Lokasi: Stasiun Manggarai Foto: @dwi_klarasari |
Siang menjelang sore, KA Menoreh dari
Semarang yang kutumpangi tiba di Stasiun Jatinegara. Dengan menyeret travel bag aku turun dari gerbong dan
setengah berlari menghampiri gateway penumpang
Commuter Line (KRL). Ya, aku harus
melanjutkan perjalanan ke Depok dengan KRL. Meskipun KRL akan melewati jalur
yang sama dan aku sudah memiliki tiket berlangganan (multi trip), tetap saja aku
harus lebih dulu menempelkan tiketku pada mesin gateway sebagai tanda masuk. Alih-alih keluar dari stasiun, aku
langsung mendatangi mesin gateway di
area lobi dan meminta tolong satpam untuk menempelkan tiketku dari arah dalam.
Namun Satpam tersebut menolak dengan
sopan. “Ibu harus keluar dari stasiun dulu, baru masuk lagi dan nge-tap sendiri tiketnya,” katanya.
Begitulah konsep pelayanan di stasiun
ini. Penumpang KA dari luar kota yang turun dan hendak melanjutkan perjalanan
dengan KRL harus keluar dari stasiun, berjalan menyusuri trotoar, lalu masuk
lagi lewat pintu stasiun yang lain. Jaraknya cukup jauh dan memakan waktu,
sehingga membuat jengkel penumpang yang terburu-buru sepertiku hari ini—aku
harus sampai Depok sebelum pukul 17.00 WIB untuk sebuah pertemuan. Belum lagi jika
harus menyeret travel bag dan
menggendong ransel yang lumayan berat.
“Tolonglah Pak… sebentar lagi CL-nya datang,”
pintaku. Kupasang raut muka memelas.
“Maaf Bu, tidak bisa!” Satpam
menjawab tegas.
“Ah, Bapak ini… kemarin-kemarin bisa,
kan?” Aku berusaha mencari celah.
“Sekarang tidak bisa lagi Bu, sudah
dipasang kamera CCTV! Kalau ketahuan kami bisa kena tegur!”
Jawaban Satpam membuatku diam seribu
bahasa. Manalah mungkin kukorbankan pekerjaan satpam tersebut hanya demi egoku.
Dengan nada kesal kukeluhkan sistem sirkulasi penumpang yang tidak efisien. Petugas berseragam biru tua tersebut hanya mengangkat
bahu dan tersenyum mahfum. Sambil mengomel aku bergegas meninggalkannya dan berjalan
ke pintu keluar. Gerimis di luar stasiun membuatku bertambah kesal, karena aku
harus menapaki trotoar becek dan berlubang-lubang. Syukurlah, tepat saat melewati
mesin gateway, kudengar informasi bahwa
KRL yang hendak kunaiki baru akan tiba setelah melewati dua stasiun lagi. Aku tersenyum
senang. Ah, pas sekali waktunya! Kalau tadi
jadi nge-tap dari dalam, meskipun lebih cepat tetapi pasti aku akan terlalu
lama menunggu di peron.
Akhirnya aku berhasil naik KRL
jurusan Jakarta Kota dan turun di Stasiun Manggarai untuk melanjutkan perjalanan
ke Depok. Aku sudah berdiri di peron tepat di depan jalur 6—jalur untuk KRL jurusan
Depok/Bogor. Aku datang tepat lima menit sebelum jadwal KRL tujuan Bogor tiba.
Namun lima menit tersebut berlalu tanpa kehadiran KRL yang kunanti. Lalu 15’, 20',
hingga akhirnya 60 menit berlalu, tetapi KRL yang kutunggu tidak kunjung tiba. Setiap
kali melihat jam aku berpikir akan terlambat sampai Depok. Setelah cukup lama barulah
terdengar informasi bahwa ada gangguan perlintasan sehingga KRL tidak dapat
tiba sesuai jadwal.
Singkat cerita lintasan kembali
normal, dan aku pun mendapatkan KRL jurusan Depok. Namun, waktu untuk pertemuan
sudah pasti terlewat jika aku tiba di Depok. Aku yakin tidak akan bisa menghadirinya.
Sepanjang jalan aku merasa tidak enak karena ponselku mati dan tidak bisa
mengirim pesan. Namun setibanya di Depok, aku mendapat kabar bahwa pertemuan
diundur karena sesuatu hal. Aku tersenyum lega. Beruntung KRL-nya terlambat. Seandainya aku sampai di Depok tepat waktu
dan tahu bahwa pertemuan dibatalkan, pasti aku kecewa kepada banyak orang. Lalu,
mungkin saja aku akan melampiaskan kejengkelan dengan berkata-kata buruk.
Demikianlah yang sering terjadi dalam
kehidupan. Saat mengalami ketidaksinkronan waktu antara rencana dan kenyataan, banyak
dari kita cenderung mengeluh. Lalu, berprasangka serta menyalahkan orang/segala
hal di sekitarnya, dan yang lebih buruk adalah mengajukan protes bahkan menggugat
Tuhan. Kita pun sering mempertanyakan pada Tuhan tentang segala permohonan yang
tak kunjung terkabul padahal sudah lewat dari tenggat waktu—tentu saja waktu yang
kita tentukan sendiri. Acap kali kita tidak sabar dan terburu-buru untuk mendapatkan
apa yang kita inginkan tanpa peduli apa pun. Dalam ketergesaan kita cenderung
gegabah dalam melangkah dan tak ragu mengambil jalan pintas menyalahi aturan.
Semua tersebab kita hanya mengenal satu penunjuk waktu, yaitu ‘waktu kita’.
Kita lupa bahwa setiap hela napas dan jalan hidup kita hanya akan terjadi atas
kehendak Tuhan. Sementara, waktu Tuhan bukanlah waktu kita.
Jangankan bertindak gegabah dan
menyalahi aturan, bahkan sekalipun kita bertindak sesuai aturan jika Tuhan
tidak berkenan maka apa yang kita inginkan tidak akan tercapai. Bagaimanapun
sempurnanya perhitungan waktu yang kita buat, jika Tuhan tidak berkehendak maka
hal tersebut tidak akan terjadi. Benarlah kata Pengkotbah 3:1, “Untuk segala
sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.”
walau
kita telah ikuti aturan dunia
sudah ada di jalur yang benar dan
pada waktu yang sungguh tepat
tetapi bila tuhan tak berkenan
kereta yang sesuai tujuan
boleh jadi tidak tersedia
di jalur dan waktu itu
karena selalu ada
rencana tuhan
dalam setiap
perkara
sudah ada di jalur yang benar dan
pada waktu yang sungguh tepat
tetapi bila tuhan tak berkenan
kereta yang sesuai tujuan
boleh jadi tidak tersedia
di jalur dan waktu itu
karena selalu ada
rencana tuhan
dalam setiap
perkara
Seperti pengalaman sederhana di atas,
terkadang ada hal-hal yang entah bagaimana muncul menjadi penghalang dalam pekerjaan/aktivitas
kita. Namun setelah kejadian berlalu dan kita merenungkan kembali sering kita
menyadari bahwa beberapa kendala tersebut ternyata justru menguntungkan kita.
Beberapa orang dengan insting kuat sering menyebutnya sebagai peringatan/pertanda
dari Tuhan. Tidak heran jika setelah suatu kejadian sering kali kita menjadi
mahfum, dan melontarkan kalimat seperti: Syukurlah
kemarin kita tidak jadi berangkat, kalau jadi pasti kita terikut dalam
kecelakaan itu; Andai saja kita nekat pasti akan bangkrut lebih besar lagi;
Kalau ini… kalau itu… andaikan tidak begini atau begitu, dan sebagainya. Setelah
badai usai dan menengok ke belakang kita akan bersyukur dan merasa
bahagia.
Meskipun sering terlambat menyadari, setidaknya
setiap pengalaman boleh kita jadikan refleksi. Saat menoleh ke
belakang—merenungi semua yang telah terjadi dalam hidup—kita akan semakin
percaya bahwa memang waktu Tuhanlah yang paling sempurna. Di jalan peziarahan
ini, kita wajib berusaha sebaik mungkin, termasuk merencanakan waktu. Namun kita
perlu ingat bahwa tidak ada kebetulan dalam hidup kita, karena hidup kita
adalah rancanganNya. Iman kita hendaklah selalu berpengharapan dan mengandalkan
Tuhan. Sementara doa menjadi sarana bagi kita untuk berkomunikasi dengan Allah
serta berserah pada kehendakNya. Karena “Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya…,” (Pkh 3:11)
Depok, 20 Oktober 2016.
Note:
Renungan: Melukiskan Allah dalam Segala Hal
Ditulis untuk Bandung Writing Camp 28-29 Okt 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar