Kampung Baduy Luar (Foto: @dwi_klarasari) |
Baduy telah menjadi mimpiku lebih dari satu dekade. Kisah masyarakat Baduy nan sederhana yang berjalan bertelanjang kaki ke mana pun pergi. Kisah desa baduy nan alami yang konon terisolir dan tak tersentuh teknologi, juga tidak terdokumentasi. Tanpa sadar, kisah-kisah itu terpatri dalam benak, berbalut keraguan serta tanya: benarkah itu semua nyata?
“Betul ya kalian jalan kaki ke mana pun
pergi?” kira-kira demikian pertanyaan yang saya lontarkan.
“Iya Teh,” jawab singkat pemuda Baduy Dalam yang baru saja saya kenal.
“Tidak beralas kaki, memangnya tidak sakit?” Saya mencuri pandang ke
arah kaki telanjangnya. Maaf, ini tidak
sopan, bisik saya dalam hati. Tapi itulah ekspresi kekaguman dan
nyaris tak percaya. Konon, dengan berjalan kaki pulang-pergi lebih dari 4 hari, mereka telah
berkali-kali mendatangi Jakarta.
Wow!
“Sudah biasa, tidak sakit” jawabnya dengan intonasi datar, tanpa merasa bahwa hal itu telah membuat saya—dan mungkin banyak orang lain—terheran-heran.
Terjawab sudah satu pertanyaan tentang
masyarakat Baduy Dalam—langsung oleh subjeknya. Ya, pada tanggal 1-2
Oktober tahun 2011 lalu saya
sempat bertemu dan mengenal masyarakat Baduy. Hari itu untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Baduy. Saya datang bersama teman-teman baru, di bawah
koordinasi ‘Pesona Jawa’. Pesona Jawa adalah sebuah komunitas jalan-jalan yang
dibentuk di Jakarta yang mengajak berpetualang
dan menjelajah serta peduli akan keindahan dan eksotisme Nusantara, menikmati
kekayaan sejarah dan keragaman budaya. Bersama komunitas
tersebut, kami datang
sebagai wisatawan lokal yang merindukan alam bersih bebas polusi. Saat itu tersirat
pula keinginan—yang umum
dimiliki penduduk
metropolita—melepaskan
diri dari rutinitas dan rasa jenuh
menghirup hawa kapitalisme. Tak heran jika saya pun meyakini iming-iming dalam promo: “petualangan
mengasyikan penuh kesederhanan serta bersahabat dengan alam”. Keyakinan itu dikuatkan oleh pernyataan
beberapa teman yang pernah mengikuti cultural trip serupa.
Jauh sebelum hari keberangkatan, Marsad—ketua
rombongan sekaligus pemandu—telah memberi gambaran tentang wisata dua hari satu malam berharga tiga ratus ribu rupiah ini. Desa Baduy
yang akan kami kunjungi, terletak di kaki Pegunungan Kendeng yang secara administratif berada di
wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak—Rangkasbitung,
Provinsi Banten. Jaraknya kira-kira 40 km dari Rangkasbitung atau sekitar
170 km dari Jakarta. Masyarakat Baduy terbagi atas Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Orang Baduy yang lebih senang menyebut
diri “Urang Kanekes” ini memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka berbahasa
Sunda dialek Sunda-Banten.
Orang Baduy Dalam (Urang Tangtu) mencirikan diri
dengan bawahan berupa kain tenun tradisional dan baju biru tua atau putih alami
serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar (Urang Panamping) berpakaian
dan berikat kepala hitam, tapi sering pula memakai kaos dan celana produk konveksi. Gambaran itu saya simpan baik-baik dalam memori.
Pada hari keberangkatan, saya—yang kebetulan tinggal di
Depok—sudah meninggalkan rumah selepas subuh. Bermodal tiket KRL Commuter Line seharga Rp6.000,00 dan menempuh satu jam perjalanan dari Stasiun Depok Baru,
saya menjumpai teman-teman baru di
Stasiun Jakarta Kota—lokasi meeting
point.
Layaknya para petualang, kami segera akrab tak lama usai berkenalan.
Sambil menunggu kedatangan
peserta lain, kami duduk lesehan di lobi stasiun. Saya, Dina, Mbak Lily, dan beberapa teman lain menikmati roti dan secangkir kopi yang kami beli
dari pedagang asongan. Setelah
semua peserta datang,
panitia membagikan tiket KA Ekonomi rute Jakarta—Rangkasbitung seharga Rp2.000,00. Berbekal
tiket itu kami bergegas menuju peron, dan larut bersama penumpang lain berebut tempat duduk. Siapa cepat dia dapat! Begitulah aturan
di kelas ekonomi.
Tepat pukul 08.00 WIB, kereta berwarna
oranye bergaris biru itu meninggalkan Stasiun Jakarta Kota. “Keluarga baru”
yang terbentuk di
lobi stasiun tak
henti mengobrol. Kami bersahutan
mengisahkan berbagai perjalanan atau sekadar berbagi kecintaan akan banyak hal. Keakraban
membuat perjalanan tiga
jam di kelas ekonomi nan sumpek dan panas tidak terasa lama. Tiba-tiba kereta sudah tidak bergerak lagi, alias telah tiba di tujuan yaitu
Stasiun Rangkasbitung. Arloji di pergelangan tangan saya menunjuk pukul sebelas.
Di Rangkasbitung, panitia—atas bantuan Mulyono, seorang pemuda dari Baduy Luar—telah menyiapkan mobil yang akan membawa kami ke Desa Cijahe. Satu
jam kemudian—sesudah
teman-teman Muslim menjalankan sholat dan semua perut telah
dikenyangkan—mobil
Elf berkapasitas 20
orang itu meluncur
meninggalkan Rangkasbitung.
Pada menit-menit
pertama,
kami masih melanjutkan keakraban yang sempat
terputus. Namun tak
berapa lama kemudian,
satu per satu mulai terangguk-angguk diserang kantuk. Bius sepiring nasi rames menu makan
siang segera melelapkan sebagian besar dari kami.
Tidak ada yang merasa terganggu oleh goncangan dan deru mobil yang melaju
kencang melalui tanjakan dan turunan curam serta kelokan tajam. Saya yang masih
terjaga sempat menikmati lansekap perbukitan yang indah meski dikaburkan oleh
kekeringan di sana-sini. Marsad yang telah berulang kali melalui rute itu tanpa diminta menceritakan banyak hal yang tidak kami
ketahui.
Namun, sepanjang jalan kami harus
menutup hidung, sebab debu jalanan terhisap masuk melalui pintu dan jendela Elf
yang terbuka. Terpaan
debu semakin hebat saat mobil melintasi area penambangan
pasir. Saat terbangun dari lelap saya terkejut
mendapati Marsad terlihat jauh lebih tua karena
rambutnya memutih oleh debu.
Kereta kelas ekonomi Jakarta—Rangkasbitung, di
Stasiun Rangkasbitung (Foto:@dwi_klarasari)
|
Setelah 2,5 jam sopir berjibaku di
jalanan ekstrim, Elf pun menyapa Cijahe dan berhenti di tepi tanah
lapang dekat sebuah permukiman. Itulah gerbang
masuk ke kawasan hak ulayat masyarakat Baduy, seperti tertulis pada papan nama. Di
tanah lapang itu juga dapat dijumpai bangunan mungil—tiruan lumbung padi Suku Baduy—dan
sebuah papan bertuliskan
“Amanat Buyut”. Konon, “Amanat Buyut” yang berisi 13 baris
kalimat dalam bahasa Sunda dan Indonesia itu adalah salinan pesan nenek moyang Suku
Baduy. Saya tidak sempat memahami maksudnya. Tetapi satu baris yang selalu terngiang
adalah “Larangan teu meunang dirempak
(Larangan tak boleh dilanggar)”. Setidaknya itu jadi peringatan bagi wisatawan
seperti kami
agar nantinya mematuhi segala hal yang dilarang di Tanah Baduy!
Berfoto dengan rombongan penjelajah di bawah Amanat Buyut (Foto: @dwi_klarasari) |
Di gerbang masuk itu, kami dihadapkan pada lansekap yang relatif kering dan kurang menarik. Kondisi itu
sempat membuat saya meragukan keindahan
alam yang akan kami sambangi.
Namun, keraguan itu menguap saat pandangan
saya bertemu dengan tatapan bersahabat wajah-wajah sederhana di depan warung
dekat Elf diparkir.
Wajah-wajah dengan senyuman
tulus. Mereka sibuk bersalaman dengan beberapa orang dari rombongan lain yang datang lebih dahulu. Melihat sosok mereka, seketika
hadir potret yang tersimpan dalam memori saya. Betul,
mereka adalah orang-orang Baduy Dalam. Ternyata mereka sengaja datang untuk menjemput para wisatawan
yang akan mengunjungi desa
mereka. Kami pun ikut
bersalaman dan berbasa-basi menanyakan nama—ada Sarpin, Samin, dua orang bernama Sapri, Dony, dan banyak lagi. Lalu kami bergantian mengambil foto bersama
mereka. Awalnya,
saya ragu
karena merasa memperlakukan mereka sebagai objek. Syukurlah,
mereka sangat ramah dan tidak keberatan melayani kegilaan kami berfoto.
“Ransel-ransel yang ingin dibawakan tolong dikumpulkan di sini! Bagi yang merasa
kuat, silakan bawa sendiri” teriak ketua
rombongan, setelah melihat
semua ransel sudah
diturunkan dari atap Elf.
Begitulah, para
pemuda Baduy Dalam
datang menjemput sekaligus menyediakan diri sebagai porter. Menurut Marsad, sebagai imbalan jasa angkut, kami cukup menyiapkan 2 lembaran rupiah untuk setiap
ransel: satu bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan satu lainnya bergambar Tuanku Imam Bonjol. Jika
terpaksa kurang atau justru ingin
memberi lebih pun
tidak dilarang. Sebenarnya
mereka menerima dengan ikhlas berapa pun yang
diberikan. Wah, saya
tidak
menyediakan anggaran untuk porter! Saya berniat
menggendong ransel sendiri. Namun, niat itu saya
tepis jauh-jauh setelah mendapat gambaran bahwa kami akan berjalan sejauh kira-kira 2 kilometer atau
sekitar 1-2 jam, dengan
tanjakan dan turunan yang
cukup terjal. Akhirnya saya
putuskan hanya menenteng tas kamera.
Amanat Buyut (Foto: @dwi_klarasari) |
Sekitar pukul 15.30 kami beranjak meninggalkan ‘gerbang masuk’ dan memulai trekking. Tujuannya adalah Desa Cibeo, satu dari desa-desa di Baduy Dalam—selain Cikeusik dan Cikertawana. Mulanya kami hanya melintasi jalanan cokelat
berdebu dengan semak dan ilalang kering di kanan kiri. Namun, perlahan-lahan
keindahan alam mulai terkuak. Kami mulai melintasi perbukitan yang sungguh
rupawan, meski ladang kering tetap
menjadi bagiannya. Saya
pun terbius! Sepanjang
jalan, tak henti-henti saya mengintip lubang kamera—tak
beda jauh dari anggota rombongan yang lain.
Kami memotret perbukitan, tanjakan dan turunan jalan, aktivitas orang
berladang, dan lain-lain. Kami berfoto di
antara pepohonan kering, di depan gubug penyimpan kayu, di jalan setapak berlatar
hutan albasia, bahkan mengiba pada perempuan Baduy yang lewat untuk diajak berfoto. Ah,
mengingatnya selalu membuat saya tersenyum. Sebut saja itu aji mumpung, karena hanya di wilayah Baduy
Luar saja kami boleh menggunakan kamera.
Lalu, sampailah kami di sebuah jembatan bambu yang panjang dan sempit, yang dibangun hanya dengan ikatan-ikatan
tali hingga membuat tegak bulu roma saat melintasinya. Ternyata, jembatan itu adalah salah satu ‘gerbang masuk’ ke
Baduy Dalam.
Segera saja ketua rombongan mengingatkan kami untuk
menghentikan acara berfoto
serta mematikan segala alat komunikasi. Di seberang jembatan
terbentang kawasan Baduy Dalam, di mana segala produk teknologi modern pantang
diaktifkan. Dengan sedikit sesal saya
memasukkan kamera ke dalam tas.
Sayang sekali, padahal semakin ke dalam
pemandangan semakin permai. Alam Baduy
Dalam benar-benar menakjubkan,
terlebih saat kami memandang
dari tempat yang relatif paling tinggi. Cukup lama saya menahan napas menyaksikan pesonanya. Lembah dan bukit tertutup pepohonan
hijau serta ladang padi gogo—padi lahan kering tanpa genangan air. Tidak ada
lahan yang dirombak layaknya persawahan di lereng gunung, semua ditanam
mengikuti kontur alami. Bisa jadi itulah terapan dari Amanat Buyut “gunung teu meunang dilebur (gunung tak
boleh dihancurkan)”.
Sangat
disayangkan, saat itu kemarau
menghalangi pertumbuhan padi gogo yang menjadi tanaman utama pertanian di Baduy. Sudah lebih
dari lima bulan hujan tidak turun Teh, begitu jelas pemuda Baduy yang berjalan bersisian
dengan saya. Terbayang betapa akan
sempurnanya keindahan
perbukitan itu bila hijau/kuning padi turut
menghampar bak permadani. Tanpa kamera saya
teringat seorang
sahabat yang pandai melukis. Andai dia ikut serta, mungkin bisa direkamnya keindahan ini untuk dilukis di kemudian hari. Setiap
orang harus datang sendiri
untuk membuktikan keindahan Baduy
Dalam.
Bersyukur saya bisa mengagumi kebesaran
Ilahi tersebut!
Penyesalan tanpa kamera hanya berlangsung sekejap. Sebab,
keindahan lain perlahan-lahan mulai menggoda. Keindahan masyarakat Baduy! Keramahan
dan kesahajaan para pemuda Baduy terasa menyentuh hati. Jika semula sibuk
mengintip lubang kamera, saya beralih mengintip hati mereka. Saya mencoba merekam segala keramahan
yang tersaji—lewat tatapan dan
senyum tulus, ucapan bersahaja
tanpa basa-basi, tawa yang tidak dibuat-buat,
serta hidup sederhana yang mereka
kisahkan. Tangan mereka pun
terasa tulus saat menggapai tangan kami bila nyaris
terpeleset atau tak sanggup mendaki tanjakan—yang
rata-rata berkemiringan 45O. Kami bertanya ini itu tiada henti—seperti anak kecil yang melihat hal baru.
Kami senang mendengar kisah kehidupan masyarakat
Baduy, yang selama
ini hanya kami ketahui dari buku atau cerita orang. Ada pemuda Baduy yang menjawab antusias, ada yang terkesan malu-malu. Tetapi ada
kesamaan dalam diri mereka: terbuka, jujur dan bersahaja. Mereka berkisah tanpa tedeng
aling-aling atau rasa curiga, meski kami baru saja mereka kenal. Canda di
antara kami terlontar begitu saja, seperti sudah lama saling mengenal. Berbeda
180 derajat dengan aura ibukota, di mana kita cenderung curiga pada orang
asing.
Obrolan sepanjang jalan membantu saya menemukan
jawaban atas banyak hal tentang masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam. Mengapa mereka tidak beralas kaki atau berkendaraan jika
bepergian, mengapa mereka hanya memakai pakaian buatan sendiri dan bukan produk
konveksi, mengapa mereka menolak listrik dan segala kemajuan teknologi, mengapa
mereka tidak sekolah, dll.
Ternyata, jawabnya hanya satu: semua itu aturan
adat!
Masyarakat Baduy Dalam dikenal sangat
ketat memegang aturan adat. Mereka teguh membentengi diri dari pengaruh dunia
modern—meskipun sesungguhnya mereka bukan suku primitif. Mereka tidak mempertanyakan
alasan di balik larangan turun-temurun. Saya terkejut saat mengetahui mereka tidak memelihara hewan
berkaki empat atau menanam jenis-jenis
pohon tertentu. Jadi, jangan
harap bakal melihat kambing, kerbau, sapi, atau hewan berkaki empat lain. Ketika
saya bertanya alasannya, para pemuda Baduy itu menjawab ringan: “sudah menjadi aturan adat.”. Masyarakat Baduy mengikuti aturan
adat (pikukuh) tanpa mempertanyakan
alasan-alasannya. Oh My God, it’s a simple life!
Setelah melewati jalan panjang dengan tanjakan
dan turunan berat di antara ladang yang sangat luas, akhirnya kami melihat sekelompok
bangunan. Akhirnya sampai juga, pikirku! Tapi pemuda Sapri menggeleng,
dan mengatakan bahwa itu adalah kumpulan lumbung—setiap lumbung dimiliki oleh
sebuah keluarga. Kami masih harus berjalan beberapa
menit lagi untuk sampai di permukiman.
Orang Baduy memang menempatkan lumbung jauh dari rumah. Jika terjadi kebakaran di permukiman, persediaan padi di lumbung tidak ikut terbakar, jadi kami masih bisa makan, demikian kira-kira penjelasan Sapri. Hmm, sebuah konsep permukiman yang brilian.
Matahari belum
lagi tenggelam, saat kami tiba
di rumah Pak Nalim—di mana kami akan bermalam. Kami segera berdesakan di teras,
duduk berselonjor atau merebahkan diri. Sembari melepas penat, saya mengamati arsitektur rumah baduy. Rumah adat baduy
adalah rumah semi panggung dengan lantai berjarak sekitar 50-60
sentimeter dari tanah. Panjang tiang kayu penyangga yang dialasi batu alam mengikuti
tinggi rendah tanah. Bentuk rumah tanpa jendela itu relatif sama, yaitu persegi
dan saling berhadapan—konon, aturan adat
mengharuskan pintu menghadap ke utara
atau selatan, kecuali rumah ketua adat. Atap rumah dibuat dari anyaman daun
kelapa, sedangkan dinding dan lantainya terbuat dari bambu. Setiap bagian bangunan hanya
disambung dengan pasak atau diikat dengan tali. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan paku, begitu penjelasan Sapri saat saya bertanya tentang bangunan
lumbung. Ciri
bangunan baduy
mewakili Arsitektur Vernakular.
“Teman-teman, tolong keluarkan beras, mi instan dan makanan yang
dibawa!” aba ketua rombongan. Sesuai kesepakatan, setiap anggota
rombongan memang diminta membawa
2 liter beras, beberapa mi instan, dan makanan kecil. Tuan rumah akan
berbaik hati memasaknya untuk disantap bersama-sama.
Lalu, satu per satu masuk ke rumah
“menyetor” bawaan itu pada Marsad. Saya membantu sambil celingukan mengamati
interior rumah.
Tak beda dengan tampak luar, semua tiang bangunan, lantai,
dinding juga rangka atap disambung hanya dengan pasak atau tali. Ruang dalam terbagi
atas ruang terbuka berbentuk L dan sebuah bilik yang berfungsi sebagai dapur—konon ruang itu juga menjadi ruang tidur tuan dan
nyonya rumah. Tidak ada perabotan seperti rumah di kota. Untuk tempat
tidur tamu, di ruang depan telah dibentangkan tikar dengan bantal-bantal
ditumpuk di tepinya.
Sambil menunggu makanan siap, kami melewatkan petang sekehendak hati. Ada yang bertahan duduk berselonjor,
ada pula yang berjalan-jalan keliling desa. Sebagian besar berbondong-bondong
ke sungai, termasuk saya dan beberapa teman wanita. Kami tidak membawa sabun mandi, pasta
gigi, sabun cuci, ataupun sampo. Semua produk itu tidak boleh digunakan di Baduy
Dalam. Masyarakat Baduy Dalam sangat ketat menjaga agar alamnya tetap murni tidak
terkontaminasi. Jadi, mereka pun menuntut tamu yang datang berkunjung bersedia mengikuti aturan
itu.
Di sungai kami tidak menemukan bilik
mandi! Semua aktivitas MCK dilakukan
di tempat terbuka sepanjang aliran sungai. Walaupun area wanita terpisah dari
area pria, tetap saja kami merasa jengah. Kalau pun hendak mandi, semestinya
menunggu hari cukup gelap, pikir saya. Jadilah, berbekal kain sarung untuk
menutup diri, kami mencari tempat aman untuk sekadar buang air kecil. Saya juga
mencuci tangan dan kaki, membasuh muka serta menggosok gigi—hanya dengan
keyakinan air yang super jernih itu akan membersihkan dengan sempurna. Urung
mandi, saya hanya duduk-duduk di bebatuan.
Sambil menikmati dingin air di telapak
kaki, saya mengamati kesibukan para wanita Baduy—mereka bertubuh kecil, putih
bersih dan cantik. Mereka menimba air dalam buluh bambu, mencuci beras dan
peralatan makan, lalu mandi bersama anak-anak balita. Semua terlihat sangat
alami. Mereka tidak menanggapi pertanyaan saya dalam bahasa Indonesia, tapi sesekali
menjawab pertanyaan teman saya dalam bahasa Sunda. Ya, berbeda dengan kaum pria
dan pemuda, sebagian wanita Baduy Dalam konon tidak bisa berbahasa Indonesia.
Area sepanjang aliran sungai itu
benar-benar sangat sejuk dan hening. Dalam senyap kami bisa mendengar kicau
burung di antara gemercik air, juga kolaborasi tonggeret dan desau rumpun bambu. Saat terpana pada batang bambu yang
besar-besar, pandangan saya tertumbuk pada pepohonan dan semak rimbun di sisi
sungai. Sekejap, saya teringat dengan “hutan larangan” yang diceritakan para
pemuda Baduy saat kami di jalan tadi. Konon ada hutan lebat yang masih sangat alami
di kawasan Baduy Dalam. Hanya Ketua Adat (Pu’un)
serta orang-orang tertentu yang diijinkan memasukinya. Sebuah
tanya menelusup benak saya, kira-kira di
manakah letak hutan larangan itu?
Sepulangnya kami dari sungai, makan
malam telah siap. Nasi, mi instan rebus dan nugget ayam. Lelah, rasa lapar serta
hawa dingin, membuat makanan sederhana itu terasa sangat nikmat. Tanpa malu-malu
beberapa di antara kami menambahkan nasi atau mi, bahkan sebelum piring benar-benar kosong. Beruntung,
ruangan yang hanya diterangi lampu minyak itu mampu menyembunyikan wajah kami
yang kelaparan. Bila diamati, justru
tuan rumah dan putri kecilnya yang terkesan malu-malu.
Usai makan, sebagian memilih langsung
tidur. Beberapa teman duduk di teras dan mengobrol dalam dingin dan gelap. Saat
saya keluar, beberapa teman tengah berkerumun melihat-lihat cendera mata yang
ditawarkan penduduk
Baduy. Senter-senter dinyalakan untuk
membantu melihat wujud dan warna tenunan berupa sarung, selendang, syal, dan
lain-lain. Selain tenunan ada pula tas dan gelang dari kulit kayu serta berbagai
kerajinan lain. Karena tidak membawa banyak bekal saya pun hanya membeli sebuah
gelang kulit kayu. Lalu, saya menyingkir ke dalam supaya tidak merasa iri
karena tidak bisa membeli yang lain.. ha.. ha.. ha! Jika
datang lagi sebaiknya membawa cukup uang, hardik saya dalam hati sambil tersenyum
dalam kegelapan.
Di dalam, saya menerima tawaran Pak
Nalim untuk menyeduh kopi. Sejak awal
saya memang penasaran untuk bisa menikmati minuman dari “gelas” khas Baduy yang
terbuat dari potongan buluh. Sambil menikmati kopi—bercampur aroma bambu—saya
mengobrol dengan Pak Nalim dan adiknya. Mereka mengobrol sambil membolak-balik
majalah yang dibawa teman saya. Sepertinya mereka hanya melihat-lihat gambarnya,
pikir saya. Jika bersekolah termasuk larangan adat, tentu mereka tak bisa
membaca. Tapi, itu hanya dugaan saja!
Meskipun dilarang sekolah, beberapa dari mereka ternyata berupaya belajar baca-tulis secara otodidak—begitu kisah Sapri dkk. Entahlah, saya sungkan menanyakan
kebenaran itu. Kami hanya mengobrol tentang hal-hal ringan. Lalu, saat melihat Pak
Nalim mulai mengantuk, saya menerima ajakan Andi dan beberapa teman lain untuk bertamu
ke rumah Sarpin dan Sapri. Di rumah Sarpin, kami mengobrol sambil mendengarkan
permainan kecapi dan mencicipi gula aren khas Baduy. Pernah dalam sekian menit kami
semua membisu dan membiarkan dentingan kecapi menguasai sunyi. Malam terasa begitu
damai di desa Baduy.
Malam itu kami tidur berdesakan di ruang depan rumah Pak Nalim. Tetapi beberapa anggota rombongan menerima tawaran untuk menginap di rumah Sarpin dan Sapri. Setiap orang bergelung
dalam kantung tidur atau selimut
tebal yang dibawa dari Jakarta. Lantai bambu yang berderak setiap kami berganti posisi tidak menjadi gangguan berarti. Semua tertidur pulas seperti
usai terjaga berhari-hari. Pasti karena kelelahan usai melakukan trekking yang
relatif berat. Saya
sendiri terlelap paling akhir dihantar
sayup denting kecapi dari rumah
pemuda Sarpin.
Lewat tengah malam beberapa dari kami terbangun dan merasa perlu ke
kamar mandi. Alamak! Segera kami teringat bahwa kami tidak
sedang berada di rumah dan
tak ada kamar mandi di dalam rumah.
Akhirnya, dengan terkantuk-kantuk
kami berjalan menuju sungai. Aneh,
meskipun di luar gelap,
tidak ada perasaan takut! Tapi
sesekali kami sorotkan senter ke semak-semak di sekitar sungai, khawatir berjumpa hewan
melata. Saat tengadah saya melihat langit cerah yang dihiasi sepotong bulan sabit
dan… wow!
Di langit terlihat
ribuan atau bahkan mungkin jutaan bintang. Di
kota, belum pernah ada pemandangan langit sedemikian indah. Benda langit paling terang yang saya kenal
selain Matahari dan Bulan, adalah Bintang Kejora—sebutan untuk planet Venus—dan rasi bintang penunjuk arah selatan
yang dinamai Lintang Gubug Penceng—saya menyebutnya
Lintang Salib. Namun di Baduy malam itu, saya kebingungan
menemukan posisi kedua benda langit
itu. Bagaimana tidak? Di
langit ada ribuan bintang dan
semua seolah bersaing menunjukkan diri sebagai yang paling
terang.
Ayam jantan mulai berkokok pukul 4 dinihari—jika
saya tak salah mencermati arloji. Suara kokok ayam sangat dekat di telinga. Selidik punya
selidik ternyata kandang ayam ada di bawah rumah panggung—tepat di bawah
tempat tidur kami! Olala! Pada kokok kesekian, meskipun terasa berat,
satu per satu dari kami mulai beranjak bangun. Pasti sangat beruntung bisa menghirup
udara pagi yang masih berselimut kabut, jauh sebelum surya menguasai hari. Beberapa teman mulai berkemas, sedang yang
lain bergegas ke sungai untuk mengikuti “panggilan alam” dan
membersihkan diri—meskipun
tidak berarti mandi pagi. Di pawon, Pak Nalim dan
istrinya sibuk menyiapkan
sarapan.
Sarapan telah dihidangkan,
bahkan sebelum kami selesai berkemas.
Menu sarapan
tak jauh berbeda dari makan malam.
Anehnya, perut saya yang tak terbiasa sarapan pun tiba-tiba berontak menuntut
diisi, seperti sudah lama
tak bersua nasi. Ah, sungguh memalukan! Lalu kami pun berlomba mengosongkan isi bakul, belanga dan piring-piring
berisi lauk. Oya, pagi itu ada
tambahan lauk yang cukup unik,
yaitu durian muda yang digoreng! Saya tidak bisa menjelaskan secara detail, tetapi saya
bisa memastikan bahwa
rasanya aneh tetapi
enak.
Usai sarapan kami mengumpulkan
ransel-ransel untuk kembali dibawakan oleh Pak Nalim, juga Sarpin dkk. Mereka
juga membawakan botol-botol berisi madu hutan yang dibeli oleh beberapa teman. Kami pun bersiap untuk kembali melakukan trekking.
Sebelum beranjak, Marsad memberi tahu
bahwa tujuan kami adalah Desa Ciboleger yang berjarak sekitar 12 kilometer dari
Cibeo dengan waktu tempuh sekitar 4 jam atau lebih. Medan trekking akan lebih berat dari saat berangkat. Kami akan melewati beberapa ‘tanjakan
cinta’ dan ‘turunan penyesalan’—entah dari mana asal istilah romantis itu. Entah
karena terbayang
perjalanan 12 kilometer atau terkenang kedamaian semalam, rasanya saya enggan
meninggalkan rumah Pak Nalim.
Namun saat untuk berpamitan
tak bisa dihindari. Kami
pun bersalaman dengan
Bu Nalim dan putrinya juga dengan
beberapa penduduk yang
turut “melepas” kepergian kami.
Good bye Cibeo!
Medan trekking menuju Ciboleger benar-benar
menguras tenaga!
Sebagian besar tanjakan dan turunan yang kami lewati jauh lebih curam dibandingkan rute berangkat.
Wah, beruntunglah kami
tidak datang pada saat musim hujan. Walaupun saya yakin
saat itu pemandangan pasti jauh lebih fantastik, tetapi
jalanan pasti menjadi berlumpur dan licin.
Bagaimanapun kami tidak kekurangan pemandangan menawan. Apalagi pemandangan yang kami jumpai
saat berada di sisi jalan yang relatif tinggi. So amazing! Sepanjang rute pulang ini berkali-kali napas saya harus tertahan oleh rasa kagum!
Sungguh besar Kuasa Tuhan!
Setelah lebih dari 2 jam berjalan,
pangkal paha, betis dan pergelangan kaki saya mulai terasa nyeri. Meski sudah
tahu berapa lama perjalanan akan berlangsung, kami tidak bosan bertanya “masih
jauhkah?” Para pemuda Baduy yang terlihat tetap segar, akan selalu menjawab
“sebentar lagi”! Bagi orang Baduy yang terbiasa berjalan ratusan kilometer,
“sebentar lagi” berarti beberapa kilometer lagi... Fuiih! Beruntunglah kemolekan alam baduy juga obrolan seru kami dengan
Sapri dkk., selalu berhasil mengalihkan perhatian dari lelah dan nyeri di setiap
sendi. Saat harus berjalan tertatih karena letih
kami tidak khawatir akan terpeleset, sebab setiap tangan dalam kelompok kami
akan menolong. Terlebih lagi tangan-tangan para
pemuda Baduy yang selalu siap terulur, meski mereka berbeban jauh lebih berat. Bagi saya, istilah ‘tanjakan cinta’ dan ‘turunan
penyesalan’ benar-benar mewakili perjalanan itu! Setiap kali berjalan menanjak,
benih-benih cinta tumbuh semakin kuat—cinta akan kesederhanaan dan ketulusan
orang-orang Baduy, cinta akan kedamaian di desa Baduy, dan cinta
akan ciptaan Tuhan yang menakjubkan.
Lalu penyesalan akan selalu datang saat kami berjalan menurun—menyesal harus pulang
ke Jakarta meninggalkan surga Baduy nan indah.
Akhirnya, tibalah kami di jembatan bambu yang akan
mengantar kami keluar dari Baduy Dalam, memasuki Baduy Luar—area di mana
teknologi kembali boleh
digunakan. Di seberang jembatan terlihat sebagian teman telah asyik
mengoperasikan kamera,
ponsel, Ipad, dll. Lalu,
di tepian Sungai Ciujung itu kami mengaso, sembari tak henti bernarsis-ria. Rasa letih pun sedikit terlupakan. Setelah puas
bergantian mengambil foto kenangan, kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang masih
tersisa setengahnya. Perjalanan dengan medan yang tidak
lebih mudah, tetapi dengan keindahan alam dan orang Baduy yang sama yang selalu
menarik untuk diabadikan. Ada
ratusan scene telah direkam oleh setiap
kamera, sebelum kami mencapai Desa
Balimbing—di mana makan siang telah dijanjikan.
Sepanjang perjalanan di Baduy Luar, banyak
eksotika Baduy yang bisa kami jumpai. Pria dan wanita yang tekun meyiangi
ladang, para wanita yang sibuk menenun dibantu anak-anak perempuannya, anak-anak kecil yang bertelanjang
dada bermain di sungai, para pria yang bergotong royong membangun rumah, penduduk
bergotong royong membersihkan jalan, para pria yang mengobrol sambil menawarkan
durian pada orang lewat, dan banyak lagi. Bahkan, kami
pun sempat berhenti untuk menikmati durian yang dijual di depan rumah penduduk.
Tak kurang pula eksotika
perkampungan yang bisa diabadikan,
termasuk rumah tradisional,
lumbung, jembatan, dan lain-lain. Sepanjang jalan banyak kisah hidup yang diceritakan oleh para pemuda Baduy, yang tak pernah
membosankan untuk disimak.
Matahari telah meninggi saat kami tiba
di rumah Mulyono di Desa Balimbing—salah satu desa di wilayah Baduy Luar. Keramahan khas Baduy yang
disajikan Pak Sarpin—Ayah Mulyono—membuat kami seperti tiba di rumah sendiri. Di
teras rumah sudah banyak ‘tamu’ lain yang datang lebih
dahulu sedang melepas lelah. Di sana, bergantian
kami menikmati mandi yang sesungguhnya. Aturan dalam adat Baduy Luar memang sedikit lebih
longgar. Sabun dan sampo yang menyisakan keharuman, juga odol yang menjanjikan gigi putih bersih, boleh digunakan di Baduy Luar. Kamar mandi empat dinding dengan air
yang tak henti mengalir pun tersedia. Sehabis mandi, tanpa sungkan kami
menyerbu makan siang yang telah disiapkan. Masakan Ibunda Mulyono—nasi, ikan
goreng, sayur asam, dilengkapi sambal dan berbagai lalapan—sungguh nikmat dan
mengenyangkan. Kenikmatan makan siang adalah hadiah paling dinanti setelah
perjalanan panjang yang menguras energi. Tanpa rasa
sungkan, makanan yang tersedia ludes dalam sekejap. Segera sesudahnya kami
semua terkapar karena kekenyangan juga terserang kantuk.
Kenikmatan istirahat siang harus kami lupakan. Saat matahari hampir mencapai titik
kulminasi, kami berpamitan pada Pak Sarpin sekeluarga. Masih tersisa beberapa tanjakan penyesalan dan
turunan cinta yang harus kami tempuh untuk menjangkau Desa Ciboleger.
Tanpa terasa kami pun tiba di ujung
perjalanan. Gerbang penanda tepian tanah ulayat masyarakat Baduy sudah di depan
mata. Selangkah ke depan, kaki kami segera menginjak Desa Ciboleger—dari mana
Elf ber-AC akan membawa kami pulang kembali ke Jakarta. Ciboleger mengingatkan saya pada dunia yang sempat kami tinggalkan.
Di sana ada
perpustakaan dan gedung sekolah, kedai dan took berderet-deret—termasuk kedai
souvenir—juga terpampang poster
kampanye calon gubernur. Di beberapa rumah terlihat anak-anak kecil berkumpul menonton film kartun di televisi. Orang tua dan remaja berseragam
abu-abu melintas dengan kendaraan roda dua. Di tepi tanah lapang yang dinamai terminal juga berdiri mini market waralaba yang namanya berserak
di kota besar.
Ada sedikit rasa sedih, menyadari bahwa kami benar-benar telah kembali ke ‘dunia nyata’. Dunia di mana kecerlangan bintang-bintang
telah dikaburkan
polusi udara. Dunia di mana manusia—sering kali—cenderung bertopeng; tersenyum dalam
keterpaksaan; dan berbasa-basi untuk sebuah sapaan. Dunia di mana kejujuran begitu langka,
di mana seorang dengan yang lain sering kali harus menatap penuh curiga. Dunia di mana
kemajuan teknologi—seperti ponsel dan internet—justru menjauhkan yang
berdekatan.
Akhirnya, kami pun harus bersalam-salaman dengan Pak Nalim serta Sarpin
dkk. sebagai tanda perpisahan. Entah,
hingga kapan kesederhanaan Suku Baduy mampu bertahan dari pengaruh modernisasi.
Dalam hati, saya berharap bisa kembali singgah di Tanah Baduy untuk menimba
kedamaian bagi jiwa. Senyum tulus para pemuda Baduy yang melepas kepergian kami
pun bahkan terlihat seolah mengundang untuk datang lagi di lain waktu.
Catatan:
Catatan Perjalanan ini terpilih sebagai 30 kisah
terunik dalam yang kompetisi menulis catatan perjalanan "Traveling NOte Competition" yang diselenggarakan DIVA Press
dan dibukukan dalam antologi dengan judul yang sama Traveling Note Competition 2012.
Oya, Sebagian kecil foto-foto yang saya ambil di Wilayah Baduy Luar saya sajikan dalam artikel The Awesome Baduy. Yuk, nikmati keindahan Baduy Luar dari lensa kamera saya!
Oya, Sebagian kecil foto-foto yang saya ambil di Wilayah Baduy Luar saya sajikan dalam artikel The Awesome Baduy. Yuk, nikmati keindahan Baduy Luar dari lensa kamera saya!