Judul Buku : Menjadi Sekolah Terbaik: Praktik-Praktik Strategis
dalam Pendidikan
Penulis : Anita Lie, dkk.
Penerbit : Tanoto Foundation & Raih Asa Sukses
Halaman : iv+188
ISBN : 978-979-013-205-74
Cetakan I : 2014
Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
masih belum sesuai dengan harapan, terutama bila kita berbicara masalah
kesetaraan dan keadilan. Indonesia memiliki banyak pelajar berprestasi dan
sekolah berkualitas. Tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan tingginya angka
putus sekolah dan jumlah sekolah dengan kualitas di bawah Standar Nasional
Pendidikan. Meskipun beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah, kesenjangan
dan ketimpangan masih terjadi di sana-sini.
Besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah Indonesia
tak sebanding dengan jumlah guru dan persebarannya. Keragaman kultur/budaya
serta karakteristik geografi Nusantara menjadi kendala signifikan bagi
ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang ideal. Di sisi lain kebijakan
privatisasi pendidikan, misalnya, konon justru menciptakan diskriminasi atau
tidak berpihak pada rakyat kecil. Bukan berita baru jika ditemukan
penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ataupun sekolah-sekolah
yang dijadikan ajang bisnis. Dan banyak lagi fakta minus yang membuat banyak
pihak, termasuk para pegiat pendidikan, mengamini karut-marut dunia pendidikan
Indonesia. Bahkan ungkapan bernada pesimis pun tak
terbendung.
Namun pesimis saja tidak akan menyelesaikan masalah,
apalagi mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Mengandalkan pemerintah
sebagai satu-satunya ‘problem solver’ pun bukanlah pilihan yang adil.
Seluruh komponen masyarakat, termasuk korporasi dan filantropis, harus ikut
andil dalam pembangunan pendidikan. Hal itu sangat disadari oleh Tanoto
Foundation—sebuah yayasan filantropis yang didirikan oleh Bapak Sukanto
Tanoto dan Ibu Tinah Bingei Tanoto—sehingga menyediakan diri untuk turut
berjuang meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Melalui buku berjudul Menjadi Sekolah Terbaik:
Praktik-Praktik Strategis dalam Pendidikan ini, para penulis membagikan
berbagai pemikiran dan pengalaman mengenai dunia pendidikan. Buku ini sekaligus
menjadi dokumen kegiatan pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh
yayasan nirlaba tersebut.
Ide pokok yang terkandung dalam buku ini adalah
“menjadikan sekolah berprestasi lewat peningkatan kualitas dan kompetensi guru”
merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Sekolah sebagai satuan pendidikan
menjadi indikasi kualitas pendidikan, dan guru memiliki peran sentral di
dalamnya. Kualitas nasional pendidikan di Indonesia amat ditentukan oleh
jutaan satuan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. (hlmn
172); Sebagai ujung tombak pendidikan, pengetahuan dan keahlian yang
dimiliki guru belumlah sesuai. Penelitian membuktikan, kualitas seorang guru
lebih menentukan untuk pencapaian prestasi peserta didik dibanding rasio jumlah
guru dan peserta didik di sebuah ruang kelas. (hlmn.7)
Secara implisit buku setebal 188 halaman karya Anita
Lie, Takim Andriono, dan Sarah Prasasti ini terbagi atas dua bagian.
Bagian pertama—disajikan dalam Bab 1 s/d 2—membagikan pemikiran mengenai
dimensi dan permasalahan pendidikan serta tanggung jawab sosial bagi
pendidikan. Pada Bab 1 penulis membuka wawasan pembaca mengenai dinamika
dimensi kultural, struktural, dan ekonomis dalam pendidikan serta permasalahan
yang muncul. Ditengarai bahwa persoalan mendasar yang dihadapi sekolah terkait
dengan kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin, kesenjangan antara
kekuasaan dan tanggung jawab negara, dan otonomi daerah (hlmn 20), dan
untuk itu diperlukan peran serta masyarakat.
Selanjutnya pada Bab 2 penulis menekankan
kontribusi korporasi dan filantropis terhadap dunia pendidikan. Secara gamblang
disampaikan kontribusi nyata Tanoto Foundation dalam mendongkrak rapor
pendidikan Indonesia dengan mensponsori program pengembangan profesionalisme
kepala sekolah dan guru yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Sebagaimana
ide pokok yang tersirat, tujuan utama program tersebut adalah mendorong guru
melakukan perubahan nyata di lingkungan kelas dan sekolah untuk menjadikan
sekolahnya lebih baik.
Bagian kedua—tersaji dalam Bab 3-13—merupakan paparan
konsep dan pemikiran ‘jalan menuju sekolah berprestasi’. Bab 3 berisi
pengenalan ide Douglas Reeves tentang empat kuadran sekolah—sekolah yang
beruntung, sekolah yang kalah, sekolah yang belajar, dan sekolah yang
memimpin—dilanjutkan ajakan bagi para pemangku kepentingan sekolah untuk
memetakan pada kuadran mana posisi sekolahnya berada. Pada bagian ini pembaca
disadarkan bahwa “sekolah yang belajar” yang memiliki strategi dan tindakan
efektif disebut jauh lebih sehat dan menjanjikan serta berpotensi menjadi
sekolah berkualitas yang masuk kuadran memimpin.
Bab 4 s/d 12 memaparkan berbagai aspek penting yang
diperlukan suatu sekolah untuk tumbuh menjadi sekolah berkualitas, di antaranya
adalah: perlunya mengangkat keunikan dan kearifan lokal agar dihasilkan peserta
didik yang berguna bagi lingkungannya (Bab 4); perlunya rumusan
visi-misi sekolah yang jelas, memotivasi serta sesuai kebutuhan, dan terutama
dapat diterjemahkan dalam rencana strategis dan tindakan pencapaian (Bab 5);
perlunya kepemimpinan yang transformatif yang antara lain menciptakan
lingkungan kerja menyenangkan, di mana bertumbuh kreativitas, inovasi dan
semangat belajar, serta adaptif terhadap perubahan (Bab 6); perlunya
manajemen berbasis sekolah yang efektif yang ditunjukkan dengan kemandirian,
kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas (Bab 7); perlunya
guru berkualifikasi, profesional, kompeten, dan berdedikasi, yang mampu
mengantarkan generasi muda menjadi pribadi cerdas dan siap berkompetisi (Bab
8); perlunya komunitas belajar para pendidik, di mana guru bersama
rekan-rekannya terus mengembangkan diri dan menjadi pembelajar sepanjang hayat (Bab
9); perlunya standar pendidikan yang jelas dan bermutu namun tetap
fleksibel dan dinamis karena setiap peserta didik memiliki keunikan (Bab 10);
perlunya pemahaman akan kebutuhan peserta didik yang menjadi subjek dalam
proses pendidikan (Bab 11); dan perlunya komunikasi antara sekolah dan
orangtua/wali peserta didik sebagai mitra dalam pelaksanaan pendidikan anak (Bab
12).
Uraian pada Bab 13 merupakan rangkuman sekaligus
semacam petunjuk cara mengenali “sekolah berprestasi atau unggul”. Para penulis
yang juga pakar-pakar pendidik menyebut bahwa sekolah akan disebut
berprestasi jika mampu membina dan memproses peserta didik yang sedang-sedang
menjadi lulusan yang baik (hlmn, 174).
Prestasi itu ditentukan oleh proses belajar-mengajar
yang dipengaruhi berbagai hal yang telah diuraikan pada Bab 3-12. Bab terakhir
ini juga menjadi penguatan bagi sekolah-sekolah di daerah yang masih terus
berjuang untuk tidak berkecil hati. Sekolah serba kekurangan pun mempunyai
harapan besar untuk menjadi sekolah berprestasi jika sekolah it uterus belajar
dan menggali faktor-faktor penentu keunggulan, diantaranya visi misi yang kuat,
kepemimpinan yang mumpuni, dan pendidik yang berkomitmen tinggi (hlmn. 178).
Secara menyeluruh paparan dari awal hingga akhir
terasa mengalir dan “bukan sekadar teori” karena pada setiap bab didukung oleh
rekam jejak kegiatan serta kisah yang memotret secara personal para guru dan
kepala sekolah peserta Program Pengembangan Profesionalisme Guru dan Kepala
Sekolah. Kreativitas, kerja keras, hingga kegigihan mereka yang dituturkan
dengan cair dan mengalir sungguh menyadarkan pembaca bahwa ternyata Indonesia
memiliki banyak guru dan kepala sekolah berdedikasi yang bekerja dengan hati
sebagaimana Ibu Muslimah dan Pak Harfan dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata. Testimoni tersebut juga menginspirasi dan mengajak pembaca
terutama para pegiat pendidikan untuk segera keluar dari pesimisme dan turut
berjuang demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Depok, 7 Agustus 2014