Kamis, 07 Agustus 2014

Keluar dari Pesimisme Pendidikan Indonesia



Judul Buku Menjadi Sekolah Terbaik: Praktik-Praktik Strategis dalam Pendidikan
Penulis       :  Anita Lie, dkk.
Penerbit     Tanoto Foundation & Raih Asa Sukses
Halaman    :  iv+188
ISBN          :   978-979-013-205-74
Cetakan I  : 2014

Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan, terutama bila kita berbicara masalah kesetaraan dan keadilan. Indonesia memiliki banyak pelajar berprestasi dan sekolah berkualitas. Tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan tingginya angka putus sekolah dan jumlah sekolah dengan kualitas di bawah Standar Nasional Pendidikan. Meskipun beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah, kesenjangan dan ketimpangan masih terjadi di sana-sini.  

Besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah Indonesia tak sebanding dengan jumlah guru dan persebarannya. Keragaman kultur/budaya serta karakteristik geografi Nusantara menjadi kendala signifikan bagi ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang ideal. Di sisi lain kebijakan privatisasi pendidikan, misalnya, konon justru menciptakan diskriminasi atau tidak berpihak pada rakyat kecil. Bukan berita baru jika ditemukan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ataupun sekolah-sekolah yang dijadikan ajang bisnis. Dan banyak lagi fakta minus yang membuat banyak pihak, termasuk para pegiat pendidikan, mengamini karut-marut dunia pendidikan Indonesia. Bahkan ungkapan bernada pesimis pun tak terbendung.     

Namun pesimis saja tidak akan menyelesaikan masalah, apalagi mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Mengandalkan pemerintah sebagai satu-satunya ‘problem solver’ pun bukanlah pilihan yang adil. Seluruh komponen masyarakat, termasuk korporasi dan filantropis, harus ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Hal itu sangat disadari oleh Tanoto Foundationsebuah yayasan filantropis yang didirikan oleh Bapak Sukanto Tanoto dan Ibu Tinah Bingei Tanoto—sehingga menyediakan diri untuk turut berjuang meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Melalui buku berjudul Menjadi Sekolah Terbaik: Praktik-Praktik Strategis dalam Pendidikan ini, para penulis membagikan berbagai pemikiran dan pengalaman mengenai dunia pendidikan. Buku ini sekaligus menjadi dokumen kegiatan pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh yayasan nirlaba tersebut.                

Ide pokok yang terkandung dalam buku ini adalah “menjadikan sekolah berprestasi lewat peningkatan kualitas dan kompetensi guru” merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Sekolah sebagai satuan pendidikan menjadi indikasi kualitas pendidikan, dan guru memiliki peran sentral di dalamnya. Kualitas nasional pendidikan di Indonesia amat ditentukan oleh jutaan satuan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. (hlmn 172); Sebagai ujung tombak pendidikan, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki guru belumlah sesuai. Penelitian membuktikan, kualitas seorang guru lebih menentukan untuk pencapaian prestasi peserta didik dibanding rasio jumlah guru dan peserta didik di sebuah ruang kelas. (hlmn.7)  

Secara implisit buku setebal 188 halaman karya Anita Lie, Takim Andriono, dan Sarah Prasasti ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama—disajikan dalam Bab 1 s/d 2—membagikan pemikiran mengenai dimensi dan permasalahan pendidikan serta tanggung jawab sosial bagi pendidikan. Pada Bab 1 penulis membuka wawasan pembaca mengenai dinamika dimensi kultural, struktural, dan ekonomis dalam pendidikan serta permasalahan yang muncul. Ditengarai bahwa persoalan mendasar yang dihadapi sekolah terkait dengan kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin,  kesenjangan antara kekuasaan dan tanggung jawab negara, dan otonomi daerah (hlmn 20),  dan untuk itu diperlukan peran serta masyarakat.

Selanjutnya pada Bab 2 penulis menekankan kontribusi korporasi dan filantropis terhadap dunia pendidikan. Secara gamblang disampaikan kontribusi nyata Tanoto Foundation dalam mendongkrak rapor pendidikan Indonesia dengan mensponsori program pengembangan profesionalisme kepala sekolah dan guru yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Sebagaimana ide pokok yang tersirat, tujuan utama program tersebut adalah mendorong guru melakukan perubahan nyata di lingkungan kelas dan sekolah untuk menjadikan sekolahnya lebih baik.

Bagian kedua—tersaji dalam Bab 3-13—merupakan paparan konsep dan pemikiran ‘jalan menuju sekolah berprestasi’. Bab 3 berisi pengenalan ide Douglas Reeves tentang empat kuadran sekolah—sekolah yang beruntung, sekolah yang kalah, sekolah yang belajar, dan sekolah yang memimpin—dilanjutkan ajakan bagi para pemangku kepentingan sekolah untuk memetakan pada kuadran mana posisi sekolahnya berada. Pada bagian ini pembaca disadarkan bahwa “sekolah yang belajar” yang memiliki strategi dan tindakan efektif disebut jauh lebih sehat dan menjanjikan serta berpotensi menjadi sekolah berkualitas yang masuk kuadran memimpin.  

Bab 4 s/d 12 memaparkan berbagai aspek penting yang diperlukan suatu sekolah untuk tumbuh menjadi sekolah berkualitas, di antaranya adalah: perlunya mengangkat keunikan dan kearifan lokal agar dihasilkan peserta didik yang berguna bagi lingkungannya (Bab 4);  perlunya rumusan visi-misi sekolah yang jelas, memotivasi serta sesuai kebutuhan, dan terutama dapat diterjemahkan dalam rencana strategis dan tindakan pencapaian (Bab 5); perlunya kepemimpinan yang transformatif yang antara lain menciptakan lingkungan kerja menyenangkan, di mana bertumbuh kreativitas, inovasi dan semangat belajar, serta adaptif terhadap perubahan (Bab 6); perlunya manajemen berbasis sekolah yang efektif yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas (Bab 7); perlunya guru berkualifikasi, profesional, kompeten, dan berdedikasi, yang mampu mengantarkan generasi muda menjadi pribadi cerdas dan siap berkompetisi (Bab 8); perlunya komunitas belajar para pendidik, di mana guru bersama rekan-rekannya terus mengembangkan diri dan menjadi pembelajar sepanjang hayat (Bab 9); perlunya standar pendidikan yang jelas dan bermutu namun tetap fleksibel dan dinamis karena setiap peserta didik memiliki keunikan (Bab 10); perlunya pemahaman akan kebutuhan peserta didik yang menjadi subjek dalam proses pendidikan (Bab 11); dan perlunya komunikasi antara sekolah dan orangtua/wali peserta didik sebagai mitra dalam pelaksanaan pendidikan anak (Bab 12).

Uraian pada Bab 13 merupakan rangkuman sekaligus semacam petunjuk cara mengenali “sekolah berprestasi atau unggul”. Para penulis yang juga pakar-pakar pendidik menyebut bahwa sekolah akan disebut berprestasi jika mampu membina dan memproses peserta didik yang sedang-sedang menjadi lulusan yang baik (hlmn, 174).

Prestasi itu ditentukan oleh proses belajar-mengajar yang dipengaruhi berbagai hal yang telah diuraikan pada Bab 3-12. Bab terakhir ini juga menjadi penguatan bagi sekolah-sekolah di daerah yang masih terus berjuang untuk tidak berkecil hati. Sekolah serba kekurangan pun mempunyai harapan besar untuk menjadi sekolah berprestasi jika sekolah it uterus belajar dan menggali faktor-faktor penentu keunggulan, diantaranya visi misi yang kuat, kepemimpinan yang mumpuni, dan pendidik yang berkomitmen tinggi (hlmn. 178).

Secara menyeluruh paparan dari awal hingga akhir terasa mengalir dan “bukan sekadar teori” karena pada setiap bab didukung oleh rekam jejak kegiatan serta kisah yang memotret secara personal para guru dan kepala sekolah peserta Program Pengembangan Profesionalisme Guru dan Kepala Sekolah. Kreativitas, kerja keras, hingga kegigihan mereka yang dituturkan dengan cair dan mengalir sungguh menyadarkan pembaca bahwa ternyata Indonesia memiliki banyak guru dan kepala sekolah berdedikasi yang bekerja dengan hati sebagaimana Ibu Muslimah dan Pak Harfan dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Testimoni tersebut juga menginspirasi dan mengajak pembaca terutama para pegiat pendidikan untuk segera keluar dari pesimisme dan turut berjuang demi kemajuan pendidikan Indonesia.    

Depok, 7 Agustus 2014