Sabtu, 23 Mei 2020

APD-ku Menuai Hoaks

Foto @dwi_klarasari
Kira-kira dua minggu yang lalu, aku menelepon tetangga yang belum lama kembali dari rumah sakit. Dengan gembira si ibu yang biasa kusapa Simbah itu mengabarkan kondisinya yang sudah membaik. Selain mengucapkan terima kasih, dengan sedih Simbah juga bercerita bahwa beliau diminta oleh RT untuk menyerahkan surat dari RS yang menjelaskan sakitnya sekaligus untuk membuktikan bahwa ia tidak terkena covid-19. Kuhibur Simbah, kukatakan untuk tidak sedih dan tersinggung karena dalam situasi sekarang kita semua memang harus terbuka dan jujur demi keselamatan bersama. Simbah itu pun akhirnya legowo.

Seminggu kemudian, sepulang dari bank aku mampir ke rumah ibu pengurus RT untuk menyerahkan uang arisan dan iuran. Kebetulan aku masih ber-“APD” lengkap—topi rajut, masker, dan outer berlengan panjang—dan tak ketinggalan kacamata yang setia menemaniku. Sambil menandatangani sebuah formulir aku berbasa-basi mengeluhkan situasi jalanan yang tetap ramai meskipun diberlakukan PSBB. Tak lupa kuingatkan si ibu untuk tidak lupa cuci tangan setelah memegang uang.

Kostum bepergian dengan “Alat Perlindungan Diri” yang cukup rapat rupanya membuat seorang ibu lain yang juga berada di sana tidak mengenaliku. Ibu pengurus RT pun kontan tertawa dan nyelutuk, “Iya lho! Malam itu waktu antar Simbah, Mbak Dwi itu dikira petugas rumah sakit yang datang menjemput pasien covid!” Rasa terkejutku berubah menjadi senyuman membayangkan diriku sempat menjadi “trending topic”... hehe. Ibu pengurus RT pun menjelaskan supaya tidak terjadi prasangka maka Simbah pun dimintai surat keterangan dari rumah sakit. Penjelasan itu membuat kami tertawa mafhum. 

Ceritanya, malam itu cucu Simbah menghubungiku dan menyampaikan bahwa Simbah muntah darah dan harus dibawa ke rumah sakit. Di masa pandemi ini sebenarnya ada rasa takut bila harus ke rumah sakit, tetapi tidak ada pilihan. Aku harus membantu mereka. Karena kupikir akan repot jika harus pesan taksi maka kutelepon Ibu RT untuk membantu kami meminjamkan ambulance milik Masjid RW. Singkat cerita ambulance pun datang dan menunggu di ujung gang. Diiringi gerimis, Bu RT dan beberapa tetangga mengantar kami—aku, simbah, dan cucunya—sampai ke ambulance. Bu RT meminta maaf karena tidak bisa menemani.

Malam itu aku mengantar Simbah dengan pakaian dan “APD” seperti biasa. Jangankan hendak mengantar orang ke rumah sakit, hanya berbelanja ke pasar saja aku ber-“APD” lengkap. Namun, karena terburu-buru, aku asal ambil saja baju teratas yang ada di tumpukan. Tanpa kusadari yang kuambil adalah celana berwarna krem cerah, kaus putih, dan hoodie atau jaket bertudung yang juga berwarna putih. Entah bagaimana pula masker, tas kain, dan sepatu yang kupilih pun berwarna putih. 

Alhasil, semua yang kukenakan malam itu—dari ujung kepala hingga ujung kaki—didominasi oleh warna putih, mirip petugas RS. Boleh jadi ada yang melihat dari kejauhan lalu menebar info seperti ini: ada seorang ber-APD lengkap keluar dari Gang 8 seraya memapah seseorang masuk ke dalam ambulance. Bagaimanapun kedatangan ambulance serta petugas medis ber-APD putih identik dengan penjemputan orang yang diduga positif covid-19. Mungkin, ya mungkin saja seperti itulah hoaks mulai terbangun. Oh my God!

Di masa pandemi ini, situasi memang sangat sensitif. Sedikit banyak menyerupai masa-masa menjelang pilpres atau pilkada. Setiap tampilan dan gerakan bahkan bisa memiliki lebih dari satu persepsi, tergantung siapa yang melihat dan menilai. Namun, kita jangan menjadi apatis! Teruslah saling bersimpati dan menolong. Cukup pastikan untuk tetap waspada dan lindungi diri masing-masing. Selalu kenakan ‘Alat Perlindungan Diri’ karena baik diri kita maupun orang lain sama-sama berpotensi menjadi pembawa virus yang tak kasat mata bernama corona. Jangan lupa saling berbagi semangat, alih-alih menyebarkan hoaks. Yuk, bersama kita lawan covid-19!

Depok, 23 Mei 2019


#stayathome #staysafe #stayhealthy

Senin, 18 Mei 2020

Bahasa Batak, Credo, dan Taizé:

Kenanganku tentang Alm. Romo Frietz R. Tambunan, Pr

Bersama Romo Frietz dalam rangkaian Konser Credo Choir di Yogyakarta (dokpri, Foto by Pakde)

Dimula ni mulana ditompa Debata ma langit dohot tano on. 

Bahasa Batak yang berarti “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” tersebut merupakan kalimat pertama pada Kitab Kejadian Bab 1 yang akan selalu membawa saya pada kenangan akan sosok Alm. Romo Frietz R. Tambunan, Pr. Mengingatnya pun selalu membuat saya tersenyum sendiri.

Suatu malam di tahun 1999 sebelum memimpin ibadat bersama kelompok Paduan Suara Credo (Credo Choir) Romo Frietz meminta saya membaca Kitab Suci. Saya langsung menyanggupi tanpa lebih dahulu bertanya perikop mana yang nantinya harus dibaca. Namun, alangkah terkejutnya saya ketika Romo Frietz menyerahkan Kitab Suci yang sudah terbuka. Kitab Suci tersebut bertuliskan bahasa Batak, saudara-saudara! Meskipun cukup syok, saya tetap membacanya sebaik mungkin. Alhasil, dalam kekhidmatan ibadat beberapa teman tampak menyunggingkan senyuman pertanda geli. Bagaimana tidak? Saya membaca Kitab Suci berbahasa Batak dengan logat Jawa yang sangat kental. Alamak!

Paduan Suara Credo yang didirikan Romo Frietz pada awal Januari 1999 ini beranggotakan kaum muda lajang dari berbagai latar belakang--mahasiswa, dosen, pegawai, dll. Sebagai pendatang baru di kota Medan, tentu saya sangat senang ketika diajak bergabung. Meskipun di Jawa saya juga turut dalam kelompok paduan suara, tetapi sebenarnya suara saya pas-pasan. Seingat saya dari 40-an anggota Credo Choir, sekitar 90%-nya menyandang marga/boru Batak yang terkenal hebat dalam bernyanyi. Selebihnya ada juga dari suku Nias, Cina, Manado, dll., termasuk saya yang orang Jawa. Jadi, walaupun terkesan ngeprank, kala itu saya menangkap bahwa maksud Romo Frietz meminta saya membacakan Kitab Suci berbahasa Batak adalah untuk membuat saya tidak merasa minder sebagai minoritas. Melalui selera humornya yang paten itu, beliau hendak mengatakan bahwa saya diterima dengan baik sekaligus mengajak saya untuk mulai mencintai lingkungan, budaya, dan komunitas baru yang akan menjadi keseharian saya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Meskipun tidak fasih dalam percakapan--yang paling kuhafal cuma “horas” dan “mauliate”--belakangan saya dituntut lancar menyanyikan sejumlah lagu bahasa Batak yang diajarkan dalam Credo Choir. Meskipun cenderung belepotan, tetapi saya sangat suka dengan satu lagu berirama rancak yang diajarkan. Judulnya “Marmutik Inggir-Inggir”. Marmutik inggir inggir/marparbue tada tada/ro ahu nuaeng sinuru ni halak amanta/ mangalehon sada tin tin ima tin tin namar mata... dago da ito dago da ito/ dai da go ale ito... . 

Begitulah! Karena semenjak awal Romo Frietz sudah mengajari untuk mencintai bahasa yang bukan bahasa ibu saya maka saya pun dapat menyanyi dengan setulus hati. Romo selalu mengingatkan bahwa musik tidak mengenal batas-batas etnis.

Romo yang berperawakan tinggi besar serta murah senyum ini mengajarkan beragam jenis lagu dalam kelompok Credo Choir. Selain lagu-lagu gerejawi umum atau bernuansa etnis, kami juga diajari lagu-lagu gerejawi klasik karya Friedrich Händel, Franz Schubert, Carl Boberg, Verdi, dll. yang umumnya dipelajari juga oleh kelompok paduan suara gerejawi lain. Namun, ada satu keistimewaan Credo Choir! Secara khusus Romo Frietz mengajari kami menyanyikan lagu-lagu Taizé, yang kemudian bahkan menjadi semacam “trade mark” bagi paduan suara kami.

Romo Frietz bukan sekadar mengajari kami menyanyi lagu-lagu Taizé, tetapi melatih bagaimana menyanyikannya dari dalam hati dengan penuh penghayatan. Seperti diketahui, lagu-lagu Taizé meskipun sederhana tetapi mampu membawa umat kepada suasana meditatif yang mendalam. Dengan sabar Romo mengajari bagaimana cara menyanyikan lagu tersebut dengan pelan dan lembut tetapi mengalirkan energi yang kuat serta mampu menghadirkan suasana doa yang khidmat. Tentu tidak mudah bagi teman-teman dari etnis Batak yang biasa menyanyi dengan powerful ‘lantang’; tidak juga bagi orang Jawa seperti saya yang bukan dari golongan priyayi nan lemah lembut. Nyatanya Romo Frietz berhasil menempa kami hingga boleh dibilang Credo Choir selalu mengesankan dalam setiap penampilan! Syahdu membawakan lagu-lagu Taizé, tetapi tetap gegap gempita menyanyikan Halleluja Händel.

Beberapa hari sebelum mendengar kabar berpulangnya Romo Frietz, tanpa saya sadari ada kerinduan mendalam untuk beribadat Taizé seperti saat masih bersama Credo Choir. Saya menyukai semua lagu Taizé. Namun, kemarin hampir tiap hari saya menyanyikan Nada te Turbe ‘Janganlah Cemas’. Saya bahkan iseng membuat video rekaman ecek-ecek. Menurut Romo, lagu ini harus dinyanyikan dengan ringan dan riang untuk mengajak orang agar tidak cemas ataupun takut karena di dalam Tuhan berlimpah rahmat. Saat membawakan lagu ini biasanya kami duduk dengan kedua tangan ditepuk-tepukkan pelan di atas paha disertai ekspresi gembira serta sedikit berayun-ayun. Kekhidmatan selalu ada dalam lantunan lagu-lagu Taizé. Saya ingat betapa dalam banyak kesempatan Romo Frietz selalu mengajak kami melakukan misa atau ibadat meditatif dengan iringan lagu-lagu Taizé. Saya yakin teman-teman anggota Credo Choir juga memiliki kesan mendalam seperti yang saya rasakan. Di antara banyak misa dan ibadat bersama beliau, ada satu yang sangat berkesan dan membekas dalam ingatan saya, yaitu yang kami lakukan di atas kapal kecil yang terombang-ambing di tengah Danau Toba.

Sosok Romo yang cerdas, ramah, murah hati, dan energik serta suka bercanda ini sungguh menginspirasi saya dan semestinya juga siapa pun yang pernah mengenalnya. Melalui ketekunan beliau, kami telah ditempa sekaligus disadarkan bahwa Tuhan berkenan bekerja melalui setiap pribadi, termasuk lewat suara yang mungkin bahkan tidak merdu. Dengan tekun Romo melatih hingga suara kami padu, lalu mengajak kami melayani Tuhan ke mana pun seturut kehendak-Nya. Kala itu, didukung oleh Yayasan Aku Percaya pimpinan Bapak Antonius Sujata SH, Romo Frietz juga telah membawa Credo Choir jajah deso milang kori ‘menjelajah banyak tempat’ untuk merasul dan mewartakan kasih Allah lewat beragam lagu gerejawi sekaligus mempopulerkan lagu-lagu Taizé. Kala itu kami melang-lang buana ke berbagai daerah, mengadakan sejumlah konser di Medan, Samosir, Jakarta, dan Yogyakarta, bahkan sempat pula masuk dapur rekaman MMA Record dan melahirkan album (ketika itu masih berupa kaset). Kiranya Tuhan sungguh berkenan dan memberkati usaha dan perjuangan Romo Frietz menghimpun dan membina persaudaraan sekaligus menempa laskar Kristus untuk mewartakan kasih-Nya lewat suara. Hingga kini nama Credo Choir masih tetap eksis, begitupun persaudaraan di antara para anggota dan mantan anggotanya.

Sayang kemudian hari saya harus meninggalkan kota Medan dan berpisah dengan beliau juga teman-teman di Credo Choir. Bagaimanapun saya sangat bersyukur karena Tuhan pernah mempertemukan saya dengan Romo Frietz. Melalui mars Credo Choir, “Aku Percaya” yang ditulis Bapak Antonius Sujata dan diaransemen oleh Romo Frietz saya selalu diingatkan bahwa Credo “Aku Percaya” bukan sekadar pernyataan basa-basi, tetapi juga keyakinan dan kekuatan iman yang senantiasa percaya akan janji Tuhan. Oleh karenanya, saya pun mengimani dan percaya bahwa malaikat Allah telah membawa jiwa romo/guru/pembimbing/sahabat kami tercinta untuk berkumpul bersama para kudus-Nya di surga.

Selamat jalan Romo. You’ll never be forgotten, may you rest in peace.

Depok, 18 Mei 2020

Catatan:
Tulisan ini dibuat untuk mengenang 7 hari berpulangnya Dr. RD. Frietz R. Tambunan, Pr. - Rektor Unika Santo Thomas Medan; Pendiri, Pembimbing, dan Pelatih Credo Choir Medan. Tulisan ini sebelumnya saya bagikan di akun facebook saya.