Judul Buku : Segelas Beras untuk Berdua
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 205
ISBN : 978-602-7695-17-7
Cetakan I : April 2005
Kita
harus duduk kira-kira 3-4 jam untuk menempuh perjalanan dari Yogyakarta ke Semarang dengan
bus antarkota. Cukup melelahkan. Bagaimana pula jika kita harus berjalan kaki?
Tentu saja jauh lebih melelahkan.
Jarak Yogyakarta–Semarang sekitar 188 km. Rata-rata kecepatan orang
berjalan kaki 10 km/ jam. Jadi,
diperlukan waktu minimal 18,8 jam berjalan kaki untuk menempuh jarak kedua kota
tersebut. Waktu itu dapat tercapai bila kita berjalan tanpa istirahat sedetik pun
dan dengan kecepatan konstan.
Dengan hitung-hitungan kasar itu, alhasil akan sulit rasanya membayangkan berjalan kaki antara Yogyakarta dan Semarang dengan
berbeban berat. Namun, itulah perjuangan Mbok Tukinem dalam Segelas Beras
untuk Berdua.
Hidup
Mbok Tukinem sangat berat. Sejak kecil hingga masa tuanya tak ada yang berubah.
Penderitaan terus membayanginya. Dia yang semula sehat tiba-tiba menjadi buta.
Suaminya pun seorang buta. Mbok Tukinem dan Pak Suwito adalah pasangan buta.
Seolah-olah tak ada celah hari untuk bersenang-senang. Anak-anak yang diharapkan menjadi tumpuan di masa tua, bahkan satu per satu
kembali kepada Yang Mahakuasa. Toh, semua itu dijalani oleh Mbok Tukinem
dengan tabah, tanpa mengeluh, dan tetap percaya akan belas kasih-Nya.
Melihat rumput tetangga selalu lebih hijau. Menganggap
diri paling menderita. Demikian
sering kali kita bersikap, sekurangnya saya pribadi. Sikap tersebut boleh jadi akan
berbalik 180 derajat setelah kita membaca perjalanan hidup Mbok Tukinem atau “Mbok
Tukinem-Mbok Tukinem lain” dalam kumpulan feature
Sindhunata: Segelas Beras untuk Berdua.
Membaca
kumpulan feature yang pernah dimuat dalam
Harian Kompas antara tahun 1979 s/d 1980 ini, seperti membaca buku sejarah.
Tokoh-tokoh
separuh baya pada masa itu, saat ini tentu sudah sepuh, sedangkan yang sepuh
pada masa itu tentu sudah sangat sepuh atau mungkin sudah meninggal.
Jalan-jalan dan suasana kota masa itu tidak akan kita temui lagi.
Kita
juga harus berhitung untuk melakukan konversi nilai rupiah. Bagi generasi yang
pada era tersebut belum lahir atau masih terlalu kecil, membaca buku ini memang
perlu sedikit ketekunan. Minimal untuk sekedar mengkonversi nilai rupiah atau
membayangkan situasi saat itu. Pada masa itu sejuta rupiah senilai dengan 10
ekor kambing/ sapi. Padahal sekarang harga seekor kerbau saja sudah bisa
mencapai 10 juta rupiah.
Namun,
perbedaan masa dan nilai mata uang tidaklah terlalu penting. Segala kemiskinan
dan kepedihan yang digambarkan pada masa lalu tersebut saat ini masih
bertebaran di sekeliling kita.
Sentuhan
personal Sindhunata dalam setiap feature meskipun
setitik kiranya dapat mengubah pandangan bahwa hanya beban hidup kita saja yang
terberat. Ternyata banyak tetangga, teman, dan kerabat yang memiliki halaman
dengan rumputnya tak sehijau rumput di halaman kita. Boleh jadi, bahkan halaman
mereka berumput kuning. Barulah kita mungkin sehera tersadar akan sesuatu.
Kalimalang, Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar