Foto by @widhi_three |
Cantik itu Indo.
Cantik itu putih.
Dua kalimat itu kutemukan dalam buku karangan
seorang sahabat, Vissia Ita Yulianto bertajuk Pesona ‘Barat’ Analisa Kritis-Historis
Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia. Kalimat itu sangat berkesan
dan menggugahku sebagai wanita yang dilahirkan sebagai bagian manusia dengan
ras kulit cenderung sawo matang.
Kini, dalam kenyataannya di negeri Indonesia tercinta sudah
semakin sedikit kaum perempuan yang bangga dengan warna kulit “sawo matang”. Image
“cantik = Indo dan cantik = putih” lah yang saat ini ada dalam benak
sebagian besar perempuan Indonesia (kalau tidak bisa dikatakan semua).
Alhasil,
perempuan yang lahir dengan kulit sawo matang khas ras mongoloid di negeriku,
kini berlomba-lomba memutihkan diri dengan berbagai produk kosmetika
berlabel “whitening”.
Pada masa nenek atau Ibuku, mungkin tidak ada
perempuan yang mempunyai image demikian. Jika dihitung-hitung… mungkin
sejak era 80-an perlahan-lahan image cantik=putih itu mulai tertanam dalam
benak remaja hingga perempuan dewasa. Tak pelak lagi, pasti ada “agen” yang
berperan membawa pergeseran itu. Siapa dia?
Lalu aku membaca tulisan sahabatku yang lain: Jonas
Klemens G.D. Gobang (MEDIA DI INDONESIA DALAM IKHTIAR MEMBUNGKUS TUBUH
PEREMPUAN Menelanjangi Media atau (Kartini) Perempuan ?).
Aku langsung setuju dan sepakat terkait dengan peranan
media massa dalam menjadikan perempuan sebagai komoditas. Karena secara
sepihakpun saya selalu “menuduh” media cetak maupun elektronik sebagai salah
satu “agen” sebagaimana saya sebut sebelumnya. Jika mau jujur, media cetak
maupun elektronik tentu tidak dapat mengelak tuduhan itu (bahkan dakwaan
sekalipun), bukan? Ya, media melalui segala pemberitaan (news), hiburan (entertainment)
dan iklan (advertising) telah berperan menjejali dan secara perlahan
mengubah image cantik bagi seorang perempuan Indonesia. Menjadi “cantik putih”
adalah hal yang selama lebih dari satu dekade telah dengan sangat gencar
ditawarkan oleh produsen kosmetika melalui iklan di berbagai media cetak dan
elektronik. Gambar-gambar iklan dan skenario iklan visual televisi penuh berisi
bujuk rayu bagi kaum perempuan untuk menjadi cantik putih.
Tawaran produk melalui iklan itu selanjutnya didukung
oleh berbagai tayangan hiburan (sinetron, film, dll) bertabur bintang-bintang
muda dan cantik nan putih yang notabene adalah wanita Indo. Sebagian besar
artis iklan dan sinetron/film adalah indo. (Indo bisa diartikan sebagai
keturunan dari perkawinan antara bangsa Indonesia dengan bangsa kulit putih atau
orang Barat pada umumnya). Hingga akhirnya Indo yang putih dan bersih
telah menjadi ikon yang ingin ditiru.
Indo yang identik dengan barat memang telah memancing
pesona tersendiri. Secara historis pesona dunia barat telah ada sejak zaman
kolonial. Jika di masa kolonial dahulu RA Kartini terpesona akan barat dalam
hal kesetaraan, kebebasan, dan ilmu pengetahuan. Di masa sekarang,
keterpesonaan kaum perempuan Indonesia pada barat cenderung lebih secara fisik.
Dan media cetak maupun elektronik telah memanfaatkan
kecenderungan itu dan melalui berbagai tayangannya telah melahirkan perilaku
konsumtif. Tidak hanya itu. Berbagai tayangan juga sering menggambarkan
seolah-olah kecantikan adalah segalanya. Putih bak Indo menjadi target utama
untuk menaikkan derajat. Wajah dan kulit putih bersih identik dengan tingkat
sosial (status) yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebih baik, dan sebagainya.
Dengan kecantikan berupa kulit putih, tinggi semampai,
rambut pirang ala barat seolah-olah semua impian yang lain akan segera
terwujud. Pria-pria akan mendekat bak kumbang, atau tiba-tiba muncul tawaran
pekerjaan yang lebih baik, dan lain sebagainya.
Jadi menurut pendapat saya, tulisan “MEDIA DI
INDONESIA DALAM IKHTIAR MEMBUNGKUS TUBUH PEREMPUAN Menelanjangi Media atau (Kartini)
Perempuan ?” sesungguhnya sangat berpotensi menjadi inspirasi serta sarana
introspeksi diri bagi media komunikasi sekaligus bagi masyarakat khususnya kaum
perempuan (lebih khususnya perempuan Indonesia).
Media memang perlu dan harus melakukan introspeksi.
Sudahkah selama ini media komunikasi telah memenuhi perannya sebagai penyampai
fakta, pendidik, dan menjadi kontrol masyarakat dan kritik moral? Ataukah hanya
menjadi media hiburan dan media promosi bagi produsen-produsen yang hanya
mengejar target keuntungan? Dalam hal ini terutama terkait dengan “upaya”
mengeksploitasi perempuan, menjadikan perempuan hanya sebagai komoditas.
Sehingga akhirnya, banyak media justru menjadi sarana pemunduran kepribadian
bangsa.
Bagi kaum perempuan, marilah melakukan introspeksi dan
mengusahakan kesadaran bagi diri kita. Sudah terlalu jauhkah kita lari dari
fitrah kita - seorang dengan kecantikan khas wanita timur. Seberapa jauh kita
terlena oleh mimpi-mimpi yang ditawarkan oleh media? Misalnya mimpi akan
kecantikan dan ketenaran sebagai bonusnya. Apakah oleh iklan produk kecantikan
kita wanita berkulit sawo matang (tidak putih) segera saja bermimpi menjadi
putih hanya dalam waktu 4 minggu? … semacam itu!
Saya setuju dengan Gobang bahwa wanita harus
sadar bermedia. Menurut saya statement itu bisa juga diartikan agar
wanita menyadari bahwa salah satu tujuan media adalah mencari
keuntungan/profit. Dan oleh karenanya “mungkin saja” media menghalalkan segala
tayangan. Salah satunya menjadikan wanita sebagai komoditas. Bukan hanya wanita
sebagai pembaca/penonton yang harus menyadari hal ini. Namun juga wanita yang
terlibat langsung dalam proses produksi di lingkaran media. Biarlah cita-cita
Kartini terwujud, kita menjadi setara dengan kaum pria.. namun lebih melalui
pikiran dan bukan tubuh kita.
PS:
Tulisan ini adalah sedikit tanggapan untuk tulisan
sahabat-sahabatku yang hebat!
tulisanmu bagus bisa untuk menginspirasi yang lain untuk terus berpikir karena hanya dengan berpikirlah manusia menjadi manusia
BalasHapustulisanmu bagus bisa untuk menginspirasi yang lain untuk terus berpikir karena hanya dengan berpikirlah manusia menjadi manusia
BalasHapus