Selasa, 28 Oktober 2008

Kapalku [Tidak] Singgah di Kota Dumai


Sumber gambar: Google Maps

Waktu itu hari ke-17 di bulan Agustus. HUT Kemerdekaan Indonesiaku tercinta. Merdeka!!! Sembari menunggu iklan saat jeda talk show di TV, tanganku meraih album foto. Entah, kekuatan apa yang telah menggerakkannya. Lalu mulai kubuka lembaran-lembaran album dan refleks kuingat cerita di balik setiap foto. Sekali waktu tersenyum, di saat lain ingin menangis. Begitulah kalau sedang bernostalgia!

Tiba-tiba, tatapanku berhenti "Pada Sebuah Kapal" (Mirip judul novel NH Dini, ya?) Maksudnya, aku terpana pada sebuah foto di mana aku dan beberapa teman berdiri dengan latar sebuah kapal besar. 

Melayanglah ingatanku pada peristiwa 10 tahun silam. Ya, foto itu memang diambil 10 tahun yang lalu, di Pelabuhan Dumai. Kapal yang menjadi latar foto berjuluk KM Sinabung. Kami berfoto sesudah turun dari KM Sinabung yang baru berlabuh. 

Berlabuhnya kapal di Dumai bukan sekadar berlabuh. KM Sinabung berhasil merapat ke pelabuhan setelah sehari semalam terapung-apung di tengah samudera. Sebelumnya, kapal yg seharusnya membawa kami berlayar dari Belawan (Medan) ke Tanjung Priuk (Jakarta) itu mengalami kecelakaan.

Kami berfoto di Pelabuhan Dumai dengan latar belakang KM Sinabung (Foto koleksi salah satu dari kami)
Anehnya, kecelakaan yang dialami oleh kapal yang kami tumpangi justru hanya kami dengar dari mulut ke mulut. Katanya KM Sinabung ditabrak oleh sebuah kapal tanker. Katanya kapal kami tidak berada pada jalurnya. Konon katanya sang nakhoda asyik berduaan di luar ruang kemudi sehingga tidak melihat sinyal tanker. Semua memang hanya "katanya" karena waktu itu pun kami tidak mendapat penjelasan dari pihak KM Sinabung.
 
Begnilah kisah 10 tahun silam yang berhasil kuingat.
KM Sinabung berangkat dari Belawan tanggal 16 Agustus sekitar pukul 15.00 WIB. Hari itu menjadi perjalanan pertamaku dengan kapal besar. Sebelumnya aku hanya pernah menumpang feri antarpulau. Sebenarnya waktu itu aku sedikit takut naik kapal jarak jauh. Aku pergi karena bujukan Kak Nita-sahabatku. Aku hendak ke Semarang, sedangkan dia ke Yogyakarta.
 
Kami mendapat kabin berkapasitas 6 orang. Aku lupa, mungkin itu kabin kelas 3. Setelah menyimpan barang, kami menikmati sore di atas dek. Sebentar saja aku dan Kak Nita sudah berteman dengan Debora, seorang turis dari South Africa, yang menjadi salah satu penumpang di kabin kami. 

Setelah makan malam dan menyusuri sudut-sudut kapal sambil mengobrol, kami pun masuk kabin untuk beristirahat. Pengumuman terakhir yang kudengar adalah pada malam hari (16 Agustus). Isinya: Besok pagi tanggal 17 Agustus seluruh ABK wajib mengikuti upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan RI.
 
Dini hari kira-kira pukul 4, kami terbangun karena goncangan kapal. Kulihat tirai penutup tempat tidur meluncur dan terbuka begitu aja. Serentak, kami semua turun dari tempat tidur dan dengan ketakutan segera membuka kabin. 

Di lorong kulihat orang-orang berlarian membawa pelampung. Semua panik! Beberapa anak kecil menangis di gendongan orang tuanya. Aku langsung teringat adegan dalam film Titanic. Kubayangkan pasti semua orang berlari ke lokasi sekoci. Mungkinkah kapal ini akan tenggelam seperti Titanic? Rasa takut menyelimutiku.

Sore tadi di dek aku curhat kepada Debora, kubilang aku naik kapal oleh desakan Kak Nita. Sebenarnya ada rasa takut setelah nonton film Titanic, karena aku tak bisa berenang.

Selain Debora yang lenyap dalam hitungan detik, teman-teman lain masih ada di kabin. Mereka juga ketakutan, tetapi tidak seheboh yang lain. Kak Nita bahkan sempat mengingatkanku untuk mengganti jeans dengan celana yang lebih tipis. Mungkin, maksudnya kalau tercebur ke laut tidak menjadi berat. Demikian yang terlintas dalam pikiranku. 

Lalu, Kak Nita mengajak kami berdoa bersama. Setelah berdoa, kami keluar kabin dengan tenang. Kami membawa pelampung yang tersisa dan barang berharga dalam tas kecil. Doa dan ketenangan orang-orang di sekelilingku telah melenyapkan ketakutan itu.

Puji Tuhan, ternyata kapal kami tidak akan tenggelam. Meskipun demikian perjalanan kami harus terhenti di tengah lautan. Konon, jangkar tanker terlempar ke kapal kami. Konon kecelakaan akan diselesaikan di darat. Jadilah tanker pergi meninggalkan jangkar pada kapal kami dengan rantainya yang terjuntai. Kapal kami terapung menunggu bantuan untuk memotong rantai jangkar. 

Setelah kapal penolong datang, pemotongan rantai jangkar berlangsung semalaman. Kami terapung semalaman dengan kesulitan MCK di beberapa bagian kapal, karena sebagian pipa air turut patah. Bau toilet menyengat di sana sini. Kami kesulitan mendapat air panas. 

Komunikasi untuk menghubungi keluarga terbatas, sementara televisi telah menyiarkan kecelakaan itu. Tentu keluarga yang menunggu menjadi cemas. Namun, seingatku tak sekali pun kami dengar penjelasan dari awak kapal perihal kecelakaan itu. Bahkan untuk sepenggal kata maaf!

Akhirnya kapal mulai bergerak. Konon Dumai adalah pelabuhan terdekat yang bisa dicapai. Persinggahan kami di kota Dumai benar-benar membawa damai. Kami bisa sedikit lega. Segera setelah turun dari kapal nahas itu, kami segera menyebar ke sekitar pelabuhan mencari telepon umum. Semua penumpang tak sabar untuk dapat segera memberi kabar orang-orang tercinta bahwa kami selamat. 

Setelah melalui perjuangan yang sengit, bahkan terjadi demo dari para mahasiswa, akhirnya kami mendapat penggantian senilai dengan kelas tiket. Saya dan teman-teman sekabin termasuk dalam rombongan yang disewakan bus Antar Lintas Sumatera.  Koordinasi perjalanan pun dilakukan. Mereka yang punya cukup uang memilih melanjutkan perjalanan dengan pesawat dari kota Pekanbaru.

Singkat cerita aku dan teman-teman sampai di Jakarta pada tanggal 20 Agustus. Kisahnya memang tidak sesingkat itu. Namun, kami terus bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Tuhan masih memberi keselamatan. 

Kala itu aku sempat melihat sisi kapal yang hancur oleh hantaman jangkar (seingatku ada 3 lantai). Sangat sedih mengetahui beberapa orang tidak sempat menyelamatkan diri. Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka berpulang dalam damai dan keluarganya dikuatkan!

Saat kutulis kisah ini, aku berandai-andai menemukan teman-teman sekabin. Hanya dengan Kak Nita saja aku masih terhubung karena kami memang pernah sekantor. Debs, Nantulang dan putri cantiknya yang calon dokter tak kuketahui keberadaannya sekarang. 

Sebenarnya ingin pula kudengar kabar teman-teman yang memperjuangkan hak kami mendapatkan transportasi pengganti yang layak. Bode yang waktu itu adalah mahasiswa S2 di kota Bandung; sejumlah mahasiswa di Yogyakarta; teman-teman yang ada dalam satu frame dengan latar KM Sinabung; dan semua saudara senasib dalam bus yang membawa kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta. 

Kami sebagian penumpang KM Sinabung dalam bus yang membawa kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta (Foto koleksi salah satu dari kami)

 
Teman-teman dalam satu kabin (Foto koleksi salah satu dari kami)


Ah, beruntung sekali masih ada foto-foto tersebut dan sedikit ingatan. Semoga kenangan ini memberikan peneguhan atas iman dan pengharapan.


Jakarta, 28 Oktober 2008

PS: 
Teman-teman, di manakah kalian semua? Semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya! Semoga transportasi laut di Indonesia semakin baik dari waktu ke waktu.