Minggu, 04 November 2018

Drama Natal

 

Foto koleksi @dwi_klarasari

Aku terlambat datang ke pesta natal anak-anak Panti Asuhan Bocil. Semalam, hampir tengah malam, Suster Wido menelepon memintaku menggantikan fotografer yang mendadak tertimpa musibah. Refleks kuiyakan tanpa berpikir kemungkinan terlambat bangun pagi setelah berhari-hari tidur menjelang dini hari. Beginilah jadinya, terlambat 30 menit. Bergegas kuparkir motor dan berlari ke aula. Lega rasanya mendapati MC baru saja membuka acara. Sesaat kemudian MC mempersilakan seseorang untuk memberi sambutan. Aku tidak menyimak namanya. Dari jauh pun tak bisa kukenali. Tanpa kacamata aku hanya mampu melihat jelas hingga jarak 3 meter. Sekilas tampak gestur pria itu ramah dan bersahabat. Segera kubidikkan kamera ke arah panggung. Kameraku nyaris terlepas saat kutangkap sosok yang sedang berdiri di sana.

 

Sekejap panggung berubah temaram dan lagu Malam Kudus bergema lembut dari sound system. Kerlip bintang-bintang dan bulan sabit pada backdrop biru dongker melengkapi suasana malam sunyi senyap. Dari balik tirai, keluar Yusuf dan Maria dalam pakaian ala timur tengah. Yusuf menuntun Maria yang sedang mengandung. Keduanya berjalan sangat perlahan, mengetuk di sana-sini mencari penginapan. Kalian tampak serasi, begitu kata teman-teman menyalamiku usai pertunjukan. Ya, aku berperan sebagai Maria. Padahal saat latihan aku sering kali gugup, karena di luar panggung aku benar-benar menyukai pemeran Yusuf. Beruntung dia tidak berubah sikap saat mengetahui rasa sukaku itu. Sebaliknya, dia justru mengajariku melakonkan peran sebaik mungkin. Aku jadi semakin jatuh cinta. 

 

“Etha!” Suara Suster Wido membuyarkan lamunanku. “Ya Sus!” jawabku sekenanya. “Sebelum anak-anak manggung tolong difoto ya.” Aku memberi kode oke, sembari mengamati anak-anak yang bersiap mementaskan drama kelahiran Yesus. Ingatanku kembali melayang-layang ke panggung masa remajaku. Sampai kemarin aku masih merindukan Mas Tiyok, kakak kelas yang menjelma Yusuf di panggung drama natal sebelas tahun silam. Setelah kepergiannya yang mendadak, aku masih sering bertanya ke mana ayahnya yang tentara itu dipindahtugaskan. Saat-saat mengingatnya, acap kali kubertanya, setinggi apa dia sekarang, seperti apa wajahnya, bagaimana suaranya. Di mana dia kuliah dan masuk jurusan apa. Sudah adakah kekasih hatinya. Aku tersenyum. Sampai kemarin boleh jadi aku masih terlena bila angin musim cinta itu berdesir lembut menghadirkan bayangan Mas Tiyok. Kutepuk pipiku. Sekarang tidak bisa lagi, bisik hatiku setengah menghardik. Mulai hari ini, setelah lensaku menangkap sosok biarawan muda di atas panggung tadi, sepertinya aku harus menata hati. Mempelai Maria dalam drama natal dahulu, kini menjelma sosok berjubah putih dengan kalung salib di dada. Yusufku telah menjadi Romo Tiyok.

 

Comutter Line Depok-Angke, 4 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar