Jumat, 21 Oktober 2011

Transgender Bukan Sekadar Wacana

Hari ini saya diundang ke acara OPMI, sebagai anggota komunitas Goodreads Indonesia (GRi). Tepatnya saya menyediakan diri untuk membaca sebuah buku dan membahasnya. OPMI kepanjangan dari Obrolan Pembaca Media Indonesia adalah acara yang disponsori koran Media Indonesia untuk mendiskusikan buku. Sesungguhnya ini juga merupakan hal baru bagi saya. Dalam beberapa acara GRi biasanya saya duduk di kursi pendengar, tapi hari ini saya harus menjadi salah satu narasumber.

Jauh hari sebelum acara hari ini,
pihak MI telah mengirimi saya sebuah buku untuk dibaca, sebuah novel berjudul Lost Butterfly karangan Yandasadra. Saya belum pernah sedikit pun membaca "isu-isu" tentang terbitnya buku ini. Maklum lama tidak menyambangi halaman Goodreads... :) Yang saya tahu novel ini berkisah tentang transeksual dan transgender. Kebetulan sekali, karena saya juga tertarik dengan isu tersebut. Namun saat menerima buku dan mulai membacanya saya cukup terkejut saat mengetahui novel tersebut berlatarbelakang ajaran Islam. Waah, gimana ini... saya bukan seorang Muslim. Apakah saya harus membatalkan kesanggupan saya dan menolaknya? Ah tidak perlu! Sebab adalah pembaca yang merdeka dan berpikiran sangat terbuka... So, tak ada kata menolak.

Dengan moderasi pihak MI, dan hadirnya sang penulis, disku
si berjalan cukup seru. Meskipun agak grogi dalam menyampaikan pendapat, Puji Tuhan semua berjalan lancar. Sayang sekali yang turut dalam diskusi, yang notabene adalah mahasiswa UI atau pengunjung pameran buku... sepertinya tak satu pun yang sudah membaca buku ini. Menurut saya pemahaman akan fenomena transeksual dan transgender ini sangat perlu diketahui oleh banyak orang. Itulah sebabnya terpikir oleh saya untuk menulis atau tepatnya mempublikasikan review saya tentang novel ini. Tujuannya memang turut membantu publikasi novel yang sangat penting ini, terutama bagi terbukanya wawasan masyarakat kita.
Judul : Lost Butterfly (Dilema Cinta Mantan Pria)
Penulis : Yandasadra
Penerbit/ Thn : Tinta Publisher
Tahun terbit : I, 2011
Tebal : xii + 329 halaman
Setiap hari ada saja stasiun TV yang menayangkan program acara dengan sebuah peran menirukan sosok dengan gender “tak jelas”. Penampilan pria dengan dandanan serta polah tingkah seorang wanita. Sebagian besar masyarakat menganggap tayangan itu sebagai lelucon yang menghibur. Alhasil mereka—atau mungkin juga kita—tertawa terbahak-bahak. Aneh, sebab dalam kehidupan nyata tidak sedikit yang menghujat dan mencibir kelompok marginal berjuluk waria atau banci tersebut. Bahkan banyak yang memandang jijik atau lari terbirit-birit bila berjumpa—seperti takut tertular. Belum lagi jika mereka mendapati berita atau gosip tentang si A yang sebelumnya pria lalu menjadi waria, akhirnya melakukan operasi kelamin dan menyatakan diri sebagai 100% wanita. Banyak hujatan terlontar karena menganggap hal tersebut bertentangan dengan kaidah agama. Meskipun demikian ada pihak yang memaklumi, menaruh simpati serta menerimanya—namun masih secara diam-diam, karena takut turut dihujat.
Di negara kita dengan kultur ketimuran yang konon religius, transeksual dan transgender memang masih menjadi topik yang berada di wilayah abu-abu. Transgender masih menjadi sekadar wacana dan tidak dilihat sebagai suatu masalah sosial serius yang memerlukan solusi. Alih-alih menerima sosok yang mengakui kelainannya, sebagian masyarakat bahkan menganggap tabu membicarakan topik ini. Jangankan masyarakat umum, keluarga dengan pertalian darah pun adakalanya justru membuang dan mengucilkan mereka. Meskipun sikap masyarakat cenderung ekstrim, namun sesungguhnya banyak di antaranya belum mengetahui secara jelas fenomena transgender itu sendiri. Pernahkah kita bertanya dalam hati: “Bagaimana seorang bisa dilahirkan sebagai waria—dengan orientasi seksual yang berbeda dengan fisiknya? Bagaimana pergulatan batin hingga seseorang akhirnya memutuskan untuk mengubah jenis kelaminnya? Atau banyak pertanyaan lain terkait isu transgender. Bukan hanya tak mengerti secara keilmuan, banyak masyarakat juga kurang memahami sikap lembaga agama menghadapi fenomena tersebut.
Pengetahuan tentang transgender hanya ditularkan dari mulut ke mulut. Sayang sekali, banyak informasi yang diterima oleh masyarakat cenderung kurang tepat. Dampaknya adalah hujatan dan cemoohan bagi kaum minoritas ini merajalela tanpa alasan. Tidak banyak bacaan yang mengupas tentang fenomena ini. Kalau pun tersedia bacaan semacam itu, sikap apriori terkait transeksual dan transeksual membuat sebagian orang enggan menyentuh buku-buku tersebut. Hadirnya novel Lost Butterfly sepertinya bisa menjadi solusi. Novel ini dapat menjadi salah satu sumber bacaan inspiratif terkait isu transeksual dan fenomena transgender. Menebarkan konsep-konsep krusial seperti transeksual dan transgender melalui sebuah novel sangatlah bijaksana. Cerita yang diangkat dari kenyataan hidup sering kali lebih mudah menyadarkan pembaca akan suatu masalah tanpa merasa digurui. Ya, Lost Butterfly adalah pengetahuan yang terbungkus dalam sebuah novel.
Meski dikatakan sebagai novel cinta dengan iming-iming narasi “romantis” seperti disampaikan pada kover, kita tak akan menemukan adegan romantis layaknya membaca novel dewasa atau novel cinta picisan. Di dalamnya hanya ada detak jantung dan ekspresi malu-malu seseorang yang jatuh cinta. Novel ini mengungkap kegelisahan seorang Maria (Mantan pRIA) yang terjebak dalam diri dan cinta yang tak sanggup diungkapkannya. Maria gelisah apakah seseorang yang dicintainya dan dipercayai juga akan menaruh simpati, atau sebaliknya akan menghianatinya seperti banyak orang lain sepanjang hidupnya. Romantisme yang disajikan adalah cinta yang tidak biasa dari seseorang yang bukan perempuan biasa. ‘Lost Butterfly’ meninggalkan kekasih demi merawat cintanya. (hlmn 237). Romantisme terbaca saat seorang Arman dengan kasih tulus menerima “keistimewaan” Maria, Andy dan banyak yang lain, serta memahami gejolak hati mereka bahkan kelak memperjuangkannya.
Sesungguhnya novel ini lebih sebagai bentuk dukungan terhadap fenomena operasi ganti kelamin bagi kaum khuntsa yang terjebak ambigous genitalia. Secara tak langsung, novel ini mendukung kebebasan memilih jatidiri—karena hidup adalah pilihan—sepanjang bukan untuk memuaskan nafsu menyimpang. Pada halaman 290, secara tegas Arman menyatakan dukungannya tersebut: “... Kita semua pasti menyadari, tidak semua orang terlahir dalam tubuh yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya, seperti seseorang yang lahir dengan tubuh laki-laki tetapi kecenderungan dan orientai seksualnya justru seperti perempuan. Tentu saja ia berhak untuk memilih jenis kelaminnya, karena bila tidak, ia justru akan terjebak pada perilaku hubungan seksual dengan sesama jenis, yang jelas-jelas dilarang keras dalam agama. Nah, kiranya makin jelas bagi kita, bahwa solusi dari masalah yang menimpa kaum transeksual, pada masa ini tidak lain adalah operasi transgender.” Namun sebaliknya—melalui dialog-dialog panjang tokoh Arman dengan tokoh-tokoh lain dari berbagai latar belakang—penulis secara tegas menolak serta mengharamkan perilaku homoseksual pada kaum gay dan lesbian.
Novel ini dapat dikategorikan sebagai fiksi ilmiah yang kontroversial. Melalui tokoh-tokohnya, Yandasadra—sang penulis—berani bersikap serta menunjukkan prinsip yang diyakini kebenarannya, walau terkesan menentang hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat dan agama. Sikap itu tidak membabi buta, karena nampak jelas dukungan penelitian serta dasar-dasar literal yang kuat. Selain memberikan pengetahuan dan membuka wawasan baru, novel ini juga layak dipakai sebagai sarana perenungan. Membaca novel ini—bagi saya pribadi—lebih sebagai menimba ilmu baru. Sebab, sesungguhnya sebagian besar isi novel ini adalah dialog antarkarakter yang secara tak langsung memberikan wawasan tentang fenomena transeksual dan trangender terutama di tanah air. Jika saja memungkinkan, sebenarnya sangat membantu bila disertakan semacam glosarium dalam novel ini. Sebab banyak istilah terkait transeksual dan transgender yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian pembaca. Bisa jadi ajaran-ajaran Islam—yang melatarbelakangi novel ini—bukan hal baru bagi pembaca Muslim, namun tidak bagi yang lain. Transgender adalah isu global, dan novel ini tentu boleh juga dibaca oleh mereka yang berlatar belakang lain. Harapannya, novel ini pun dapat membuka cakrawala baru bagi siapa pun tanpa kecuali.
Dengan membaca tuntas novel ini, kita akan memiliki wawasan yang lebih luas dan mengubah cara pandang yang salah akan fenomena transeksual dan transgender. Zaman terus berkembang, dunia semakin global dan terbuka. Saat ini transgender sudah tak layak lagi hanya diperdebatkan sebagai sebuah wacana, sebab fenomena transgender adalah realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kita pun seharusnya dapat memandang saudara-saudara kita yang dilahirkan tidak normal dengan cara lebih positif, bukan justru memarginalkan mereka. Kita tidak perlu lagi melakukan diskriminasi atau pun pengadilan sepihak. Namun sebaliknya, dengan kasih tulus merangkul mereka dan menunjukkan jalan yang benar. Tak ada orang yang ingin dilahirkan tidak normal. Dan sesungguhnya yang tidak normal pun memiliki hak asasi yang sama sebagai manusia. Seperti ungkapan tokoh Ibu Yohana dalam seminar bertajuk “Ganti Kelamin: Antara Melawan Kodrat dan Pemenuhan Hasrat” berikut: “... bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak asasi yang layak ia peroleh. Siapapun dia dan bagaimanapun keadaannya. Hanya karena berada dalam keadaan yang berbeda dengan mayoritas orang, bukan berarti ia tercegah dari mendapatkan hak-hak asasinya itu.” (halaman 275). Tentu kita tidak akan setuju jika dikatakan bahwa agama hanyalah milik eksklusif orang-orang normal, bukan? Kita pun pasti tidak sepakat menyebut Tuhan Yang Maha Kasih berniat menyiksa hamba yang dilahirkan seperti Maria dan Andy, tanpa satu pun solusi. Sebab, Tuhan Sang Maha Sutradara menciptakan setiap makhluk dalam keadaannya tentu bukan tanpa maksud. Selamat membaca!
Depok, 21 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar