Rabu, 31 Desember 2008

Menjelang Tahun Baru


Foto by @dwi_klarasari

sejenak merenungi
seluruh hari milik 2008
tiga ratus enam puluh enam hari
seluruhnya hampir berlalu
haruskah kusesali yang tlah terjadi
haruskah kusesali yang tak sempat kulakukan
haruskah kuberharap hari kemarin kembali
esok adalah hari pertama 2009
haruskah kutakut
akan apa yang ‘kan terjadi
haruskah aku khawatir
apa yang mungkin tak sanggup kulalui
nyatanya kuhanya perlu bersyukur
nyatanya kuhanya perlu percaya
syukur untuk rahmat sepanjang tahun
dengan tetap merajut mimpi-mimpi
dan percaya akan rencana Ilahi
lalu dengan senyum kusambut
fajar baru 2009 

Senja di akhir tahun 2008

Senin, 22 Desember 2008

Begitulah Ibu...


Ibuku sekarang selamanya (Foto @dwi_klarasari)

Ketika tangisan pertama
menguak dari mulut setiap orang
maka terusik sebuah ketegangan
Ketika terukir sebersit senyum
penuh kebahagiaan
Maka tercipta sebuah kelegaan
Ketika tangisan-tangisan
berikutnya menggema
menghiasi dan mengiringi
irama alam kehidupan
maka terpatri sebuah tanggung jawab
Dan mata batin kita mengaku
"Ibu...ibu... itulah engkau yang
melahirkan dan membesarkan aku”
Dan ketika irama alam kehidupan
tak perlu lagi dihiasi oleh tangisan-tangisan
seiring berlalunya waktu dan
timbullah hidup baru
Adakah aku masih menempatkan engkau...
di mana Ibu...?”
(Sora Mido, Desember 1994)

Kemarin kutelepon ibu. Setelah lama tak pulang, kukabarkan bahwa aku akan pulang dalam waktu dekat. Ibu langsung berkabar: ”Nanti Ibu masakin bakso!” Lalu Ibu sibuk menceritakan rencana untuk belanja esok lusa. Katanya ia akan membeli daging, bakso, mie, dan segala macam. Kemudian Ibu masih juga meminta persetujuanku untuk dibuatkan sambal goreng. Kupikir, pasti sangat repot, jadi kuusulkan untuk memasak rawon saja. Lebih sederhana.

Setahuku tangan ibu belum bisa difungsikan dengan baik. Kira-kira tiga minggu yang lalu belliau jatuh terpeleset dan pergelangannya retak. Jangankan memasak, memegang sendok untuk makan sendiri pun belum lancar. Waktu kuingatkan, beliau bilang akan siapkan bahan mentah dan racik semua bumbu. Nanti aku, adikku, atau siapa pun hanya perlu memasak sesuai instruksi beliau. Ya benar juga sih, jadi rasa masakan tetap“khas ibu”. Sebenarnya, aku pun kangen masakan ibu.

Jadi teringat lagu yang kunyanyikan saat masih TK

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang Surya menyinari dunia

Begitulah Ibuku. Dalam keadaan sehat maupun sakit, tetaplah seorang ibu yang tak ingin membuat anak-anak khawatir bahkan hanya ingin membuatnya bahagia.

Kalimalang, Desember 2008


PS:
Selamat Hari Ibu, untuk semua ibu di dunia!
Berkatmu besar di surga...

Jumat, 19 Desember 2008

Semoga Tidak Beracun

Sumber: Food Detik

Kisah ini terjadi saat ibuku masih menjadi Pamong Wilayah di Wilayah St. Stephanus, Paroki St. Paulus Semarang. Kebetulan kala itu aku juga masih menjadi guru Sekolah Minggu.

Suatu ketika, keluarga kami mendapat tugas menerima kehadiran anak-anak untuk bersekolah Minggu di rumah. Ibuku menyiapkan menu lele goreng lengkap untuk hidangan makan siang anak-anak yang rata-rata berusia di bawah enam tahun itu.

Saat makan siang tiba, anak-anak duduk mengelilingi meja makan dengan tertib. Kupersilakan seorang anak untuk memimpin doa makan sekaligus melatih keberanian mereka.

Dengan berani, anak yang saya tunjuk segera saja memimpin doa. Beginilah bunyi doanya: "Tuhan terima kasih untuk makanan ini. Berkatilah kami ya Tuhan, berkati juga makanan ini semoga tidak beracun.”

Reflek kubuka mata dan menoleh ke arah Ibuku yang ternyata juga membuka mata dengan terkejut. Kami hanya saling berpandangan dan menahan tawa. Ah, anak-anak memang apa adanya.

Kalimalang, Desember 2008 



Kamis, 11 Desember 2008

Bolehkah Menulis Phonebook Sesuka Hati?


Tahun 2000 aku mulai turut dalam era baru komunikasi. Era telepon seluler alias ponsel. Lalu, segera saja kuakrabi berbagai istilah baru, seperti SMS-Short Message Service, misscall, phonebook, dan sebagainya. 

Bagiku, keberadaan phonebook cukup fenomenal. Sisi positif dan negatif tumpang tindih tak jelas batasannya. Satu sisi positif: bila ingin bertelepon, tinggal klik phonebook, pilih nama, dan ”Haloo...” tersambung! Tak perlu lagi mengingat puluhan nomor atau membuka buku telepon. 

Satu sisi negatif: phonebook menurunkan daya ingatku. Bagaimana tidak, aku tak lagi berminat menghafal nomor telepon. Jika sebelumnya bisa kuhafal lebih dari sepuluh nomor, setelah ber-ponsel hanya 4 nomor yang bisa langsung kutekan tanpa membuka catatan. Nomor rumah, nomor kantor, nomor ponselku, dan... tak ada lagi. Ah, ternyata hanya tiga nomor! 

Pernah, saat mengurus penggantian sim card yang rusak, aku harus mengisi form pernyataan. Salah satu item yang tertera adalah diminta menulis 5 nomor dalam sim card yang paling sering dihubungi. Ternyata hanya 2 nomor yang kuhapal, rumah dan kantor. Nomor orang-orang terdekat (keluarga, adik, kakak, sepupu), bahkan telepon tempat indekos dan nomor teman sekamarku tidak ada yang dapat kuingat dengan benar. Olala!

Phonebook juga memberi pelajaran, kelucuan, dan banyak pengalaman.
Dengan seizin pemiliknya, aku suka membaca phonebook di ponsel orang lain. (Swear... hanya phonebook kok!) Seru juga lho membaca nama-nama dalam phonebook! Melalui phonebook bisa lho diketahui sifat pemilik ponsel. Apakah dia orang yang sangat sopan, seorang biasa, atau seorang selengekan/iseng. 

Teman-temanku yang sangat sopan, daftar nama dalam phonebook-nya sebagian besar diawali huruf B, P, dan M. Ada juga I , K dan M. Simak ya... semua yang sebaya orangtuanya akan ditulis dengan awalan Bu/ Pak atau Ibu/Bpk. Temen etnis jawa juga memakai huruf B dan P untuk awalan Budhe/Pakdhe atau Bulik/Paklik untuk menyebut saudara-saudara Bapak/Ibunya. Lalu, rekanan kantor/klien yang senior ditulis dengan awalan Mas/Mbak. Dalam phonebook beberapa teman asal Medan kutemui awalan Kak/Bang. Nama yang tidak ditulis dengan semua panggilan kesopanan tersebut, tentu adalah teman-teman sebaya.

Bila kuamati, teman-teman ber-phonebook sangat sopan ternyata tidak efektif. Bisa dibilang percuma memiliki fasilitas phonebook. Jika harus menghubungi seseorang dalam keadaan darurat dia benar-benar kewalahan. Bagaimana tidak? Isi phonebook-nya sebagian besar berawalan M. Hanya untuk mencari nama Mbak Diah, dia harus memilih di antara puluhan nama berawal M. Ada puluhan Mas dan Mbak dalam daftar itu. Belum lagi jika di sekitar nama Mbak Diah ada nama-nama seperti Mbak Dian, Mbak Diana, Mbak Dianing, Mbak Diandra, Mbak Dina, Mbak Dinda, atau Mbak Dita. Saat terburu-buru, peluang salah pilih nama dan salah kirim SMS juga sangat besar. SMS untuk Mbak Dian sering nyasar ke Mbak Diah atau Mbak Diana. Wah... panjang urusannya! 

Tapi apa pun masalahnya, dua temanku yang ber-phonebook sangat sopan mempunyai alasan sangat sopan menanggapi kritik itu. Katanya: aku takut kalau orang ybs melihat ponselku dan menemukan namanya tidak kuberi awalan Mbak/Mas atau Bpk/Ibu. Aku akan di-cap tidak sopan. Ha..ha..ha... ada-ada aja!

Dalam phonebook seorang biasa, sebutan Ibu/Bu, Bapak/Pak, Mas/Mbak, Bang/Kak tetap ada, tetapi tidak semuanya. Hanya orang-orang tertentu saja, misalnya Bapak/Ibu dan kakak kandung atau atasan di kantor. Sisanya adalah nama-nama panggilan yang wajar. Misalnya: Agung, Budi, Citra, Dewi, Eni, Fitri, Gina, Hasan, Ina, Joni, Kusno, Lina, Mirna, Neni, Oki, Panca, Rita, Sasa, Tania, Umi, Wati, atau Yanti. Phonebook biasa ini memiliki mungkin absensia untuk huruf-huruf tertentu, seperti huruf Q, V, dan Z, karena jarang dipakai sebagai awalan nama.
Paling seru mengintip phonebook seorang selengekan/iseng. Lupakan sebutan Bapak/Ibu, Mas/Mbak, Pakde/Bude, Bang/Kak, Uda/Uni, dan panggilan sopan lain. Semua akan sulit ditemukan! Dalam phonebook saudaraku yang selengekan tak ada nama Bapak, Ayah, ataupun Papa, karena untuk nomor Ayah kami diberi identitas Pak Uban. Rambut Ayah sudah putih semua, begitu alasannya. Lalu sebutan Bos OK, untuk atasannya. Reserse, untuk sepupu kami yang polisi. Markas, untuk telepon rumah. Tomingse untuk temannya yang (maaf) agak tonggos. Katanya, kependekan dari Tolong mingkem sedikit. Gondes untuk temannya berambut panjang yang dijuluki gondrong desa. Misstel untuk kawan yang suka telat/terlambat. Lalu, nickname unik seperti Panjul, Tato, Ndut, Gokil, Pitik alias ayam dalam bahasa Jawa. 

Kalau phonebook-ku gimana ya? Entahlah...mungkin kombinasi antara biasa, selengekan, dan praktis. Beberapa nama kutulis sewajarnya: Agus, Beni, dll. Beberapa yang lain kutulis sesingkat mungkin. BQ untuk Becky, CT untuk Siti, EQ untuk Eki, UQ untuk Uki, IK untuk Ika, AVX untuk Afiks, ND untuk Endi, D7 untuk Desi, V6 untuk Vela, U3 untuk Umi, Q- untuk Kimin, QQ untuk Kiki. Lalu ada Na2, Ta2, To2k, juga Yo2. Beberapa nama kutulis sebagai nickname. Misalnya, Godek (cambang, bhs jawa), untuk teman yang bercambang. Mistar untuk temanku Miss. Tari. Nama lain kubuat iseng saja, seperti Sea Gate untuk Sigit, Tea Us untuk Tyas, Two Nick untuk Tunik, By U untuk Bayu, atau Cow2 untuk Koko. Nah saat orang tuaku hanya punya satu ponsel untuk berdua, nama mereka kutulis ABun alias Ayah Bunda.

Kalimalang, Desember 2008

PS: 
Sejauh mana kita punya hak mengelola phonebook di ponsel kita? Salahkah bila menuliskan dengan selengekan?