Jumat, 20 Maret 2020

Saya Seorang Writerpreneur

Foto: @dwi_klarasari, Lokasi: Watt Coffe, Capitol park Residence 

Ketika mulai bekerja di sebuah penerbitan yang cenderung mengkhususkan diri pada produk buku-buku pelajaran (SD s/d SMA/SMK), saya dikenal sebagai editor--sebagaimana tugas utama saya dalam proses penerbitan buku. Hampir sepuluh tahun profesi tersebut melekat pada nama saya. Jika ditelusuri puluhan buku atau e-book yang terbit menuliskan nama saya sebagai penyunting/editor pada halaman hak cipta (copyright), padahal di balik layar sering kali saya juga harus berperan sebagai penulis bayangan (ghostwriter).

Namun, sejak memutuskan untuk bekerja mandiri pada tahun 2011, saya justru kebingungan ketika orang bertanya mengenai profesi saya. Apalagi masih ada sebagian orang yang memandang sebelah mata pekerja lepas (freelancer) seperti saya. Paling gampang saya akan menjawab bekerja di bidang penerbitan (publishing). Meskipun demikian ada juga orang yang belum dapat membedakan antara penerbit dan percetakan. Kadang-kadang saya bahkan mendapat pertanyaan seperti 'kalau cetak undangan manten berapa per lembar?' atau pertanyaan sejenis itu.

Saya juga mengalami kesulitan untuk memberikan jawaban yang memuaskan bagi mereka yang memahami seluk-beluk dunia penerbitan karena pertanyannya cenderung panjang lebar. Kalau dituliskan dalam format tanya-jawab kurang lebih seperti percakapan berikut.

Oh, kamu sekarang kerja jadi editor lepas? Memang bedanya apa dengan editor di kantor dulu? Ya, saya editor independen! Sama saja dengan di kantor penerbit. Bedanya, ya saya harus mencari dan melobi sendiri klien untuk mendapatkan sebuah proyek. Saya harus menandatangani sendiri kontrak untuk pekerjaan penyuntingan (editing). Saya dibayar untuk menyunting naskah dengan hitungan harga per kata, per halaman, per buku, atau sesuai kesepakatan dalam kontrak. Ada klien yang hanya meminta saya sekadar memperbaiki 'salah ketik'. Namun, secara umum ya saya harus turut mengoreksi kebenaran materi/sumber bacaan, penyesuaian tulisan seturut kaidah tata bahasa Indonesia, juga memastikan agar tulisan enak dibaca.

Tapi beberapa teman bilang kamu penulis! Jadi kamu itu editor atau penulis sih? Ya, saya editor yang juga penulis! Saya memperoleh imbalan untuk sejumlah artikel yang saya tulis/kirim ke koran atau majalah. Saya juga menawarkan naskah buku saya ke penerbit, yang mau membeli putus atau menerbitkan dengan sistem royalti. Sesekali saya juga membuat resensi buku baru untuk dikirimkan ke media cetak yang memberikan honor pemuatan.

Katanya penulis, kok namamu tidak tercantum pada artikel/buku yang kamu tulis? Kamu jangan mengada-ada lho ya! Memang tidak semua buku yang saya tulis terbit dengan nama saya. Kalau tidak ada nama saya, boleh jadi dalam artikel/buku tersebut saya berperan sebagai penulis bayangan (ghostwriter). Sebagai ghostwriter meskipun saya dibayar untuk menuliskan ide/gasasan orang lain atau instansi tertentu, saya tidak berhak mencantunkan nama saya. Jika perlu saya bahkan harus merahasiakan bahwa sayalah yang menulis artikel/buku tersebut.

Terus, kalau kamu pamit hendak melakukan liputan, pemotretan, dll. itu pekerjaan apa? Kamu merangkap jadi jurnalis/wartawan juga? Oh, kalau itu kebetulan saya menjadi staf redaksi lepas di sebuah majalah arsitektur. Saya bertugas menulis artikel bertema arsitektur & interior, dan kadang-kadang juga harus membuat ulasan (review) untuk rumah tinggal, apartemen, kawasan permukiman, dll. Nah, untuk menuliskan review saya boleh jadi harus mendampingi fotografer saat melakukan pemotretan. Di lokasi saya akan membantunya menata spot-spot menarik yang akan dipotret untuk ditampilkan dalam ulasan. Saya juga harus melakukan wawancara dengan pemilik rumah atau arsiteknya untuk menelusuri konsep desain, penggunaan material, dan sebagainya. Kalau hendak menulis berita tentang peluncuran produk perumahan saya pun harus mengikuti konferensi pers (press conference) untuk mendengar paparan dari pengembang (developer) dan sejumah pihak terkait. Jika kebetulan ada tokoh dalam dunia properti yang layak diangkat, saya pun harus siap untuk datang mewawancarai ybs. Kira-kira seperti itulah tugas-tugas yang harus saya lakukan sebelum membuat tulisan yang akan diterbitkan oleh majalah tersebut.

Lalu, kenapa di akun medsos kamu sok-sokan promosi mau membantu klien menerbitkan bukunya sendiri? Memangnya kamu sudah punya penerbitan? Amin semoga kelak bisa punya penerbit sendiri. Hmm... ya, anggap saja itu adalah langkah awalnya. Saya tidak menawarkan bantuan cuma-cuma. Ya namanya profesi, tentu ada imbalannya. Prinsipnya, saya membantu para penulis untuk membukukan karyanya (jurnal, kumpulan puisi/prosa, biografi/autobiografi, dsb.). Saya bekerja mulai dari membaca dan mengulas draft naskahnya, membuatkan kerangka buku (outline), dst. sampai melakukan penyuntingan, baik perombakan kalimat atau sekadar salah ketik. Pokoknya sampai naskah layak baca deh! Selanjutnya saya akan menyiapkan seorang desainer kover untuk mendesain kover dan seorang penata letak untuk me-lay out naskah sampai menjadi file buku siap cetak. Sementara itu saya juga akan mengontak penerbit (sekaligus yang memiliki percetakan) untuk mendapatkan ISBN dari Perpustakaan Nasional. Setelah ISBN terbit, saya pun akan segera memesan pencetakan sejumlah eksemplar yang diinginkan penulis dengan sistem POD (Print on Demand). Ketika buku sudah terbit, saya dengan sukarela membantu promosi/pemasarannya. Begitulah!

Saya masih nggak ngerti profesi kamu sebenarnya! Kamu mau juga diajak teman untuk memberi pelatihan menulis; ada proyek terjemahan kamu ambil juga! Kamu ini serakah, semua pekerjaan kamu terima. Harusnya kamu itu punya spesialisasi, misalnya, editor atau penulis saja!
Haruskah menjadi spesialis? Saya belum tahu! Sampai saat ini saya seorang generalis, tetapi bukan berarti saya serakah. Semua pekerjaan itu datangnya juga bergiliran sesuai kehendak Tuhan. Kalau saya mampu dan klien percaya, ya tentu akan saya terima. Itulah yang disebut rezeki. Jadi, tolong jangan sebut saya serakah. Bagaimanapun asap dapur dan jaringan internet kan tidak boleh sampai mati. Hehehe...

Atas berbagai pertanyaan di atas--yang sesekali mengandung tuduhan--saya pun selalu introspeksi diri mempertanyakan jalan profesi yang saya tempuh. Namun, saya tidak pernah menyesalinya dan tetap bertekun menapakinya.

Lebih dari itu saya merasa sangat terdukung setiap kali membaca buku berjudul Writerpreneur; Cerdas dan Cergas Berbisnis Tulisan, karangan Bambang Trimansyah. Dalam bukunya tersebut, Komporis Buku Indonesia salah satu idola saya ini, menyebut profesi yang saya lakoni itu sebagai writerpreneur. Padanan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih adalah seseorang yang menjadikan kegiatan tulis-menulis sebagai jalan usaha (bisnis).
Buku yang meyakinkan saya di jalan aksara


Nama writerpreneur terdengar keren ya? Terus terang saya suka dengan penamaan tersebut! Walaupun begitu, menekuni profesi ini tidak mudah. Masih banyak yang harus saya pelajari untuk dapat menjadi seperti beliau dan writerpreneur hebat lain. Beruntung, saya punya mental pembelajar. Sampai sekarang saya tidak pernah bosan dan selalu bersemangat mempelajari banyak hal baru terkait writerpreneurship, baik secara autodidak maupun dari mentor-mentor terbaik.

Ada yang berminat jadi writerpreneur juga? Yuk, berbagi pengalaman! Atau, ada yang ingin menggunakan jasa saya? Terima kasih untuk tidak ragu menghubungi saya!
Salam literasi!


Depok, 20 Maret 2020


2 komentar:

  1. di 2020, di 2021 sekarang
    sejak pandemi ya pekerjaan freelance malah lebih banyak dicari

    BalasHapus