Senin, 09 Maret 2009

Berpamitan


Sudah seharusnya berpamitan saat pergi dari suatu tempat di mana kita masih meninggalkan orang lain. Entah keluarga di rumah, atasan/rekan di kantor, bahkan teman-teman di tempat nongkrong. Berpamitan menjadi sangat penting saat kita bertamu. Hanya maling yang konon tidak pernah berpamitan. (Datang pun dia tidak permisi! Hehehe...)

Berpamitan menjadi tata krama yang sangat dijunjung tinggi dalam berbagai adat/ kelompok masyarakat. Orang yang tidak berpamitan saat meninggalkan tempat, bisa dibilang “tak punya adat”. Dalam keluarga muslim, mengucapkan Assalamualaikum1) sebelum pergi atau saat datang wajib hukumnya.

Dari empat bersaudara, aku bisa dibilang paling bandel. Saat masih duduk di Sekolah Dasar, aku kadang berpamitan sesukaku. Aku sering berteriak sambil berlari keluar rumah. Alhasil, ibuku akan menyuruhku kembali untuk memperbaiki caraku berpamitan. Dengan cemberut atau berkeluh kesah, biasanya aku akan kembali, menghampiri Ibu atau Ayah lalu mencium punggung tangan beliau sambil bergumam kesal “Bu/Ayah, berangkat sekolah”.

Setelah besar kebandelanku dalam berpamitan kadang kala masih kuulang. (Bukan bandel ... hanya iseng!) Saat jadi perantau di Medan, aku tinggal bersama sebuah keluarga Batak Karo. Pada Mamak (Ibu kost yang sudah menjadi orang tua sendiri), aku sering bercanda. “Mak, Laos aku … Vietnam, Kamboja, Thailand!” Laos dalam bahasa Karo berarti pergi. Ibu kost yang kupanggil Mamak pun biasanya hanya tersenyum sumringah menanggapi kebandelanku.

Konon katanya, kalau disuguh makan besar saat bertamu, tidak sopan jika segera sesudah menghabiskan makan kita langsung berpamitan. Entah hanya Ibuku yang memiliki prinsip ini dan mengajarkan pada anak-anaknya atau memang semua ibu demikian. Setelah aku semakin berumur, prinsip tersebut benar-benar kuakui kebenarannya. Bukan hanya menyangkut kesopanan tapi juga kesehatan. Secara biologis, berpamitan sesudah selesai menyantap makan besar memang tidak tepat karena proses pencernaan belum lagi sempurna. Mungkin perlu waktu 10-15 menit. Kalau beruntung, mungkin masih ada tawaran semangkuk es krim sebagai makanan penutup. :)

Pernah aku main ke rumah temanku dan disuguh makan siang. Sesudah menghabiskan makan siang aku pamit pulang. “Wah, SMP ya?” Seloroh ayah temanku. Aku hanya tersenyum tak mengerti. Wah, beliau menyangka aku anak SMP! Mungkin ayah temanku memang tidak tahu kalau aku ini teman sekolah anaknya di SMA. Namun, beberapa tahun kemudian seloroh yang sama kudengar dari kakak sepupuku. Waktu itu karena takut kemalaman pulang dari rumahnya, sesudah makan malam aku buru-buru pamit. “Kok SMP, gak elok! Ngobrol dulu sebentar!” Demikian kata kakakku. Selidik punya selidik, ternyata akronim SMP seperti seloroh ayah teman SMA-ku adalah kependekan dari Sesudah Makan Pulang. Ha...ha... ha...

Ada satu hal tentang berpamitan yang selalu membuatku tersenyum. Tamu di rumah orang tuaku selalu berpamitan lebih dari satu kali. Makin akrab tamu itu dengan keluarga kami semakin banyaklah salam pamit akan disampaikan.

Pertama, jika tamu seorang rekanan biasa. Beranjak dari kursi tamu ia akan mengucapkan salam pamit dan bersalaman. Ayah atau Ibuku biasanya akan mengantar sampai pintu. Di pintu sekali lagi mereka berpamitan dan menghilanglah tamu di kelokan teras. Mengucapkan kata pamit dan bersalaman dalam 2 waktu berbeda, bisa dihitung dua kali berpamitan!

Kedua, jika tamu itu adalah teman dekat. Biasanya sambil menyeruput suguhan minuman untuk terakhir kali, mereka akan melontarkan kalimat pamit. “Sampun cekap, nyuwun pamit”. Beranjak dari kursi mereka akan bersalaman dengan Ayah/Ibuku dan kembali mengucapkan salam pamit lengkap dengan ucapan terima kasih untuk suguhannya. Tapi jangan salah, obrolan masih akan berlanjut karena Ayah/Ibuku akan mengantar hingga ke depan rumah sampai mereka lenyap di ujung jalan. Maklum teman dekat! Di teras rumah, biasanya sang tamu akan berpamitan lagi. Lalu di atas kendaraan atau di dalam mobil mereka kembali berpamitan. Jika dihitung jumlahnya empat kali!

Ketiga, jika sang tamu adalah keluarga dekat. Tamu golongan ini tentu akan menembus batas-batas area publik. Saat pertama datang bisa langsung ngobrol di dapur bersama Ibu, pindah ke ruang keluarga, ruang tamu, teras, atau ruang mana pun. Saat mereka sudah berpamitan pulang, mungkin saja Ibu baru selesai memasak lalu menawarkan makan. Selesai ngobrol di ruang makan pamitan kembali diulang, sambil berjalan ke ruang tamu. Bukan langsung keluar mereka masih duduk lagi di ruang tamu. Ngobrol lagi. Lalu sambil menandaskan suguhan kopi enak bikinan ibu sang tamu akan berpamitan lagi. Lalu di pintu,di teras rumah, juga di mobil. Jumlahnya , enam kali! ­­

Keempat, bagaimana jika tamunya seorang pelupa? Berurusan dengan tamu pelupa, tentu lebih banyak lagi salam pamit yang akan kami terima. Terlebih lagi jika tamu pelupa itu adalah keluarga dekat. Wah, bisa lebih dari sepuluh kali salam pamit terucap. Bagaimana tidak? Sejak beranjak pertama kali hingga berada di atas kendaraan saja sudah 5 kali pamit. Bayangkan, jika tamu itu kembali masuk ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal. Tebaklah, dia tentu akan berpamitan lagi, lagi, lagi, lagi. dan lagi.

Ternyata bukan hanya tamu di rumah orang tuaku yang pamit berkali-kali. Beberapa temanku mengaku selalu berpamitan lebih dari 2 kali. Bahkan, ada seorang teman yang punya kenangan lucu tentang berpamitan. Setelah berkali-kali pamit, akhirnya justru dia pergi bersama seluruh penghuni rumah (yang telah diberi salam pamit).

Pada waktu itu temanku berada di rumah tunangannya. Dia dan tunangannya berencana pergi ke gereja. Sebelum pergi, temanku pamit pada calon mertua dan seisi rumah. Eh, baru sampai di teras rumah, hujan turun dengan lebat.

“Tunggulah reda,” kata tunangannya. Mereka pun duduk dan ngobrol di teras.

Setelah reda, temanku berpamitan lagi. Kedua calon mertua mengantar sampai di teras. Beberapa kali motor dihidupkan selalu gagal. Olala... ternyata busi motor harus dibersihkan. Terpaksa temanku duduk di teras, sementara tunangannya membereskan motor. Setelah motor selesai diperbaiki... sekali lagi mereka berpamitan... untuk ke-3 kalinya. Bremmm... kali ini benar-benar berangkat! Tapi, belum jauh berkendara, tepatnya ketika sampai di gerbang, sebuah mobil membunyikan klakson hendak masuk halaman. Pengendaranya adalah tante sang tunangan.

“Ngobrol dululah. Tante kan belum kenal...,” kata sang Tante dari dalam mobil.

“Kita ke gereja yang ke-2 saja,” bisik tunangannya.

Motor dimatikan dan mereka kembali masuk ke rumah. Bersama tunangan dan kedua calon mertuanya, temanku menemani sang tante ngobrol. Setelah ngobrol cukup lama, calon mertua memutuskan untuk ke gereja bersama-sama sang tante. Temanku dan tunangannya juga diajak semobil. Akhirnya... temanku, tunangannya, dan seluruh keluarga bermobil bersama ke gereja. Jadi untuk apa dari tadi pamit berkali-kali, begitu cerita temanku sedikit kesal.

Pernah terlintas di benakku bahwa berpamitan berulang kali adalah sebuah basa basi yang sangat basi. Dan, aku berniat menghilangkannya! Aku hanya akan berpamitan satu kali jika bertamu, begitu janjiku! Tapi janji itu ternyata susah diterapkan! Setelah diantar tuan rumah hingga pintu gerbang halaman dan tidak berpamitan sekali lagi, aku merasa seperti orang yang tidak punya sopan santun. Ah peduli amat jika basa basi ini memang basi! Mungkin basa basi adalah salah satu keindahan hidup di negara timur. 

Kalimalang, Maret 2009

Catatan:
1. Assalamualaikum: salam dalam bahasa arab
2. Mak, laos aku (Bhs. Karo): Mak, pergi/berangkat aku.
4. sumringah (Bhs. Jawa): gembira
5. gak elok (Bahasa Jawa): tidak sopan/baik.
6. Sampun cekap, nyuwun pamit (Bahasa Jawa): Sudah cukup, mohon pamit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar