Selasa, 28 Oktober 2014

Nasib Bahasa Indonesia Memprihatinkan (?)


Dalam posisinya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur terbanyak di antara bahasa-bahasa lain yang terdapat di Nusantara.Menurut catatan Wikipedia, bahasa Indonesia dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia. Bolehlah jika dikatakan bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.Selain itu, bahasa Indonesia digunakan hampir di segala bidang kehidupan: sebagai bahasa pengantar dan pergaulan antaretnis dan juga sebagai bahasa resmi dalam kegiatan pemerintahan, dunia kerja, dunia pendidikan, dan banyak lagi.


Penutur bahasa Indonesia ternyata juga tersebar di luar wilayah Nusantara. Perpindahan pendudukkarena berbagai alasan—sejak zaman kolonial hingga kini—telah membawa bahasa Indonesia ke berbagai penjuru dunia. Kini, penutur bahasa Indonesia dapat dijumpai di berbagai negara, seperti Malaysia, Filipina, Korea, Hong Kong, Singapura, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, serta beberapa negara Timur Tengah. Bahkan, bahasa Indonesia termasuk dalam 10 besar bahasa dengan jumlah penuturterbanyak. Menurut World Almanac (2005), bahasa Indonesia berada pada tempat ke-7 dengan jumlah penutur sebanyak 176 juta orang. Tahun 2009, Ethnologue: Languages of the world menempatkan bahasa Indonesia—sebagai bahasa dengan jumlah penutur terbanyak—pada peringkat ke-9 setelah bahasa Portugis.


Nah, jika sedemikian populer, mengapa dikatakan bahwa nasib bahasa Indonesia memprihatinkan? Dengan banyaknya jumlah penutur, tentu bahasa Indonesia pun tidak termasuk salah satu dari ribuan bahasa yang terancam punah, bukan? Mungkin bukan hal berlebihan juga bila kita meyakinkan diri bahwa bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang cukup kokoh. Lalu, keprihatinan apa yang dimaksudkan? Mungkinkah menyebut “nasib bahasa Indonesia memprihatinkan” hanya sebuah pernyataan emosional?


Setelah menelusuri jejak pemberitaan, barulah saya paham bahwa keprihatinan yang dimaksud di atas berkaitan dengan penggunaan dan perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini. Para ahli bahasa menyebutkan, bahwa penggunaan bahasa Indonesia berkembang ke arah yang kurang diharapkan—terutama dalam posisinya sebagai bahasa nasional. Ternyata, disadari atau tidak, penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar semakinkurang diperhatikan bahkan cenderung diremehkan. Konon, bahasa-bahasa asing—terutama Inggris—dan bahasa gaul justru lebih diminati. Kondisi itu tentu sangat bertentangan dengan upaya para pemuka bahasa untuk mengusulkan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional.


Kita perlu jujur mengakui bahwa sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia sering kali kurang mendapat tempat yang seharusnya. Dalam pidato atau pernyataan resmi, para pejabat pemerintah atau sebagian akademisi yang melakukan presentasi dalam forum nasional, sering kali menyisipkan istilah-istilah asing yang sesungguhnya telah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Tak kurang pula instansi pemerintah, media televisi serta para pelaku bisnis. Pemakaian bahasa Indonesia untuk petunjuk, penamaan tempat, produk,layanan, dan acara, sering kali kurang diperhatikan kebenarannya atau malah dicampuradukkan dengan bahasa asing—terutama bahasa Inggris. Sayang sekali, beberapa penggunaannya terkadang kurang tepat dan justru menghasilkan istilah rancu. Lebih memprihatinkan lagi, apabila penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam bahasa gaul—yang cenderung melenceng dari bahasa baku—merambah hingga ke forum resmi bahkan dalam penulisan laporan resmi atau tulisan ilmiah dalam dunia pendidikan.Tak sedikit dosen/guru yang mengeluh tentang “salah tempat” penggunaan bahasa gaul anak muda masa kini ke dalam tulisan ilmiah.

Petunjuk di area publik ditulis tanpa peduli kebenarannya. (Sumber foto: atas - ruangimaji.wordpress.com; bawah - rubrikbahasa.files.wordpress.com)


Beberapa fenomena di atas yang masih sering dianggap masalah sepele itu, patut diakui sebagai sebuah kondisi memprihatinkan.Lahirnya fenomena itu didukung oleh pandangan-pandangan keliru yang tumbuh dalam masyarakat. Beberapa pandangan keliru itu, misalnya penggunaan bahasa asing terasa lebih modern dan bergengsi, lebih menjual, sertaterkesan lebih berpendidikan. Pandangan keliru itu cenderung membuat semakin banyak orang—terutama generasi muda—yang “meninggalkan” bahasa Indonesia dan tidak lagi merasa perlu untuk mempelajarinya.


Nah, apakah kita akan tinggal diam menyimak berbagai keprihatinan tersebut? Bagaimanapun, masalah bahasa bukan hanya menjadi urusan badan bahasa, para ahli bahasa, lembaga perguruan tinggi,dan pemerintah. Masalah bahasa seharusnya menjadi tanggung jawab bersama masyarakat pemilik bahasa. Dengan demikian seluruh bangsa Indonesia harus turut peduli, termasuk generasi muda. Perlu diingat bahwa sebagai alat komunikasi, bahasa Indonesia memiliki berbagai peran strategis: sebagai identitas bangsa, juga sarana berkompetisi dalam kancah politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, bagaimana kita harus menyikapi masalah tersebut?


Menurut saya perbaikan harus dimulai dari diri kita masing-masing. Tidak sulit, hanya perlu keikhlasan. Bagaimana?


Tak harus mengharamkan penggunaan bahasa gaul, namun kita hendaknya memahami sebaik mungkin bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, gunakan masing-masing ragam bahasa itu pada tempatnya.

  • Para pelajar hendaklah menulis jawaban soal ujian atau laporan praktikum dengan bahasa baku. Demikian pula para karyawan dalam membuat presentasi atau laporan kerja.
  • Biasakan diri menggunakan bahasa resmi dalam forum resmi, termasuk saat berbicara dengan orang-orang yang dituakan atau dihormati  dalam forum tersebut.
  • Meskipun hanya sebuah pesan singkat lewat ponsel, jika itu berkaitan dengan urusan resmi, janganlah menggunakan bahasa gaul. Namun usah mempersoalkan pesan pribadi antaranak muda yang ditulis dalam bahasa gaul.

Mempelajari bahasa asing sangat penting terutama untuk melakukan komunikasi dalam forum internasional. Namun, tetaplah bijak berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam sidang atau forum nasional.

  • Silakanberkirim pesan kepada kawan akrab dalam bahasa campur aduk, tetapi pastikan kita pun lihai menulis laporan, karya ilmiah, dan surat-surat resmi dalam bahasa ilmiah (bahasa Indonesia baku).
  • Pihak-pihak lain—seperti media massa, televisi, pelaku bisnis, dll.—hendaknya rela turut mendudukkan bahasa Indonesia pada tempat yang selayaknya.
 
Bahasa apa yang sebenarnya ingin digunakan?  (Sumber foto: kiri - www.facebook.com; tengah & kanan - dokumen pribadi)

Tindakan-tindakan di atas mungkin hanya langkah-langkah kecil, namun bukan tanpa arti. Bagaimanapun, rasa cinta akan bahasa sebaiknya mewujud. Tidaklah cukup bila kita hanya bersumpah dan berbangga memiliki bahasa yang mampu mengatasi ratusan bahasa daerah serta menyatukan puluhan suku bangsa yang tersebar di wilayah Nusantara. Siapa lagi yang wajib menjunjung bahasa persatuan—bahasa Indonesia—jika bukan kita, bangsa Indonesia?

Depok, 28 Oktober 2014

Note:
Artikel ini juga dimuat di akun blog saya di Kompasiana
Silakan baca di sini.