Rabu, 18 Februari 2009

Aktualisasi Kasih




Judul Buku   : City of Joy (Negeri Bahagia)
Penulis         Dominique Lapierre
Penerjemah :   Wardah Hafidz
Penerbit       Bentang Pustaka
Halaman       :   xv+799
ISBN             :   979-3062-31-2
Tahun terbit :   Juli 2007

Novel epik ini bercerita tentang kehidupan pahit kaum urban di Calcutta. Sebuah kota yang yang berpenduduk sangat padat ini kubayangkan lebih semrawut dari Jakarta.

Namun, di kota itulah seorang biarawan merelakan diri hidup bersama sekelompok kaum papa di daerah kumuh bernama Negeri Bahagia. Meskipun bernama Negeri Bahagia, sejatinya wilayah tersebut adalah sebuah slum area khas kota-kota di negara berkembang. Lengkap dengan segala aroma anyir keringat pekerja keras, jerit tangis sekaligus tawa pahit bayi dan anak-anak kekurangan gizi, serta berbagai penyakit yang dihinakan.

Jika mau, sang biarawan sebenarnya bisa tinggal di pasturan gereja yang nyaman dan hanya datang sesekali saja untuk memberikan pelayanan. Namun, itulah sosok KASIH yang turun dari surga seperti malaikat. Kerelaan sang biarawan (yang juga terhubung dengan “kerja” Bunda Teresa) itu, rupanya memberi semangat hidup tersendiri bagi kaum miskin di daerah kumuh. Melalui dialah Kasih Allah bagi kaum miskin benar-benar menjadi nyata.

Lalu Kasih pun menyentuh seorang dokter muda yang berada ribuan mil jauhnya dari Calcutta. Dokter muda yang telah bertunangan, hidup mewah di Amerika, serta tengah bersiap menyelesaikan spesialisasinya tersebut, bersedia datang menanggapi surat sang biarawan untuk bergabung.

Sang dokter merelakan diri terjun dalam kumuhnya Negeri Bahagia untuk mempraktikkan ilmunya tanpa imbalan apa pun. Tanpa tahu kondisi riil sebuah tempat bernama Negeri Bahagia, sang dokter yakin untuk melepaskan kesenangan hidup di tengah kemewahan di negara asalnya. Satu lagi seorang malaikat turun dari surga. Itulah KASIH.

Membaca novel ini seperti berada bersama sang biarawan dan sang dokter di Negeri Bahagia itu. Sering kali kita seakan-akan harus menahan napas dan menutup hidung karena mencium bau anyir slum area. Kita pun harus menahan diri melihat peluh bercucuran dari para penarik.

Kita juga kerap kali harus menahan miris melihat kematian-kematian dan bahkan pengobatan atau operasi yang mengenaskan. Hingga puncaknya sering pula harus menahan malu bila kita menyadari hidup ini belum berarti karena sedikit saja hal baik yang dilakukan. Atau mungkin telah berbuat banyak, tetapi tanpa lapisan KASIH.

Selanjutnya, boleh jadi kalimat bijak Bunda Teresa pun akan terngiang-ngiang. “Kita harus tahu bahwa kita telah diciptakan untuk perkara-perkara yang lebih besar daripada sekadar memenuhi bumi, juga lebih besar dari sekadar mendapatkan gelar dan jabatan, atau sekadar melakukan ini dan itu. Kita telah diciptakan untuk mengasihi dan dikasihi.”

Kita mungkin lelah oleh pelayanan, bahkan mengorbankan nyawa untuk itu.. tetapi jika pelayanan kita tidak mengandung kasih, maka sia-sialah semuanya.


Kalimalang, 18 Februari 2009

Karunia Kasih


Judul Buku   : Karunia Kasih Bunda Teresa
Penyusun     Servant Publication
Penerjemah :   Gadang JP
Penerbit       Bethlehem Publishers
Halaman       :   x+118
ISBN             :   979-95664-5-6
Tahun terbit :   1999

Buku kecil berjudul Karunia Kasih ini saya dapatkan dari seorang sahabat sebagai sebuah hadiah. Buku saku berukuran 9 x 12,5 cm itu memuat beberapa ungkapan yang pernah disampaikan oleh Bunda Teresa dari Calcutta.

Ungkapan bermakna KASIH itu sederhana saja. Tak ada ungkapan yang terlalu panjang. Yang terpanjang mungkin hanya berisi 7-8 kalimat. Bahkan ada yang hanya satu kalimat.

Walauun demikian, semua ungkapan dalam buku ini mengingatkanku untuk terus menyadari dan meresapi arti KASIH. Selain itu juga memberi dorongan untuk menebarkan KASIH, mengajakku menjadi KARUNIA KASIH bagi sesama.

Tentu yang dimaksud adalah Karunia Kasih yang bersumber hanya dari Yang Maha Kasih, yaitu Allah sendiri. Beberapa kutipannya, antara lain:

“Tidak ada yang membatasi kasih Allah. Panjangnya tak dapat terukur dan dalamnya tak dapat terduga.”

“Kita harus tahu bahwa kita telah diciptakan untuk perkara-perkara yang lebih besar daripada sekadar memenuhi bumi, juga lebih besar dari sekadar mendapatkan gelar dan jabatan, atau sekadar melakukan ini dan itu. Kita telah diciptakan untuk mengasihi dan dikasihi.”

Sangat kebetulan jika sesudah membaca buku saku ini, saya menikmati novel karya Dominique Lapierre berjudul City of Joy (Negeri Bahagia). Menurutku, kisah dalam novel ini adalah aktualisasi dari semua ungkapan Bunda Teresa tentang KARUNIA KASIH.

Resensi singkat untuk novel ini saya tuliskan dalam artikel berjudul "Aktualisasi Kasih".

Kalimalang, 18 Februari 2009


Senin, 16 Februari 2009

Tuesday with Morrie




Judul Buku   : Tuesdday with Morrie
Penulis         Mitch Albom
Penerbit       Gramedia Pustaka Utama
Halaman       :   x+118
ISBN             :   979-95664-5-6
Tahun terbit :   2007

Morrie Schwart - seorang dosen yang terserang penyakit ALS tengah menunggu ajal menjemput. Sementara “menunggu” ia memberikan kuliah bagi mahasiswa kesayangannya, Mitch Albom. Bukan sekadar kuliah, tetapi pelajaran tentang cinta dan kasih sayang. Lebih dari itu adalah pelajaran tentang kehidupan. 

Setiap Selasa, mereka mengisi kuliah dengan menjalin percakapan. Morrie mengajarkan bagaimana menjalani hidup, memaknai hidup, dan menyiapkan kematian itu sendiri. 

Membaca pelajaran hidup yang dibagikan Morrie membuat kita tersadar. Setiap hari kita sibuk menjalani kehidupan. Banyak pekerjaan dan rencana capaian: memperbaiki status sosial, meningkatkan karir, mempertahankan jabatan, dan banyak rencana. Semua orang sibuk mengisi hidupnya, tetapi sering kali melupakan nilai kehidupan itu sendiri. Kita hidup tanpa makna dan tujuan. Morrie bilang kita hidup seperti robot.

Setiap kata-kata Morrie dalam kuliahnya menyentuh dan mengajak kita unuk melakukan introspeksi. Mengajak kita menyadari arti dan tujuan hidup kita yang sebenarnya. Kita diajak menyadari bahwa sering kali kita hanya mengejar kebahagiaan semu. 


Morrie sepertinya menjalani hidupnya dengan bijaksana. Ia bahkan memanfaatkan sisa hidupnya yang tinggal beberapa bulan dan ingin memberinya “arti” lebih. Baginya hidup berarti bila kita bisa memberikan sesuatu bagi orang lain, lingkungan, dan masyarakat luas. 

Cerita ini adalah true story. Buku yang kisahnya telah difilmkan ini sangat menarik dan tidak membosankan. Pelajaran hidup yang diberikan tidak terasa menggurui. Terlebih posisi Mitch Albom di sini setara dengan pembaca. Bersama Albom kita akan selalu menantikan Hari Selasa itu, dan turut kehilangan saat Selasa itu tak ada lagi.


Kalimalang, 16 Februari 2009

Segelas Beras untuk Berdua




Judul Buku   : Segelas Beras untuk Berdua
Penulis         Sindhunata
Penerbit       Gramedia Pustaka Utama
Halaman       : 205
ISBN             : 978-602-7695-17-7
Cetakan I     : April 2005

Kita harus duduk kira-kira 3-4 jam untuk menempuh perjalanan dari Yogyakarta ke Semarang dengan bus antarkota. Cukup melelahkan. Bagaimana pula jika kita harus berjalan kaki?

Tentu saja jauh lebih melelahkan. Jarak Yogyakarta–Semarang sekitar 188 km. Rata-rata kecepatan orang berjalan kaki 10 km/ jam. Jadi, diperlukan waktu minimal 18,8 jam berjalan kaki untuk menempuh jarak kedua kota tersebut. Waktu itu dapat tercapai bila kita berjalan tanpa istirahat sedetik pun dan dengan kecepatan konstan.

Dengan hitung-hitungan kasar itu, alhasil akan sulit rasanya membayangkan berjalan kaki antara Yogyakarta dan Semarang dengan berbeban berat. Namun, itulah perjuangan Mbok Tukinem dalam Segelas Beras untuk Berdua.

Hidup Mbok Tukinem sangat berat. Sejak kecil hingga masa tuanya tak ada yang berubah. Penderitaan terus membayanginya. Dia yang semula sehat tiba-tiba menjadi buta. Suaminya pun seorang buta. Mbok Tukinem dan Pak Suwito adalah pasangan buta.

Seolah-olah tak ada celah hari untuk bersenang-senang. Anak-anak yang diharapkan menjadi tumpuan di masa tua, bahkan satu per satu kembali kepada Yang Mahakuasa. Toh, semua itu dijalani oleh Mbok Tukinem dengan tabah, tanpa mengeluh, dan tetap percaya akan belas kasih-Nya.

Melihat rumput tetangga selalu lebih hijau. Menganggap diri paling menderita. Demikian sering kali kita bersikap, sekurangnya saya pribadi. Sikap tersebut boleh jadi akan berbalik 180 derajat setelah kita membaca perjalanan hidup Mbok Tukinem atau “Mbok Tukinem-Mbok Tukinem lain” dalam kumpulan feature Sindhunata: Segelas Beras untuk Berdua.

Membaca kumpulan feature yang pernah dimuat dalam Harian Kompas antara tahun 1979 s/d 1980 ini, seperti membaca buku sejarah.

Tokoh-tokoh separuh baya pada masa itu, saat ini tentu sudah sepuh, sedangkan yang sepuh pada masa itu tentu sudah sangat sepuh atau mungkin sudah meninggal. Jalan-jalan dan suasana kota masa itu tidak akan kita temui lagi.

Kita juga harus berhitung untuk melakukan konversi nilai rupiah. Bagi generasi yang pada era tersebut belum lahir atau masih terlalu kecil, membaca buku ini memang perlu sedikit ketekunan. Minimal untuk sekedar mengkonversi nilai rupiah atau membayangkan situasi saat itu. Pada masa itu sejuta rupiah senilai dengan 10 ekor kambing/ sapi. Padahal sekarang harga seekor kerbau saja sudah bisa mencapai 10 juta rupiah.

Namun, perbedaan masa dan nilai mata uang tidaklah terlalu penting. Segala kemiskinan dan kepedihan yang digambarkan pada masa lalu tersebut saat ini masih bertebaran di sekeliling kita.

Sentuhan personal Sindhunata dalam setiap feature meskipun setitik kiranya dapat mengubah pandangan bahwa hanya beban hidup kita saja yang terberat. Ternyata banyak tetangga, teman, dan kerabat yang memiliki halaman dengan rumputnya tak sehijau rumput di halaman kita. Boleh jadi, bahkan halaman mereka berumput kuning. Barulah kita mungkin sehera tersadar akan sesuatu.  

Kalimalang, Februari 2009