Foto: Leandro De Carvalho, Pixabay |
Hujan belum reda, saat
ingatan padamu menggema. Kubuka buku yang tiap lembarnya kutulisi puisi
untukmu. Kehilanganmu membalutkan sepi serta rindu yang mengubahku jadi
penyair. Kau mungkin tidak percaya seorang hedonis sepertiku mampu menulis
puisi. Tentu saja puisiku jauh dari indah. Namun aku yakin, saat membacanya kau
akan bertepuk tangan sambil menebar pujian yang memerahkan pipi. Begitulah kau,
selalu ringan hati membuat orang lain bahagia. Sungguh! Aku tak sabar ingin
melihat reaksimu itu.
Hujan semakin lebat, dan
ingatan tentangmu semakin pekat. Aku ingat betapa kau selalu mampu mengatasi kekesalanku
yang sering tak beralasan. Namun, pada malam nahas itu, amarah telah membakar
hati dan pikiranku. Aku bukan marah padamu. Dunia tahu, kau nyaris tak
pernah membuatku marah. Kau hanya membuatku cemburu karena dirimu bukan hanya
untukku. Kehadiranmu dinantikan oleh banyak orang, termasuk anak-anak jalanan
yang kau ajar di akhir pekan. Malam itu alkohol menyempurnakan amarahku, hingga
kau bahkan tak berhasil menahan laju mobilku. Beruntung tanganmu sigap membelokkan
kemudi yang kulepaskan.
Hujan masih mengguyur tanpa
kompromi, saat aku menunggumu sore ini. Kau akan pulang setelah lama pergi
pascatragedi malam itu. Sebagian lukamu—entah yang mana—harus mendapat
perawatan ahli di luar negeri. Begitu penjelasan bunda saat aku terbangun dari
koma dan memanggilmu histeris karena mengira El Maut telah menjemputmu.
Kureka-reka parahnya luka yang harus kautanggung karena kebodohanku. Aku tahu,
semua puisiku takkan mampu menebus kesalahan itu. Namun aku janji kau akan
gembira melihatku. Selamat dari kecelakaan membuatku lebih menghargai hidup.
Kuharap kau bersedia menerima maafku lewat puisi ini.
Perlahan hujan mereda
menyisakan gerimis dan angin sepoi. Sekali lagi kubaca puisi-puisi tentang mata
elangmu. Mata yang sorotnya mampu melembutkan kekerasan hatiku. Sejujurnya aku
merindukan sorot teduh mata elangmu, yang sejak kukenal tak pernah lelah
mengirimkan cinta. Kau sungguh beruntung. Selain ketampanan, Tuhan juga
memberkahimu sepasang mata dengan sorot memesona. Tuhan pun memercayakan hati
penuh kasih sebagai milikmu. Bersama segala kebaikanmu, teduhnya sorot matamu
menghadirkan rasa damai dan tenteram bagi siapa pun. Kuharap puisiku tidak
salah melukiskan pesonanya.
Hujan telah benar-benar reda,
saat pesawatmu mendarat. Sejurus kemudian, mataku nanar mencari-carimu di
antara para penumpang yang keluar dari lobi kedatangan. Kucari sosok tegapmu
dengan lengan kuat yang biasa menenangkan ketakutanku. Kucari mata elangmu yang
kukira bakal menyergapku dengan tatapan lembutnya. Entah bagaimana, tiba-tiba
sosokmu telah tegak berdiri di hadapanku. Dari atas kursi roda aku bergegas
melacak sorot mata yang kurindukan. Namun aku bahkan tidak mendapati sinar di
matamu. Kau hanya terpaku, dan baru mengulas senyum saat ayahmu membisikkan
sesuatu. Lalu seraya memanggil namaku, tanganmu melambai-lambai berusaha
menggapai wajahku. Aku terhenyak menyadari hilangnya penglihatanmu. Bibirku
mendadak kelu dan semua kalimatku membeku, Buku puisi untukmu terlepas begitu
saja dari tanganku.
Porosna, 13 Oktober 2016
Catatan:
Cerpen ini sudah diterbitkan dalam Antologi 100 Cerita Pendek 5 Paragraf "Burger Terakhir yang Kubuang" bersama KPK Deo Gratias pada Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar