Minggu, 30 Oktober 2011

Membuat Tulisan Kreatif Bisa Dipelajari

Kover Depan Buku


Judul Buku    : 24 Jam Memahami Creative Writing
Penulis          : Naning Pranoto
Penerbit        : Penerbit Kanisius
Halaman       : 160
ISBN             : 978-979-21-2926-7
Cetakan I     : 2011
Harga           : Rp25.000,00

Tiada bulan, tiada bintang. Tiada warna, tiada bayang, tiada satu pun titik terang. Semua tenggelam dalam kegelapan merata tiada terbaca. Orang melihat dan melihat, tetapi tak satu pun terlihat, seolah mata ini telah dicungkil dari sarangnya. Hujan seperti dicurahkan dari langit… Lumpur luar biasa banyaknya… (halaman 72)

Itulah sepenggal paragraf dalam cerita mini Malam Gelap karya Anton Chekhov, sastrawan Rusia. Paragraf itu sebenarnya hanya menceritakan situasi hujan sangat lebat pada malam gelap. Secara biasa, mungkin kita akan mendapati kalimat seperti: “Malam gelap dan hujan turun sangat lebat sehingga membuat jalanan berlumpur…”. Saya membayangkan, betapa Chekhov “merepotkan diri” menemukan kata-kata berbeda untuk menggambarkan situasi sederhana itu agar terkesan luar biasa! Tulisan-tulisan serupa karya Anton Chekhov inilah yang digolongkan sebagai creative writing—istilah yang tengah beranjak populer di Indonesia ini telah dipakai di Amerika dan Inggris sejak awal abad 19.

Creative writing (tulisan kreatif) memang berbeda dengan tulisan biasa. Ragam tulisan ini menggunakan bahasa literer (sastra). Kata-kata yang dipilih senantiasa memiliki kekuatan makna serta bernilai seni, dan terangkai sebagai kalimat yang mempesona. Tulisan kreatif mengekspresikan jiwa sang penulis serta sarat imajinasi yang mampu menghanyutkan bahkan mengaduk-aduk perasaan. Konon, tulisan kreatif mampu menyihir pembaca, mampu membuatnya tersenyum, larut dalam tawa dan kesedihan, atau dicekam rasa takut. Pembaca pun bisa dibuat terpesona oleh seorang tokoh atau sebuah situasi, dan sebaliknya marah atau muak pada tokoh atau situasi lain. Ingatlah, betapa hebat pesona novel serial Harry Potter! Tulisan imajinatif karya J.K. Rowling tersebut mampu membuat pembaca muda sanggup melahap buku yang tebalnya ratusan halaman—jauh lebih tebal dari fiksi anak-anak umumnya.

Wow, luar biasa! Tetapi, bagaimana merangkai kata-kata indah bermakna menjadi kalimat yang mempesona? Menciptakan tulisan seperti dilakukan Chekhov tentu bukan pekerjaan gampang. Pasti hanya mereka yang terlahir dengan bakat menulis yang mampu melakukannya. Pernahkah pertanyaan dan pernyataan tersebut terlintas dalam benak Anda?

Jika pernah, cobalah ambil buku “24 Jam Memahami Creative Writing” dari rak toko buku. Melalui buku ini, Naning Pranoto—penulis yang menggeluti creative writing dan telah melahirkan ratusan cerpen serta puluhan novel—mengabarkan bahwa creative writing bisa dibuat oleh siapa saja tanpa kecuali. Tak perlu “bakat” khusus! Sebab, creative writing bisa dipelajari! Bahkan, jika terkendala menempuh pendidikan formal, kita bisa belajar secara otodidak. Meskipun judul buku ini terkesan sedikit bombastis, namun 24 Jam Memahami Creative Writing membuktikan diri dengan menyajikan teori creative writing secara ringkas dan sederhana. Gaya naratif membuatnya tak sulit untuk dipahami.

Dalam 24 bab—dinamai secara kreatif sebagai Jam ke-1 s/d Jam ke-24—penulis merangkum dasar-dasar penulisan kreatif. Pada Jam ke-1 dan ke-2 kita akan diajak memahami makna, cabang-cabang serta peran penting creative writing dalam kehidupan manusia. Pada Jam ke-3, dengan filosofi “ruang” penulis meyakinkan bahwa “teori bakat” tidak akan pernah menutup peluang seseorang untuk menjadi pengarang/penulis. Alhasil, kita semakin yakin untuk mulai terjun dalam aktivitas penulisan kreatif. Lalu, kita pun boleh dengan percaya diri menekuni materi-materi yang disajikan pada Jam-Jam berikut.

Bersiaplah untuk memahami teori-teori dasar terpenting dalam penulisan kreatif! Proses kreatif, penemuan ide dari keseharian, penggalian imajinasi, pengolahan kata sebagai senjata utama, gaya bahasa dan penulisan, penyajian materi, hingga pemilihan bacaan pendukung. Penemuan “the golden time” bagi setiap penulis dan bagaimana mulai menulis sekalipun tanpa peralatan menulis, merupakan bagian buku yang saya rasa sangat inspiratif. Demikian pula, contoh karya dan proses kreatif sastrawan-sastrawan besar seperti Jean Paul Sartre, Rabindranath Tagore, Jalalu’ddin Rumi, Iwan Simatupang, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak lagi.

Creative writing mencakup 2 cabang utama yaitu creative fiction dan creative nonfiction (fiksi dan nonfiksi) dengan banyak ranting. Puluhan rantingnya dikelompokkan atas 10 besar yaitu: artikel khusus, biografi, drama, esai, fantasi, memoar, novel, puisi, cerpen, dan skenario film/sinetron/program TV (hal. 13). Nah, tulisan mana yang menjadi favorit dan ingin Anda ciptakan? Atau, Anda ingin dapat memahami semua? Berbagai prinsipnya disertai contoh-contoh dipaparkan sejak Jam ke-1 hingga Jam ke-23. Pada Jam terakhir, kita akan mendapat informasi bagaimana dan ke mana bisa “berguru” dalam “kelas” creative writing.

Dalam buku ini, penulis tak sekadar berbagi pengalaman menulis dan hasil studi creative writing yang pernah dilewatinya. Penulis juga mengajak dan memberi dorongan pembaca untuk mulai menulis kreatif. Saya merasakan manfaat buku ini, karena saya tertarik menekuni dunia kepenulisan. Namun, sekalipun Anda tidak berniat menjadi pengarang/penulis profesional, memahami dan mempelajari penulisan kreatif sangatlah penting. Bagaimanapun, menulis adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Menulis kreatif berguna untuk siapa saja, anak-anak hingga lanjut usia, pelajar SD hingga profesor. Menulis kreatif melatih seseorang berpikir lebih kreatif, berbahasa lebih baik, dan mengungkapkan gagasan dengan lebih jelas. Hebatnya, aktivitas menulis kreatif pun ternyata masuk dalam langkah terapi jiwa atau the art of healing for mental sickness (hal.14). Tak bisa dipungkiri, beberapa bentuk tulisan kreatif—seperti puisi dan lirik lagu—terbukti mampu menyejukkan jiwa, menguatkan hati.

Depok, 30 September 2011

Resensiku Memenangkan Juara I


Pengumuman Pemenang Lomba Resensi (Sumber: laman Rayakultura)

Hampir tengah malam saat kubaca dua buah notifikasi di facebook-ku. Pertama, Bunda Naning Pranoto-seorang penulis terkenal-menerimaku ajakan peretemananku. Kedua, Bunda Naning meninggalkan pesan pribadi di kotak pesan.

Isi pesan tersebut selain menyampaikan salam perkenalan juga memberi ucapan selamat karena saya memenangkan Lomba Resensi yang diadakan oleh Rayakultura-State of Education and Culture. Beliau menyatakan bahwa resensiku terpilih sebagai pemenang pertama.

Segera saja kubuka tautan ke laman yang diberikan untuk membaca pengumuman resminya. Masih dengan perasaan dag dig dug, antara percaya dan tidak, saya pun membuka laman Raya kultura. Ternyata saya mendapat penghargaan sebagai Pemenang I.

Disebutkan bahwa ketiga pemenang Lomba Resensi Buku "24 Jam Memahami Creative Writing" tersebut adalah sebagai berikut.

Pemenang I
Dwi Klarasari – Depok, Jawa Barat
Hadiah
Medali Bintang Bahasa Rayakultura
Antologi LMCR-2011
Paket Buku Creative Writing karya Naning Pranoto
Kursus Menulis Cerita Pendek Literer 8 Minggu, senilai Rp 2.500.000,-

Pemenang II
Rafif Amir – Sidoarjo, Jawa Timur
Hadiah
Medali Bintang Bahasa Rayakultura
Antologi LMCR-2011
Paket Buku Creative Writing karya Naning Pranoto

Pemenang III
Brigitta Rachmat – Siswi SMP Santa Ursula BSD City, Tangerang
Hadiah
Medali Bintang Bahasa Rayakultura
Antologi LMCR-2011
Paket Buku Creative Writing karya Naning Pranoto

Alamak, senang sekali rasanya! Terlebih lagi karena mendapat hadiah berupa paket buku dan kursus menulis kreatif "langsung" kepada ahlinya, yaitu Bunda Naning Pranoto. Saya sangat antusias seolah-olah tak sabar ingin berguru kepada beliau.

Terima kasih Tuhan untuk talenta yang Engkau berikan, semoga aku bertanggung jawab untuk mengembangkannya dan memberikan buah-buah yang juga dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

Oya, resensi untuk buku tersebut saya tuliskan kembali dalam unggahan di blog ini dengan judul "Membuat Tulisan Kreatif Bisa Dipelajari". Simak yuk!

Depok, 30 Oktober 2011


Minggu, 23 Oktober 2011

Ibu, Aku dan Selimut

Saat mengangkat selimut dari tali jemuran, tiba-tiba aku teringat Ibu. Lalu aku tersenyum-senyum sendiri laksana orang yang telah berubah pikiran. Tapi aku sedang sendiri, jadi tiadalah khawatir ada yang mengira aku sudah gila. Andakata ada yang melihat dan menyebut aku gila, aku pun akan terima dengan ikhlas. Karena bagiku kenangan akan Ibu terkait dengan selimut akan membuatku tersenyum sepanjang masa.
Sejak kecil aku memang tidak suka tidur berselimut. Sebenarnya aku tidak merasa terganggu dengan hawa dingin ataupun gangguan nyamuk yang sangat menyebalkan di mata orang lain. Saat menginap di daerah berhawa dingin pun tidak selalu kumanfaatkan selimut. Kecuali tubuhku sedang tak sehat atau benar-benar tak sanggup menahan hawa dingin. Hahaha... sama juga bohong ya? Tapi banyak orang curiga karena aku malas melipat selimut. Hohoho... tuduhan yang semena-mena ya?!
Dan seperti banyak orang, Ibuku tidak merestui ketidaksukaanku itu. Oleh karenanya beliau selalu berusaha membuatku berselimut.. hehe! Meskipun berangkat tidur tidak berselimut, pasti aku bangun dengan selimut yang sudah bergulung-gulung di sudut ranjang... mungkin karena aku bermimpi main bola.. :) Aku yakin pasti semalam Ibu menyelimutiku. Ah, begitulah Ibu... bahkan kasihmu terungkap melalui hal-hal sepele macam itu. Aku bayangkan tentu adegannya seperti di sinetron atau film-film... Ibu masuk ke kamarku dan memandang sedih melihat aku meringkuk kedinginan atau telentang dengan puluhan nyamuk menyambangiku tubuhku. Lalu sambil berbisik sayang diambilnya lipatan selimut dan menyelimutiku rapat-rapat. Jika bukan dengan bisikan sayang mungkin juga dengan omelan (karena keras kepalaku)... "Sudah dibilang berkali-kali kalau malam banyak nyamuk.. susah amat disuruh berselimut!"... bla...bla..bla.. Itulah omelan sayang seorang Ibu. Oh, so sweet... Coba ada CCTV.. :)
Tapi tahukah kamu? Aku suka menggoda Ibuku.. tentu saja dengan kebandelanku! Jika bangun tidur aku tidak langsung melipat selimutku. Sengaja menunggu Ibu melihatnya.. dan Beliau mengatakan: "Kalau bangun tidur itu, selimutnya mbokya langsung dilipat. Cah wadon ki sing rapi.. !" Lalu aku dengan gaya jumawa.. eh, tapi cuma akting kok.. :) akan menjawab, "Lho, semalam aku berangkat tidur gak pakai selimut kok.. siapa yang buka selimut dia yang melipat dong!" Dulu... waktu pertama kali mendapati akting perdanaku.. hahayy.. Ibu mana yang tidak akan shock? Saat melihat mata Ibu melotot dan hampir melantunkan omelan.. segera kupeluk beliau dan berteriak.. "hehehe.. bercanda...!" Lalu, kulipat selimutku dan Ibu tertawa tergelak, sering kali sambil mengaduk-aduk rambutku.
Dan akting itu sering kuulang.. bahkan hingga aku dewasa. Tapi lelucon itu tak pernah terasa garing.. karena tetap berakhir dengan tawa kami berdua. Ah, senangnya bisa menggoda Ibu.. dan kenangan ini selalu membuatku tersenyum. Hanya ada sedikit tanya.. adakah Ibu juga mengingat kenangan ini dan tersenyum dari surga sana?
Sunday, 23 Oktober 2011

Jumat, 21 Oktober 2011

Transgender Bukan Sekadar Wacana

Hari ini saya diundang ke acara OPMI, sebagai anggota komunitas Goodreads Indonesia (GRi). Tepatnya saya menyediakan diri untuk membaca sebuah buku dan membahasnya. OPMI kepanjangan dari Obrolan Pembaca Media Indonesia adalah acara yang disponsori koran Media Indonesia untuk mendiskusikan buku. Sesungguhnya ini juga merupakan hal baru bagi saya. Dalam beberapa acara GRi biasanya saya duduk di kursi pendengar, tapi hari ini saya harus menjadi salah satu narasumber.

Jauh hari sebelum acara hari ini,
pihak MI telah mengirimi saya sebuah buku untuk dibaca, sebuah novel berjudul Lost Butterfly karangan Yandasadra. Saya belum pernah sedikit pun membaca "isu-isu" tentang terbitnya buku ini. Maklum lama tidak menyambangi halaman Goodreads... :) Yang saya tahu novel ini berkisah tentang transeksual dan transgender. Kebetulan sekali, karena saya juga tertarik dengan isu tersebut. Namun saat menerima buku dan mulai membacanya saya cukup terkejut saat mengetahui novel tersebut berlatarbelakang ajaran Islam. Waah, gimana ini... saya bukan seorang Muslim. Apakah saya harus membatalkan kesanggupan saya dan menolaknya? Ah tidak perlu! Sebab adalah pembaca yang merdeka dan berpikiran sangat terbuka... So, tak ada kata menolak.

Dengan moderasi pihak MI, dan hadirnya sang penulis, disku
si berjalan cukup seru. Meskipun agak grogi dalam menyampaikan pendapat, Puji Tuhan semua berjalan lancar. Sayang sekali yang turut dalam diskusi, yang notabene adalah mahasiswa UI atau pengunjung pameran buku... sepertinya tak satu pun yang sudah membaca buku ini. Menurut saya pemahaman akan fenomena transeksual dan transgender ini sangat perlu diketahui oleh banyak orang. Itulah sebabnya terpikir oleh saya untuk menulis atau tepatnya mempublikasikan review saya tentang novel ini. Tujuannya memang turut membantu publikasi novel yang sangat penting ini, terutama bagi terbukanya wawasan masyarakat kita.
Judul : Lost Butterfly (Dilema Cinta Mantan Pria)
Penulis : Yandasadra
Penerbit/ Thn : Tinta Publisher
Tahun terbit : I, 2011
Tebal : xii + 329 halaman
Setiap hari ada saja stasiun TV yang menayangkan program acara dengan sebuah peran menirukan sosok dengan gender “tak jelas”. Penampilan pria dengan dandanan serta polah tingkah seorang wanita. Sebagian besar masyarakat menganggap tayangan itu sebagai lelucon yang menghibur. Alhasil mereka—atau mungkin juga kita—tertawa terbahak-bahak. Aneh, sebab dalam kehidupan nyata tidak sedikit yang menghujat dan mencibir kelompok marginal berjuluk waria atau banci tersebut. Bahkan banyak yang memandang jijik atau lari terbirit-birit bila berjumpa—seperti takut tertular. Belum lagi jika mereka mendapati berita atau gosip tentang si A yang sebelumnya pria lalu menjadi waria, akhirnya melakukan operasi kelamin dan menyatakan diri sebagai 100% wanita. Banyak hujatan terlontar karena menganggap hal tersebut bertentangan dengan kaidah agama. Meskipun demikian ada pihak yang memaklumi, menaruh simpati serta menerimanya—namun masih secara diam-diam, karena takut turut dihujat.
Di negara kita dengan kultur ketimuran yang konon religius, transeksual dan transgender memang masih menjadi topik yang berada di wilayah abu-abu. Transgender masih menjadi sekadar wacana dan tidak dilihat sebagai suatu masalah sosial serius yang memerlukan solusi. Alih-alih menerima sosok yang mengakui kelainannya, sebagian masyarakat bahkan menganggap tabu membicarakan topik ini. Jangankan masyarakat umum, keluarga dengan pertalian darah pun adakalanya justru membuang dan mengucilkan mereka. Meskipun sikap masyarakat cenderung ekstrim, namun sesungguhnya banyak di antaranya belum mengetahui secara jelas fenomena transgender itu sendiri. Pernahkah kita bertanya dalam hati: “Bagaimana seorang bisa dilahirkan sebagai waria—dengan orientasi seksual yang berbeda dengan fisiknya? Bagaimana pergulatan batin hingga seseorang akhirnya memutuskan untuk mengubah jenis kelaminnya? Atau banyak pertanyaan lain terkait isu transgender. Bukan hanya tak mengerti secara keilmuan, banyak masyarakat juga kurang memahami sikap lembaga agama menghadapi fenomena tersebut.
Pengetahuan tentang transgender hanya ditularkan dari mulut ke mulut. Sayang sekali, banyak informasi yang diterima oleh masyarakat cenderung kurang tepat. Dampaknya adalah hujatan dan cemoohan bagi kaum minoritas ini merajalela tanpa alasan. Tidak banyak bacaan yang mengupas tentang fenomena ini. Kalau pun tersedia bacaan semacam itu, sikap apriori terkait transeksual dan transeksual membuat sebagian orang enggan menyentuh buku-buku tersebut. Hadirnya novel Lost Butterfly sepertinya bisa menjadi solusi. Novel ini dapat menjadi salah satu sumber bacaan inspiratif terkait isu transeksual dan fenomena transgender. Menebarkan konsep-konsep krusial seperti transeksual dan transgender melalui sebuah novel sangatlah bijaksana. Cerita yang diangkat dari kenyataan hidup sering kali lebih mudah menyadarkan pembaca akan suatu masalah tanpa merasa digurui. Ya, Lost Butterfly adalah pengetahuan yang terbungkus dalam sebuah novel.
Meski dikatakan sebagai novel cinta dengan iming-iming narasi “romantis” seperti disampaikan pada kover, kita tak akan menemukan adegan romantis layaknya membaca novel dewasa atau novel cinta picisan. Di dalamnya hanya ada detak jantung dan ekspresi malu-malu seseorang yang jatuh cinta. Novel ini mengungkap kegelisahan seorang Maria (Mantan pRIA) yang terjebak dalam diri dan cinta yang tak sanggup diungkapkannya. Maria gelisah apakah seseorang yang dicintainya dan dipercayai juga akan menaruh simpati, atau sebaliknya akan menghianatinya seperti banyak orang lain sepanjang hidupnya. Romantisme yang disajikan adalah cinta yang tidak biasa dari seseorang yang bukan perempuan biasa. ‘Lost Butterfly’ meninggalkan kekasih demi merawat cintanya. (hlmn 237). Romantisme terbaca saat seorang Arman dengan kasih tulus menerima “keistimewaan” Maria, Andy dan banyak yang lain, serta memahami gejolak hati mereka bahkan kelak memperjuangkannya.
Sesungguhnya novel ini lebih sebagai bentuk dukungan terhadap fenomena operasi ganti kelamin bagi kaum khuntsa yang terjebak ambigous genitalia. Secara tak langsung, novel ini mendukung kebebasan memilih jatidiri—karena hidup adalah pilihan—sepanjang bukan untuk memuaskan nafsu menyimpang. Pada halaman 290, secara tegas Arman menyatakan dukungannya tersebut: “... Kita semua pasti menyadari, tidak semua orang terlahir dalam tubuh yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya, seperti seseorang yang lahir dengan tubuh laki-laki tetapi kecenderungan dan orientai seksualnya justru seperti perempuan. Tentu saja ia berhak untuk memilih jenis kelaminnya, karena bila tidak, ia justru akan terjebak pada perilaku hubungan seksual dengan sesama jenis, yang jelas-jelas dilarang keras dalam agama. Nah, kiranya makin jelas bagi kita, bahwa solusi dari masalah yang menimpa kaum transeksual, pada masa ini tidak lain adalah operasi transgender.” Namun sebaliknya—melalui dialog-dialog panjang tokoh Arman dengan tokoh-tokoh lain dari berbagai latar belakang—penulis secara tegas menolak serta mengharamkan perilaku homoseksual pada kaum gay dan lesbian.
Novel ini dapat dikategorikan sebagai fiksi ilmiah yang kontroversial. Melalui tokoh-tokohnya, Yandasadra—sang penulis—berani bersikap serta menunjukkan prinsip yang diyakini kebenarannya, walau terkesan menentang hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat dan agama. Sikap itu tidak membabi buta, karena nampak jelas dukungan penelitian serta dasar-dasar literal yang kuat. Selain memberikan pengetahuan dan membuka wawasan baru, novel ini juga layak dipakai sebagai sarana perenungan. Membaca novel ini—bagi saya pribadi—lebih sebagai menimba ilmu baru. Sebab, sesungguhnya sebagian besar isi novel ini adalah dialog antarkarakter yang secara tak langsung memberikan wawasan tentang fenomena transeksual dan trangender terutama di tanah air. Jika saja memungkinkan, sebenarnya sangat membantu bila disertakan semacam glosarium dalam novel ini. Sebab banyak istilah terkait transeksual dan transgender yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian pembaca. Bisa jadi ajaran-ajaran Islam—yang melatarbelakangi novel ini—bukan hal baru bagi pembaca Muslim, namun tidak bagi yang lain. Transgender adalah isu global, dan novel ini tentu boleh juga dibaca oleh mereka yang berlatar belakang lain. Harapannya, novel ini pun dapat membuka cakrawala baru bagi siapa pun tanpa kecuali.
Dengan membaca tuntas novel ini, kita akan memiliki wawasan yang lebih luas dan mengubah cara pandang yang salah akan fenomena transeksual dan transgender. Zaman terus berkembang, dunia semakin global dan terbuka. Saat ini transgender sudah tak layak lagi hanya diperdebatkan sebagai sebuah wacana, sebab fenomena transgender adalah realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kita pun seharusnya dapat memandang saudara-saudara kita yang dilahirkan tidak normal dengan cara lebih positif, bukan justru memarginalkan mereka. Kita tidak perlu lagi melakukan diskriminasi atau pun pengadilan sepihak. Namun sebaliknya, dengan kasih tulus merangkul mereka dan menunjukkan jalan yang benar. Tak ada orang yang ingin dilahirkan tidak normal. Dan sesungguhnya yang tidak normal pun memiliki hak asasi yang sama sebagai manusia. Seperti ungkapan tokoh Ibu Yohana dalam seminar bertajuk “Ganti Kelamin: Antara Melawan Kodrat dan Pemenuhan Hasrat” berikut: “... bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak asasi yang layak ia peroleh. Siapapun dia dan bagaimanapun keadaannya. Hanya karena berada dalam keadaan yang berbeda dengan mayoritas orang, bukan berarti ia tercegah dari mendapatkan hak-hak asasinya itu.” (halaman 275). Tentu kita tidak akan setuju jika dikatakan bahwa agama hanyalah milik eksklusif orang-orang normal, bukan? Kita pun pasti tidak sepakat menyebut Tuhan Yang Maha Kasih berniat menyiksa hamba yang dilahirkan seperti Maria dan Andy, tanpa satu pun solusi. Sebab, Tuhan Sang Maha Sutradara menciptakan setiap makhluk dalam keadaannya tentu bukan tanpa maksud. Selamat membaca!
Depok, 21 Oktober 2011

Rabu, 12 Oktober 2011

Ngobrol VS Ngaji

"Uni, tolong dong.. aku pingin ngobrol dengan Baba.. kangen nih!" demikian kuajukan pinta pada temanku setelah lama kami mengobrol di telepon. Baba adalah panggilan sayang buat Akbar, anak semata wayangnya. Balita yang satu ini sudah sangat dekat denganku. Sudah lebih dari 5 bulan semenjak kepindahanku dari Jakarta kami belum pernah bertemu lagi. Ah lupa, pernah kami bertemu sekali.. tapi 4 bulan y.l. Terakhir mengobrol dengannya adalah 3 bulan yang lalu, itu juga hanya melalui telepon.

Tak berapa lama setelah kudengar suara Akbar yang tidak jelas di kejauhan, Uni menjawab di ujung telepon, "Mbak Baba lagi asyik main tuh! Dia mau ngobrol tapi mengajukan syarat!"
"Apa syaratnya?" tanyaku tanpa rasa heran. Ya begitulah Akbar yang kukenal. Dia memang sok jual mahal jika tahu bahwa dia sangat dirindukan. Huuuft.. macam artis saja dia!!
"Begini kata Akbar Mbak... Bunda aku mau ngobrol sama Ante Awa, kalau nanti sore aku boleh nggak pergi ngaji.. !"
"Whaaaat??!?" teriakku histeris.

Tanpa sadar kami berdua tertawa bersama. Tawa geli sekaligus prihatin. Wah, gawat juga anak satu ini... persyaratan yang diajukan terlalu berat. Mana berani aku bersaing dengan Tuhan. Sebagai orang dewasa, kami harus sanggup melawan tantangan. Anak-anak harus dilatih sejak dini mengikuti aturan. Oh my God.. terpaksalah kutahan rinduku ini!

Akbar.. i miss you boy!







-----------------------------------------------------------------------------------------
Chating VS Learning Al Quran
"Uni, let me talk with Baba, please.. I miss him so much!" I asked to my friend after a long chat on the phone. Baba is the nickname for Akbar, my friend’s child. This toddler is already very close to me. He is my best friend since 2 years old. We have never meet more than 5 months, since I leave Jakarta. Our last chat was 3 months ago, it is also only by phone.
I can heard Baba’s shouts in the distance. It sound like he is being in action. Then, Uni answered me on the phone, "Sis, Baba still having fun playing in his room! He want to talk with you, but he proposed such a requirement!"
"What it is?" I asked without surprise. Yes I knew Akbar so well. He will be so arogant or “jual mahal” (in Indonesian), if he know that somebody sorely missed him. Uuuft .. he act just like a famous artist!
"Well, here’s Akbar said: .. Mother, I will to chat with Aunty, if You let me not go to the Mosque to learn Al Quran, this afternoon!"
"Whaaaat ??!?" I shout hysterically.
Unconsciously we both laughed together. Laughter amused and concerned. Well, it was a dangerous and bad statement from a kid... his requirement is too heavy. Of course I would not dare to compete with God. As adults, we should be able to resist the challenge. Children should be trained from an early age to follow the rules. Oh my God.. unfortunately i should keep my sense of missed!
Akbar .. i miss you boy!

Rabu, 05 Oktober 2011

The Awesome Baduy





If you miss the sacred nature,
shades of green as far as the eye can see,
the nature with clear water like a mirror
If you expect millions of stars
as lights in the dark night..
If you miss a peace of mind
If you could hardly believe
there are still friendliness,
sincerity and honesty
in a world which full of falsehood..
Let's come to BADUY
So you will be amazed
because all of them are real

Baduy is one of several traditional communities in Indonesia. This community which also called Kanekes living in the mountainside of Kendeng at Banten Province, West Java. This place is located about 400 km from Jakarta. If we want to reach that place by public transport, we need about 3 hours traveling by train, then continued 2 hours by car and finally we have to do trekking about 3-4 hours to reach their village. We should be in a good health, because we need to climb up and go down the slope as far as the journey, and also cross rivers.

Baduy community divided by two group named "Outer Baduy" (Baduy Luar) and "Inner Baduy" (Baduy Dalam). The two of groups are living in a simple way.. but the Inner Baduy is more strict.










The Inner Baduy keep their land (from contamination) by tightly. In their village we couldn't find electrical. They only use an oil lamp and fireplace for cooking. Every electronic equipment are not permitted. No cellphone, radio, television, etc. As they do, we should take a bath at the river or stream near village, at the open river with no border. We can not use soap, shampoo, toothpaste, deodorant, or everything which is contain chemical.


All above the natural scene, we will find the simple human there. They don't accept education. They live by farming. They also have a skill in spinning and make many wickerwork. The Baduy community are humble and friendly.

Living just a day in Baduy
will make us aware

the most important in life
is THE LIFE itself
and the duty of us
is keeping our planet

Note:
All photos take at Baduy Luar. Traveler not permitted taking pictures at Baduy Dalam.

Depok, Oktober 2011 


Catatan susulan: 
Dokumentasi pribadi saya ini selanjutnya juga saya gunakan sebagai lampiran kompetisi menulis catatan perjalanan "Traveling Note Competition" yang diadakan oleh DIVA Press September-Desember 2012.