Selasa, 30 Juli 2013

Kampung Baduy

Kampung Baduy Luar (Foto: @dwi_klarasari)

Baduy telah menjadi mimpiku lebih dari satu dekade. Kisah masyarakat Baduy nan sederhana yang berjalan bertelanjang kaki ke mana pun pergi. Kisah desa baduy nan alami yang konon terisolir dan tak tersentuh teknologi, juga tidak terdokumentasi. Tanpa sadar, kisah-kisah itu terpatri dalam benak, berbalut keraguan serta tanya: benarkah itu semua nyata?


“Betul ya kalian jalan kaki ke mana pun pergi?” kira-kira demikian pertanyaan yang saya lontarkan.
“Iya Teh,” jawab singkat pemuda Baduy Dalam yang baru saja saya kenal.
“Tidak beralas kaki, memangnya tidak sakit?” Saya mencuri pandang ke arah kaki telanjangnya. Maaf, ini tidak sopan, bisik saya dalam hati. Tapi itulah ekspresi kekaguman dan nyaris tak percaya. Konon, dengan berjalan kaki pulang-pergi lebih dari 4 hari, mereka telah berkali-kali mendatangi Jakarta. Wow!

“Sudah biasa, tidak sakit” jawabnya dengan intonasi datar, tanpa merasa bahwa hal itu telah membuat saya—dan mungkin banyak orang lain—terheran-heran.
Terjawab sudah satu pertanyaan tentang masyarakat Baduy Dalam—langsung oleh subjeknya. Ya, pada tanggal 1-2 Oktober tahun 2011 lalu saya sempat bertemu dan mengenal masyarakat Baduy. Hari itu untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Baduy. Saya datang bersama teman-teman baru, di bawah koordinasi ‘Pesona Jawa’. Pesona Jawa adalah sebuah komunitas jalan-jalan yang dibentuk di Jakarta yang mengajak berpetualang dan menjelajah serta peduli akan keindahan dan eksotisme Nusantara, menikmati kekayaan sejarah dan keragaman budaya. Bersama komunitas tersebut, kami datang sebagai wisatawan lokal yang merindukan alam bersih bebas polusi. Saat itu tersirat pula keinginanyang umum dimiliki penduduk metropolita—melepaskan diri dari rutinitas dan rasa jenuh menghirup hawa kapitalisme. Tak heran jika saya pun meyakini iming-iming dalam promo: “petualangan mengasyikan penuh kesederhanan serta bersahabat dengan alam”. Keyakinan itu dikuatkan oleh pernyataan beberapa teman yang pernah mengikuti cultural trip serupa.

Jauh sebelum hari keberangkatan, Marsad—ketua rombongan sekaligus pemandu—telah memberi gambaran tentang wisata dua hari satu malam berharga tiga ratus ribu rupiah ini. Desa Baduy yang akan kami kunjungi, terletak di kaki Pegunungan Kendeng yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak—Rangkasbitung, Provinsi Banten. Jaraknya kira-kira 40 km dari Rangkasbitung atau sekitar 170 km dari Jakarta. Masyarakat Baduy terbagi atas Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Orang Baduy yang lebih senang menyebut diri “Urang Kanekes” ini memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka berbahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Orang Baduy Dalam (Urang Tangtu) mencirikan diri dengan bawahan berupa kain tenun tradisional dan baju biru tua atau putih alami serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar (Urang Panamping) berpakaian dan berikat kepala hitam, tapi sering pula memakai kaos dan celana produk konveksi. Gambaran itu saya simpan baik-baik dalam memori.   

Pada hari keberangkatan, saya—yang kebetulan tinggal di Depok—sudah meninggalkan rumah selepas subuh. Bermodal tiket KRL Commuter Line seharga Rp6.000,00 dan menempuh satu jam perjalanan dari Stasiun Depok Baru, saya menjumpai teman-teman baru di Stasiun Jakarta Kota—lokasi meeting point. Layaknya para petualang, kami segera akrab tak lama usai berkenalan

Sambil menunggu kedatangan peserta lain, kami duduk lesehan di lobi stasiun. Saya, Dina, Mbak Lily, dan beberapa teman lain menikmati roti dan secangkir kopi yang kami beli dari pedagang asongan. Setelah semua peserta datang, panitia membagikan tiket KA Ekonomi rute JakartaRangkasbitung seharga Rp2.000,00. Berbekal tiket itu kami bergegas menuju peron, dan larut bersama penumpang lain berebut tempat duduk. Siapa cepat dia dapat! Begitulah aturan di kelas ekonomi. 

Tepat pukul 08.00 WIB, kereta berwarna oranye bergaris biru itu meninggalkan Stasiun Jakarta Kota. “Keluarga baru” yang terbentuk di lobi stasiun tak henti mengobrol. Kami bersahutan mengisahkan berbagai perjalanan atau sekadar berbagi kecintaan akan banyak hal. Keakraban membuat perjalanan tiga jam di kelas ekonomi nan sumpek dan panas tidak terasa lama. Tiba-tiba kereta sudah tidak bergerak lagi, alias telah tiba di tujuan yaitu Stasiun Rangkasbitung. Arloji di pergelangan tangan saya menunjuk pukul sebelas

Di Rangkasbitung, panitia—atas bantuan Mulyono, seorang pemuda dari Baduy Luar—telah menyiapkan mobil yang akan membawa kami ke Desa Cijahe. Satu jam kemudian—sesudah teman-teman Muslim menjalankan sholat dan semua perut telah dikenyangkan—mobil Elf berkapasitas 20 orang itu meluncur meninggalkan Rangkasbitung.

Pada menit-menit pertama, kami masih melanjutkan keakraban yang sempat terputus. Namun tak berapa lama kemudian, satu per satu mulai terangguk-angguk diserang kantuk. Bius sepiring nasi rames menu makan siang segera melelapkan sebagian besar dari kami. Tidak ada yang merasa terganggu oleh goncangan dan deru mobil yang melaju kencang melalui tanjakan dan turunan curam serta kelokan tajam. Saya yang masih terjaga sempat menikmati lansekap perbukitan yang indah meski dikaburkan oleh kekeringan di sana-sini. Marsad yang telah berulang kali melalui rute itu tanpa diminta menceritakan banyak hal yang tidak kami ketahui

Namun, sepanjang jalan kami harus menutup hidung, sebab debu jalanan terhisap masuk melalui pintu dan jendela Elf yang terbuka. Terpaan debu semakin hebat saat mobil melintasi area penambangan pasir. Saat terbangun dari lelap saya terkejut mendapati Marsad terlihat jauh lebih tua karena rambutnya memutih oleh debu.

Kereta kelas ekonomi Jakarta—Rangkasbitung, di Stasiun Rangkasbitung (Foto:@dwi_klarasari)
Setelah 2,5 jam sopir berjibaku di jalanan ekstrim, Elf pun menyapa Cijahe dan berhenti di tepi tanah lapang dekat sebuah permukiman. Itulah gerbang masuk ke kawasan hak ulayat masyarakat Baduy, seperti tertulis pada papan nama. Di tanah lapang itu juga dapat dijumpai bangunan mungil—tiruan lumbung padi Suku Baduy—dan sebuah papan bertuliskan “Amanat Buyut”.  Konon, “Amanat Buyut” yang berisi 13 baris kalimat dalam bahasa Sunda dan Indonesia itu adalah salinan pesan nenek moyang Suku Baduy. Saya tidak sempat memahami maksudnya. Tetapi satu baris yang selalu terngiang adalah “Larangan teu meunang dirempak (Larangan tak boleh dilanggar)”. Setidaknya itu jadi peringatan bagi wisatawan seperti kami agar nantinya mematuhi segala hal yang dilarang di Tanah Baduy!
Berfoto dengan rombongan penjelajah di bawah Amanat Buyut (Foto: @dwi_klarasari)
Di gerbang masuk itu, kami dihadapkan pada lansekap yang relatif kering dan kurang menarik. Kondisi itu sempat membuat saya meragukan keindahan alam yang akan kami sambangi. Namun, keraguan itu menguap saat pandangan saya bertemu dengan tatapan bersahabat wajah-wajah sederhana di depan warung dekat Elf diparkir. Wajah-wajah dengan senyuman tulus. Mereka sibuk bersalaman dengan beberapa orang dari rombongan lain yang datang lebih dahulu. Melihat sosok mereka, seketika hadir potret yang tersimpan dalam memori saya. Betul, mereka adalah orang-orang Baduy Dalam. Ternyata mereka sengaja datang untuk menjemput para wisatawan yang akan mengunjungi desa mereka. Kami pun ikut bersalaman dan berbasa-basi menanyakan nama—ada Sarpin, Samin, dua orang bernama Sapri, Dony, dan banyak lagi. Lalu kami bergantian mengambil foto bersama mereka. Awalnya, saya ragu karena merasa memperlakukan mereka sebagai objek. Syukurlah, mereka sangat ramah dan tidak keberatan melayani kegilaan kami berfoto.
“Ransel-ransel yang ingin dibawakan tolong dikumpulkan di sini! Bagi yang merasa kuat, silakan bawa sendiri” teriak ketua rombongan, setelah melihat semua ransel sudah diturunkan dari atap Elf

Begitulah, para pemuda Baduy Dalam datang menjemput sekaligus menyediakan diri sebagai porter. Menurut Marsad, sebagai imbalan jasa angkut, kami cukup menyiapkan 2 lembaran rupiah untuk setiap ransel: satu bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan satu lainnya bergambar Tuanku Imam Bonjol. Jika terpaksa kurang atau justru ingin memberi lebih pun tidak dilarang. Sebenarnya mereka menerima dengan ikhlas berapa pun yang diberikan. Wah, saya tidak menyediakan anggaran untuk porter! Saya berniat menggendong ransel sendiri. Namun, niat itu saya tepis jauh-jauh setelah mendapat gambaran bahwa kami akan berjalan sejauh kira-kira 2 kilometer atau sekitar 1-2 jam, dengan tanjakan dan turunan yang cukup terjal. Akhirnya saya putuskan hanya menenteng tas kamera. 

Amanat Buyut (Foto: @dwi_klarasari)
 
Sekitar pukul 15.30 kami beranjak meninggalkan ‘gerbang masuk’ dan memulai trekking. Tujuannya adalah Desa Cibeo, satu dari desa-desa di Baduy Dalam—selain Cikeusik dan Cikertawana. Mulanya kami hanya melintasi jalanan cokelat berdebu dengan semak dan ilalang kering di kanan kiri. Namun, perlahan-lahan keindahan alam mulai terkuak. Kami mulai melintasi perbukitan yang sungguh rupawan, meski ladang kering tetap menjadi bagiannya. Saya pun terbius! Sepanjang jalan, tak henti-henti saya mengintip lubang kamera—tak beda jauh dari anggota rombongan yang lain. Kami memotret perbukitan, tanjakan dan turunan jalan, aktivitas orang berladang, dan lain-lain. Kami  berfoto di antara pepohonan kering, di depan gubug penyimpan kayu, di jalan setapak berlatar hutan albasia, bahkan mengiba pada perempuan Baduy yang lewat untuk diajak berfoto. Ah, mengingatnya selalu membuat saya tersenyum. Sebut saja itu aji mumpung, karena hanya di wilayah Baduy Luar saja kami boleh menggunakan kamera.

Lalu, sampailah kami di sebuah jembatan bambu yang panjang dan sempit, yang dibangun hanya dengan ikatan-ikatan tali hingga membuat tegak bulu roma saat melintasinya. Ternyata, jembatan itu adalah salah satu ‘gerbang masuk ke Baduy Dalam. Segera saja ketua rombongan mengingatkan kami untuk menghentikan acara berfoto serta mematikan segala alat komunikasi. Di seberang jembatan terbentang kawasan Baduy Dalam, di mana segala produk teknologi modern pantang diaktifkan. Dengan sedikit sesal saya memasukkan kamera ke dalam tas. 

Sayang sekali, padahal semakin ke dalam pemandangan semakin permai. Alam Baduy Dalam benar-benar menakjubkan, terlebih saat kami memandang dari tempat yang relatif paling tinggi. Cukup lama saya menahan napas menyaksikan pesonanya. Lembah dan bukit tertutup pepohonan hijau serta ladang padi gogo—padi lahan kering tanpa genangan air. Tidak ada lahan yang dirombak layaknya persawahan di lereng gunung, semua ditanam mengikuti kontur alami. Bisa jadi itulah terapan dari Amanat Buyut “gunung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancurkan)”. 

Sangat disayangkan, saat itu kemarau menghalangi pertumbuhan padi gogo yang menjadi tanaman utama pertanian di Baduy. Sudah lebih dari lima bulan hujan tidak turun Teh, begitu jelas pemuda Baduy yang berjalan bersisian dengan saya. Terbayang betapa akan sempurnanya keindahan perbukitan itu bila hijau/kuning padi turut menghampar bak permadani. Tanpa kamera saya teringat seorang sahabat yang pandai melukis. Andai dia ikut serta, mungkin bisa direkamnya keindahan ini untuk dilukis di kemudian hari. Setiap orang harus datang sendiri untuk membuktikan keindahan Baduy Dalam. Bersyukur saya bisa mengagumi kebesaran Ilahi tersebut!

Penyesalan tanpa kamera hanya berlangsung sekejap. Sebab, keindahan lain perlahan-lahan mulai menggoda. Keindahan masyarakat Baduy! Keramahan dan kesahajaan para pemuda Baduy terasa menyentuh hati. Jika semula sibuk mengintip lubang kamera, saya beralih mengintip hati mereka. Saya mencoba merekam segala keramahan yang tersaji—lewat tatapan dan senyum tulus, ucapan bersahaja tanpa basa-basi, tawa yang tidak dibuat-buat, serta hidup sederhana yang mereka kisahkan. Tangan mereka pun terasa tulus saat menggapai tangan kami bila nyaris terpeleset atau tak sanggup mendaki tanjakan—yang rata-rata berkemiringan 45O. Kami bertanya ini itu tiada henti—seperti anak kecil yang melihat hal baru. 

Kami senang mendengar kisah kehidupan masyarakat Baduy, yang selama ini hanya kami ketahui dari buku atau cerita orang. Ada pemuda Baduy yang menjawab antusias, ada yang terkesan malu-malu. Tetapi ada kesamaan dalam diri mereka: terbuka, jujur dan bersahaja. Mereka berkisah tanpa tedeng aling-aling atau rasa curiga, meski kami baru saja mereka kenal. Canda di antara kami terlontar begitu saja, seperti sudah lama saling mengenal. Berbeda 180 derajat dengan aura ibukota, di mana kita cenderung curiga pada orang asing.  
Obrolan sepanjang jalan membantu saya menemukan jawaban atas banyak hal tentang masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam. Mengapa mereka tidak beralas kaki atau berkendaraan jika bepergian, mengapa mereka hanya memakai pakaian buatan sendiri dan bukan produk konveksi, mengapa mereka menolak listrik dan segala kemajuan teknologi, mengapa mereka tidak sekolah, dll. Ternyata, jawabnya hanya satu: semua itu aturan adat! 

Masyarakat Baduy Dalam dikenal sangat ketat memegang aturan adat. Mereka teguh membentengi diri dari pengaruh dunia modern—meskipun sesungguhnya mereka bukan suku primitif. Mereka tidak mempertanyakan alasan di balik larangan turun-temurun. Saya terkejut saat mengetahui mereka tidak memelihara hewan berkaki empat atau menanam jenis-jenis pohon tertentu. Jadi, jangan harap bakal melihat kambing, kerbau, sapi, atau hewan berkaki empat lain. Ketika saya bertanya alasannya, para pemuda Baduy itu menjawab ringan: “sudah menjadi aturan adat.”. Masyarakat Baduy mengikuti aturan adat (pikukuh) tanpa mempertanyakan alasan-alasannya. Oh My God, it’s a simple life! 

Setelah melewati jalan panjang dengan tanjakan dan turunan berat di antara ladang yang sangat luas, akhirnya kami melihat sekelompok bangunan. Akhirnya sampai juga, pikirku! Tapi pemuda Sapri menggeleng, dan mengatakan bahwa itu adalah kumpulan lumbung—setiap lumbung dimiliki oleh sebuah keluarga. Kami masih harus berjalan beberapa menit lagi untuk sampai di permukiman. Orang Baduy memang menempatkan lumbung jauh dari rumah. Jika terjadi kebakaran di permukiman, persediaan padi di lumbung tidak ikut terbakar, jadi kami masih bisa makan, demikian kira-kira penjelasan Sapri. Hmm, sebuah konsep permukiman yang brilian.

Matahari belum lagi tenggelam, saat kami tiba di rumah Pak Nalim—di mana kami akan bermalam. Kami segera berdesakan di teras, duduk berselonjor atau merebahkan diri. Sembari melepas penat, saya mengamati arsitektur rumah baduy. Rumah adat baduy adalah rumah semi panggung dengan lantai berjarak sekitar 50-60 sentimeter dari tanah. Panjang tiang kayu penyangga yang dialasi batu alam mengikuti tinggi rendah tanah. Bentuk rumah tanpa jendela itu relatif sama, yaitu persegi dan saling berhadapan—konon, aturan adat mengharuskan pintu menghadap ke utara atau selatan, kecuali rumah ketua adat. Atap rumah dibuat dari anyaman daun kelapa, sedangkan dinding dan lantainya terbuat dari bambu. Setiap bagian bangunan hanya disambung dengan pasak atau diikat dengan tali. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan paku, begitu penjelasan Sapri saat saya bertanya tentang bangunan lumbung. Ciri bangunan baduy mewakili Arsitektur Vernakular.  

“Teman-teman, tolong keluarkan beras, mi instan dan makanan yang dibawa!” aba ketua rombongan. Sesuai kesepakatan, setiap anggota rombongan memang diminta membawa 2 liter beras, beberapa mi instan, dan makanan kecil. Tuan rumah akan berbaik hati memasaknya untuk disantap bersama-sama.
Lalu, satu per satu masuk ke rumah “menyetor” bawaan itu pada Marsad. Saya membantu sambil celingukan mengamati interior rumah. 

Tak beda dengan tampak luar, semua tiang bangunan, lantai, dinding juga rangka atap disambung hanya dengan pasak atau tali. Ruang dalam terbagi atas ruang terbuka berbentuk L dan sebuah bilik yang berfungsi sebagai dapur—konon ruang itu juga menjadi ruang tidur tuan dan nyonya rumah. Tidak ada perabotan seperti rumah di kota. Untuk tempat tidur tamu, di ruang depan telah dibentangkan tikar dengan bantal-bantal ditumpuk di tepinya.     

Sambil menunggu makanan siap, kami melewatkan petang sekehendak hati. Ada yang bertahan duduk berselonjor, ada pula yang berjalan-jalan keliling desa. Sebagian besar berbondong-bondong ke sungai, termasuk saya dan beberapa teman wanita. Kami tidak membawa sabun mandi, pasta gigi, sabun cuci, ataupun sampo. Semua produk itu tidak boleh digunakan di Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam sangat ketat menjaga agar alamnya tetap murni tidak terkontaminasi. Jadi, mereka pun menuntut tamu yang datang berkunjung bersedia mengikuti aturan itu. 

Di sungai kami tidak menemukan bilik mandi! Semua aktivitas MCK dilakukan di tempat terbuka sepanjang aliran sungai. Walaupun area wanita terpisah dari area pria, tetap saja kami merasa jengah. Kalau pun hendak mandi, semestinya menunggu hari cukup gelap, pikir saya. Jadilah, berbekal kain sarung untuk menutup diri, kami mencari tempat aman untuk sekadar buang air kecil. Saya juga mencuci tangan dan kaki, membasuh muka serta menggosok gigi—hanya dengan keyakinan air yang super jernih itu akan membersihkan dengan sempurna. Urung mandi, saya hanya duduk-duduk di bebatuan. 

Sambil menikmati dingin air di telapak kaki, saya mengamati kesibukan para wanita Baduy—mereka bertubuh kecil, putih bersih dan cantik. Mereka menimba air dalam buluh bambu, mencuci beras dan peralatan makan, lalu mandi bersama anak-anak balita. Semua terlihat sangat alami. Mereka tidak menanggapi pertanyaan saya dalam bahasa Indonesia, tapi sesekali menjawab pertanyaan teman saya dalam bahasa Sunda. Ya, berbeda dengan kaum pria dan pemuda, sebagian wanita Baduy Dalam konon tidak bisa berbahasa Indonesia. 

Area sepanjang aliran sungai itu benar-benar sangat sejuk dan hening. Dalam senyap kami bisa mendengar kicau burung di antara gemercik air, juga kolaborasi tonggeret dan desau rumpun bambu. Saat terpana pada batang bambu yang besar-besar, pandangan saya tertumbuk pada pepohonan dan semak rimbun di sisi sungai. Sekejap, saya teringat dengan “hutan larangan” yang diceritakan para pemuda Baduy saat kami di jalan tadi. Konon ada hutan lebat yang masih sangat alami di kawasan Baduy Dalam. Hanya Ketua Adat (Pu’un) serta orang-orang tertentu yang diijinkan memasukinya. Sebuah tanya menelusup benak saya, kira-kira di manakah letak hutan larangan itu? 

Sepulangnya kami dari sungai, makan malam telah siap. Nasi, mi instan rebus dan nugget ayam. Lelah, rasa lapar serta hawa dingin, membuat makanan sederhana itu terasa sangat nikmat. Tanpa malu-malu beberapa di antara kami menambahkan nasi atau mi, bahkan sebelum piring benar-benar kosong. Beruntung, ruangan yang hanya diterangi lampu minyak itu mampu menyembunyikan wajah kami yang kelaparan. Bila diamati, justru tuan rumah dan putri kecilnya yang terkesan malu-malu. 

Usai makan, sebagian memilih langsung tidur. Beberapa teman duduk di teras dan mengobrol dalam dingin dan gelap. Saat saya keluar, beberapa teman tengah berkerumun melihat-lihat cendera mata yang ditawarkan penduduk Baduy. Senter-senter dinyalakan untuk membantu melihat wujud dan warna tenunan berupa sarung, selendang, syal, dan lain-lain. Selain tenunan ada pula tas dan gelang dari kulit kayu serta berbagai kerajinan lain. Karena tidak membawa banyak bekal saya pun hanya membeli sebuah gelang kulit kayu. Lalu, saya menyingkir ke dalam supaya tidak merasa iri karena tidak bisa membeli yang lain.. ha.. ha.. ha! Jika datang lagi sebaiknya membawa cukup uang, hardik saya dalam hati sambil tersenyum dalam kegelapan.  

Di dalam, saya menerima tawaran Pak Nalim untuk menyeduh kopi. Sejak awal saya memang penasaran untuk bisa menikmati minuman dari “gelas” khas Baduy yang terbuat dari potongan buluh. Sambil menikmati kopi—bercampur aroma bambu—saya mengobrol dengan Pak Nalim dan adiknya. Mereka mengobrol sambil membolak-balik majalah yang dibawa teman saya. Sepertinya mereka hanya melihat-lihat gambarnya, pikir saya. Jika bersekolah termasuk larangan adat, tentu mereka tak bisa membaca. Tapi, itu hanya dugaan saja
Meskipun dilarang sekolah, beberapa dari mereka ternyata berupaya belajar baca-tulis secara otodidak—begitu kisah Sapri dkk. Entahlah, saya sungkan menanyakan kebenaran itu. Kami hanya mengobrol tentang hal-hal ringan. Lalu, saat melihat Pak Nalim mulai mengantuk, saya menerima ajakan Andi dan beberapa teman lain untuk bertamu ke rumah Sarpin dan Sapri. Di rumah Sarpin, kami mengobrol sambil mendengarkan permainan kecapi dan mencicipi gula aren khas Baduy. Pernah dalam sekian menit kami semua membisu dan membiarkan dentingan kecapi menguasai sunyi. Malam terasa begitu damai di desa Baduy

Malam itu kami tidur berdesakan di ruang depan rumah Pak Nalim. Tetapi beberapa anggota rombongan menerima tawaran untuk menginap di rumah Sarpin dan Sapri. Setiap orang bergelung dalam kantung tidur atau selimut tebal yang dibawa dari Jakarta. Lantai bambu yang berderak setiap kami berganti posisi tidak menjadi gangguan berarti. Semua tertidur pulas seperti usai terjaga berhari-hari. Pasti karena kelelahan usai melakukan trekking yang relatif berat. Saya sendiri terlelap paling akhir dihantar sayup denting kecapi dari rumah pemuda Sarpin. 

Lewat tengah malam beberapa dari kami terbangun dan merasa perlu ke kamar mandi. Alamak! Segera kami teringat bahwa kami tidak sedang berada di rumah dan tak ada kamar mandi di dalam rumah. Akhirnya, dengan terkantuk-kantuk kami berjalan menuju sungai. Aneh, meskipun di luar gelap, tidak ada perasaan takut! Tapi sesekali kami sorotkan senter ke semak-semak di sekitar sungai, khawatir berjumpa hewan melata. Saat tengadah saya melihat langit cerah yang dihiasi sepotong bulan sabit dan… wow! Di langit terlihat ribuan atau bahkan mungkin jutaan bintang. Di kota, belum pernah ada pemandangan langit sedemikian indah. Benda langit paling terang yang saya kenal selain Matahari dan Bulan, adalah Bintang Kejora—sebutan untuk planet Venus—dan rasi bintang penunjuk arah selatan yang dinamai Lintang Gubug Penceng—saya menyebutnya Lintang Salib. Namun di Baduy malam itu, saya kebingungan menemukan posisi kedua benda langit itu. Bagaimana tidak? Di langit ada ribuan bintang dan semua seolah bersaing menunjukkan diri sebagai yang paling terang.      

Ayam jantan mulai berkokok pukul 4 dinihari—jika saya tak salah mencermati arloji. Suara kokok ayam sangat dekat di telinga. Selidik punya selidik ternyata kandang ayam ada di bawah rumah panggung—tepat di bawah tempat tidur kami! Olala! Pada kokok kesekian, meskipun terasa berat, satu per satu dari kami mulai beranjak bangun. Pasti sangat beruntung bisa menghirup udara pagi yang masih berselimut kabut, jauh sebelum surya menguasai hari. Beberapa teman mulai berkemas, sedang yang lain bergegas ke sungai untuk mengikuti panggilan alam dan membersihkan diri—meskipun tidak berarti mandi pagi. Di pawon, Pak Nalim dan istrinya sibuk menyiapkan sarapan. 

Sarapan telah dihidangkan, bahkan sebelum kami selesai berkemas. Menu sarapan tak jauh berbeda dari makan malam. Anehnya, perut saya yang tak terbiasa sarapan pun tiba-tiba berontak menuntut diisi, seperti sudah lama tak bersua nasi. Ah, sungguh memalukan! Lalu kami pun berlomba mengosongkan isi bakul, belanga dan piring-piring berisi lauk. Oya, pagi itu ada tambahan lauk yang cukup unik, yaitu durian muda yang digoreng! Saya tidak bisa menjelaskan secara detail, tetapi saya bisa memastikan bahwa rasanya aneh tetapi enak.
 
Usai sarapan kami mengumpulkan ransel-ransel untuk kembali dibawakan oleh Pak Nalim, juga Sarpin dkk. Mereka juga membawakan botol-botol berisi madu hutan yang dibeli oleh beberapa teman. Kami pun bersiap untuk kembali melakukan trekking. Sebelum beranjak, Marsad memberi tahu bahwa tujuan kami adalah Desa Ciboleger yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Cibeo dengan waktu tempuh sekitar 4 jam atau lebih. Medan trekking akan lebih berat dari saat berangkat. Kami akan melewati beberapa ‘tanjakan cinta’ dan ‘turunan penyesalan’—entah dari mana asal istilah romantis itu. Entah karena terbayang perjalanan 12 kilometer atau terkenang kedamaian semalam, rasanya saya enggan meninggalkan rumah Pak Nalim. Namun saat untuk berpamitan tak bisa dihindari. Kami pun bersalaman dengan Bu Nalim dan putrinya juga dengan beberapa penduduk yang turut “melepas” kepergian kami. Good bye Cibeo!  
Medan trekking menuju Ciboleger benar-benar menguras tenaga! Sebagian besar tanjakan dan turunan yang kami lewati jauh lebih curam dibandingkan rute berangkat. Wah, beruntunglah kami tidak datang pada saat musim hujan. Walaupun saya yakin saat itu pemandangan pasti jauh lebih fantastik, tetapi jalanan pasti menjadi berlumpur dan licin. Bagaimanapun kami tidak kekurangan pemandangan menawan. Apalagi pemandangan yang kami jumpai saat berada di sisi jalan yang relatif tinggi. So amazing! Sepanjang rute pulang ini berkali-kali napas saya harus tertahan oleh rasa kagum! Sungguh besar Kuasa Tuhan! 

Setelah lebih dari 2 jam berjalan, pangkal paha, betis dan pergelangan kaki saya mulai terasa nyeri. Meski sudah tahu berapa lama perjalanan akan berlangsung, kami tidak bosan bertanya “masih jauhkah?” Para pemuda Baduy yang terlihat tetap segar, akan selalu menjawab “sebentar lagi”! Bagi orang Baduy yang terbiasa berjalan ratusan kilometer, “sebentar lagi” berarti beberapa kilometer lagi... Fuiih! Beruntunglah kemolekan alam baduy juga obrolan seru kami dengan Sapri dkk., selalu berhasil mengalihkan perhatian dari lelah dan nyeri di setiap sendi. Saat harus berjalan tertatih karena letih kami tidak khawatir akan terpeleset, sebab setiap tangan dalam kelompok kami akan menolong. Terlebih lagi tangan-tangan para pemuda Baduy yang selalu siap terulur, meski mereka berbeban jauh lebih berat. Bagi saya, istilah ‘tanjakan cinta’ dan ‘turunan penyesalan’ benar-benar mewakili perjalanan itu! Setiap kali berjalan menanjak, benih-benih cinta tumbuh semakin kuat—cinta akan kesederhanaan dan ketulusan orang-orang Baduy, cinta akan kedamaian di desa Baduy, dan cinta akan ciptaan Tuhan yang menakjubkan. Lalu penyesalan akan selalu datang saat kami berjalan menurun—menyesal harus pulang ke Jakarta meninggalkan surga Baduy nan indah.

Akhirnya, tibalah kami di jembatan bambu yang akan mengantar kami keluar dari Baduy Dalam, memasuki Baduy Luar—area di mana teknologi kembali boleh digunakan. Di seberang jembatan terlihat sebagian teman telah asyik mengoperasikan kamera, ponsel, Ipad, dll. Lalu, di tepian Sungai Ciujung itu kami mengaso, sembari tak henti bernarsis-ria. Rasa letih pun sedikit terlupakan. Setelah puas bergantian mengambil foto kenangan, kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang masih tersisa setengahnya. Perjalanan dengan medan yang tidak lebih mudah, tetapi dengan keindahan alam dan orang Baduy yang sama yang selalu menarik untuk diabadikan. Ada ratusan scene telah direkam oleh setiap kamera, sebelum kami mencapai Desa Balimbing—di mana makan siang telah dijanjikan. 

Sepanjang perjalanan di Baduy Luar, banyak eksotika Baduy yang bisa kami jumpai. Pria dan wanita yang tekun meyiangi ladang, para wanita yang sibuk menenun dibantu anak-anak perempuannya, anak-anak kecil yang bertelanjang dada bermain di sungai, para pria yang bergotong royong membangun rumah, penduduk bergotong royong membersihkan jalan, para pria yang mengobrol sambil menawarkan durian pada orang lewat, dan banyak lagi. Bahkan, kami pun sempat berhenti untuk menikmati durian yang dijual di depan rumah penduduk. Tak kurang pula eksotika perkampungan yang bisa diabadikan, termasuk rumah tradisional, lumbung, jembatan, dan lain-lain. Sepanjang jalan banyak kisah hidup yang diceritakan oleh para pemuda Baduy, yang tak pernah membosankan untuk disimak.

Matahari telah meninggi saat kami tiba di rumah Mulyono di Desa Balimbing—salah satu desa di wilayah Baduy Luar. Keramahan khas Baduy yang disajikan Pak Sarpin—Ayah Mulyono—membuat kami seperti tiba di rumah sendiri. Di teras rumah sudah banyak ‘tamu’ lain yang datang lebih dahulu sedang melepas lelah. Di sana, bergantian kami menikmati mandi yang sesungguhnya. Aturan dalam adat Baduy Luar memang sedikit lebih longgar. Sabun dan sampo yang menyisakan keharuman, juga odol yang menjanjikan gigi putih bersih, boleh digunakan di Baduy Luar. Kamar mandi empat dinding dengan air yang tak henti mengalir pun tersedia. Sehabis mandi, tanpa sungkan kami menyerbu makan siang yang telah disiapkan. Masakan Ibunda Mulyono—nasi, ikan goreng, sayur asam, dilengkapi sambal dan berbagai lalapan—sungguh nikmat dan mengenyangkan. Kenikmatan makan siang adalah hadiah paling dinanti setelah perjalanan panjang yang menguras energi. Tanpa rasa sungkan, makanan yang tersedia ludes dalam sekejap. Segera sesudahnya kami semua terkapar karena kekenyangan juga terserang kantuk.
  
Kenikmatan istirahat siang harus kami lupakan. Saat matahari hampir mencapai titik kulminasi, kami berpamitan pada Pak Sarpin sekeluarga. Masih tersisa beberapa tanjakan penyesalan dan turunan cinta yang harus kami tempuh untuk menjangkau Desa Ciboleger.  

Tanpa terasa kami pun tiba di ujung perjalanan. Gerbang penanda tepian tanah ulayat masyarakat Baduy sudah di depan mata. Selangkah ke depan, kaki kami segera menginjak Desa Ciboleger—dari mana Elf ber-AC akan membawa kami pulang kembali ke Jakarta. Ciboleger mengingatkan saya pada dunia yang sempat kami tinggalkan. Di sana ada perpustakaan dan gedung sekolah, kedai dan took berderet-deret—termasuk kedai souvenir—juga terpampang poster kampanye calon gubernur. Di beberapa rumah terlihat anak-anak kecil berkumpul menonton film kartun di televisi. Orang tua dan remaja berseragam abu-abu melintas dengan kendaraan roda dua. Di tepi tanah lapang yang dinamai terminal juga berdiri mini market waralaba yang namanya berserak di kota besar. 

Ada sedikit rasa sedih, menyadari bahwa kami benar-benar telah kembali ke dunia nyata. Dunia di mana kecerlangan bintang-bintang telah dikaburkan polusi udara. Dunia di mana manusia—sering kalicenderung bertopeng; tersenyum dalam keterpaksaan; dan berbasa-basi untuk sebuah sapaan. Dunia di mana kejujuran begitu langka, di mana seorang dengan yang lain sering kali harus menatap penuh curiga. Dunia di mana kemajuan teknologi—seperti ponsel dan internet—justru menjauhkan yang berdekatan.  

Akhirnya, kami pun harus bersalam-salaman dengan Pak Nalim serta Sarpin dkk. sebagai tanda perpisahan. Entah, hingga kapan kesederhanaan Suku Baduy mampu bertahan dari pengaruh modernisasi. Dalam hati, saya berharap bisa kembali singgah di Tanah Baduy untuk menimba kedamaian bagi jiwa. Senyum tulus para pemuda Baduy yang melepas kepergian kami pun bahkan terlihat seolah mengundang untuk datang lagi di lain waktu.  


Bila engkau merindukan alam nan murni serta nuansa hijau sejauh pandang,
air jernih laksana cermin dan cerlang bintang bagai lampu di malam gulita;
bila engkau sungguh merindukan kedamaian dan ketenangan jiwa;
bila engkau nyaris tak percaya masih ada keramahan,
kesederhanaan dan kejujuran di dunia rakus ini;
datanglah ke B-A-D-U-Y!
Engkau akan tahu
semua itu ada
dan nyata.



Catatan:
Catatan Perjalanan ini terpilih sebagai 30 kisah terunik dalam yang kompetisi menulis catatan perjalanan "Traveling NOte Competition" yang diselenggarakan DIVA Press dan dibukukan dalam antologi dengan judul yang sama Traveling Note Competition 2012.

Oya, Sebagian kecil foto-foto yang saya ambil di Wilayah Baduy Luar saya sajikan dalam artikel The Awesome Baduy. Yuk, nikmati keindahan Baduy Luar dari lensa kamera saya!