalan hidup kita hanya akan terjadi atas kehendak Tuhan. Sementara, waktu Tuhan bukanlah waktu kita.    

Jangankan bertindak gegabah dan menyalahi aturan, bahkan sekalipun kita bertindak sesuai aturan jika Tuhan tidak berkenan maka apa yang kita inginkan tidak akan tercapai. Bagaimanapun sempurnanya perhitungan waktu yang kita buat, jika Tuhan tidak berkehendak maka hal tersebut tidak akan terjadi. Benarlah kata Pengkotbah 3:1, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” 

walau kita telah ikuti aturan dunia
sudah ada di jalur yang benar dan
pada waktu yang sungguh tepat
tetapi bila tuhan tak berkenan
kereta yang sesuai tujuan
boleh jadi tidak tersedia
di jalur dan waktu itu
karena selalu ada
rencana tuhan
dalam setiap
perkara

Seperti pengalaman sederhana di atas, terkadang ada hal-hal yang entah bagaimana muncul menjadi penghalang dalam pekerjaan/aktivitas kita. Namun setelah kejadian berlalu dan kita merenungkan kembali sering kita menyadari bahwa beberapa kendala tersebut ternyata justru menguntungkan kita. Beberapa orang dengan insting kuat sering menyebutnya sebagai peringatan/pertanda dari Tuhan. Tidak heran jika setelah suatu kejadian sering kali kita menjadi mahfum, dan melontarkan kalimat seperti: Syukurlah kemarin kita tidak jadi berangkat, kalau jadi pasti kita terikut dalam kecelakaan itu; Andai saja kita nekat pasti akan bangkrut lebih besar lagi; Kalau ini… kalau itu… andaikan tidak begini atau begitu, dan sebagainya. Setelah badai usai dan menengok ke belakang kita akan bersyukur dan merasa bahagia.  

Meskipun sering terlambat menyadari, setidaknya setiap pengalaman boleh kita jadikan refleksi. Saat menoleh ke belakang—merenungi semua yang telah terjadi dalam hidup—kita akan semakin percaya bahwa memang waktu Tuhanlah yang paling sempurna. Di jalan peziarahan ini, kita wajib berusaha sebaik mungkin, termasuk merencanakan waktu. Namun kita perlu ingat bahwa tidak ada kebetulan dalam hidup kita, karena hidup kita adalah rancanganNya. Iman kita hendaklah selalu berpengharapan dan mengandalkan Tuhan. Sementara doa menjadi sarana bagi kita untuk berkomunikasi dengan Allah serta berserah pada kehendakNya. Karena “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya…,” (Pkh 3:11)  

Depok, 20 Oktober 2016.

Note:
Renungan: Melukiskan Allah dalam Segala Hal
Ditulis untuk Bandung Writing Camp 28-29 Okt 2016