Rabu, 28 Juli 2010

Kehilangan dan Kegagalan Memberi Pelajaran menjadi Manusia Lebih Baik




Judul Buku   : Rindu
Penulis        : Sefriana Khairil
Penerbit      : GagasMedia, Jakarta
Halaman      : viii + 243
ISBN           : 9789797804084
Cetakan I     : 2010

Kehilangan seseorang yang paling kita kasihi adalah satu episode kehidupan yang paling menyakitkan. Terlebih untuk sebuah kehilangan yang kita sebut kematian. Kematian seorang yang paling kita cintai, seolah-olah turut membunuh kita secara perlahan. Bahkan jika boleh, kita pun ingin mati bersamanya saat itu juga. Benarkah kita harus turut “mati” bukan oleh kehendak Yang Maha Pencipta? 
Melalui novel ini Sefryana Khairil menguak satu babak kehidupan di balik sebuah kematian. Sesudah pemakaman orang tercinta, benarkah: everything will be fine?

Kematian Daffa-sang Buah Hati sangat memukul pasangan Zahra dan Krisna. Daffa harus kembali kepada Sang Khalik saat masih belia bahkan tepat di hari ulang tahunnya yang ke-5. Saat sebuah pesta dan semua kebahagiaan kanak-kanak telah disiapkan. Kepergian yang begitu tiba-tiba. Tak ada seorangpun yang siap untuk sebuah kehilangan.

Pukulan semakin terasa bagi Zahra, karena kepergian Daffa secara tidak langsung adalah akibat keteledorannya. Setidaknya itulah yang dipercayainya. Sebuah kecelakaan yang mungkin tak akan terjadi, bila Zahra tidak membawa Daffa pergi atau jika Zahra erat-erat menggandeng buah hatinya. Di antara tangisan akan kepergian Daffa, Zahra masih harus mendengar pertanyaan yang tak sanggup dijawabnya: “Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi? Kok bisa sih… ?” Berbagai pertanyaan yang selalu menghantui dan membuatnya semakin terpuruk dalam perasaan bersalah. Terlebih saat Ibu Mertua mengetahui kematian cucunya. Zahra merasa dirinya dianggap sebagai ibu yang tidak becus mengurus anak, selain sebagai “bukan menantu idaman”.

Di sisi lain, Krisna digambarkan sebagai khas lelaki yang “terpaksa” harus terlihat tegar, meskipun kenyataannya ia memiliki rasa kehilangan yang sama besarnya dengan Zahra. Krisna selalu berusaha menenangkan Zahra dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Krisna menyembunyikan tangisnya dari semua orang. Krisna terlanjur dikenal sebagai sosok yang tegar, pejuang yang pantang menyerah, lembut dan penyayang. Krisna yang tetap menghormati sosok Ibu, meskipun sejatinya sang Ibu memilih meninggalkan dia dan Ayahnya saat dirinya masih kecil. Krisna yang tetap menerima Ibunya, meskipun sebaliknya sang Ibu sempat tidak menyetujui wanita pilihannya. Seorang Krisna dengan masa lalu keluarga yang suram, dan sangat menyayangi Ayahnya yang terpuruk di kursi roda.

Cerita dalam novel ini mengalir begitu saja seperti ingin mengisyaratkan bahwa apapun yang sudah terjadi di masa lalu, kehidupan tak bisa dihentikan. Di balik sebuah kehilangan dan porak porandanya hati Zahra dan Krisna, life must go on. Krisna harus tetap berjuang dengan masalah-masalah di kantornya. Zahra pun sibuk dengan usaha café bersama Riska sepupunya. Namun, rutinitas kerja tidak bisa menutupi masalah. Pada kenyataannya kehidupan mereka tidak lagi sama. Kebahagiaan keluarga kecil mereka, saat-saat bahagia bersama Daffa, dan kepergian Daffa senantiasa menghantui mereka. Cara mereka memandang kehidupan dan pasangannya berubah tanpa mereka sendiri menyadarinya.

Zahra tak bisa lepas dari penyesalannya. Sering kali dia berkutat dengan kamar dan barang-barang Daffa. Sebaliknya Krisna terus-menerus menegarkan diri dan berusaha memulihkan kehidupan rumah tangganya. Dengan sabar ia mengajak Zahra memulai semua dari awal. Begitu terlihat tegarnya, hingga Zahra sempat menganggap rasa kehilangan Krisna tidak sebesar dirinya. Keputusasaan Zahra berbuntut penolakan-penolakannya terhadap kemesraan dan keinginan Krisna untuk memiliki anak lagi. Penolakan Zahra menjadi lubang besar yang menganga dalam mahligai perkawinan mereka. Jarak di antara Zahra dan Krisna semakin melebar meskipun mereka berdekatan. Rasa kehilangan yang dalam dalam diri mereka masing-masing tidak terungkapkan dengan tepat. Setiap kata dan awal romantis justru sering berakhir menjadi belati yang saling melukai. Mereka hanya saling menebak tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sampai setengah bagian novel ini, kehidupan rumah tangga Zahra-Krisna semakin tidak baik-baik saja. Keputusan Krisna untuk tidak lagi menyakiti Zahra menjadi suatu yang dilematis. Hingga akhirnya keputusan melepas Zahra seolah merupakan jalan terbaik. Namun, perpisahan menjadi permenungan panjang bagi Zahra dan Krisna. Mengikuti permenungan Zahra-Krisna, pembaca seperti diajak melihat bayangan diri: bagaimana kita pun terkadang tidak bisa memahami diri kita sendiri dan terlebih memahami orang lain. Kita perlu orang-orang terdekat untuk menyadarkan posisi kita. Perlu sebuah perpisahan untuk menyadari pentingnya seseorang bagi hidup kita.

Melalui novel bergenre romantis ini, Sefryana Khairil sepertinya ingin mengungkapkan satu hal penting: penyesalan akan masa lalu terkadang membuat kita melupakan kehidupan yang sedang kita jalani. Kita lupa bahwa kehidupan tidak berjalan mundur atau berjalan di tempat. Penyesalan sering membuat kita tidak realistis menghadapi hidup. Meniadakan orang-orang di sekitar kita untuk sesuatu yang telah tiada. Novel ini juga dapat menjadi pengingat bagi pembaca akan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menghadapi sebuah kehilangan. Saat seorang perempuan terus-menerus menangis mungkin itulah cara penyembuhannya. Sebaliknya bila seorang lelaki terlihat tegar, belum tentu dia tidak terluka.

Gaya bahasa dan cerita yang mengalir membuat novel ini tidak membosankan. Beberapa kalimat bisa menyentuh dan membawa pencerahan. Simaklah: menjadi bahagia bukan bagaimana bisa tersenyum. Tapi bagaimana bisa menerima dengan hati lapang (halaman 113). Novel ini menjadi unik dengan kutipan romantis yang mengawali setiap bagian cerita. Selain mewakili greget kisah pada setiap episode, kutipan-kutipan itu juga membawa gelitik tersendiri bagi pembaca.

Catatan:
Resensi ini ditulis untuk Lomba Resensi Novel Rindu 
Nilai 7 untuk novel ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar