Judul Buku : Tikuse
Pada Ngidung
Penulis : Mohamad
Sobary
Penerbit : DIVA
Press (Anggota IKAPI)
Halaman : 290
ISBN : 9786024247409
Cetakan I :
Februari 2018
Berbagai cara telah dilakukan KPK untuk mencegah serta
memberantas korupsi. Tak kurang memberi kesempatan kepada para seniman untuk
turut mengkritik atau menyindir lewat karya mereka—karikatur, grafiti, puisi,
hingga pementasan monolog maupun drama. Faktanya, tren korupsi tak juga
menurun. Miris rasanya melihat para koruptor masih dapat menebar senyum sembari
melambai di depan kamera TV. Rompi oranye yang dipakaikan pada mereka bahkan
tak sedikit pun memberi efek malu, tak juga efek takut bagi yang lain. Mungkin
para koruptor memang orang bebal tanpa hati nurani. Mungkin pula kritik,
termasuk yang disampaikan oleh para seniman itu, terlalu halus. Kurang tajam
menohok.
Keprihatinan serupa dipaparkan oleh Mohamad Sobary
dalam esai “Tikuse Pada Ngidung” sebagai tanggapan atas pementasan lakon
teater “Pesta Para Pencuri” pada Juli 2017. Lakon yang ditujukan untuk
menyindir para koruptor ini dianggap kurang mengena. Menurut Kang Sobary,
idealnya cerita diolah lebih nakal tanpa tanggung-tanggung. Misalnya, pentas
digelar di gedung Kejaksaan Agung, Mabes Polri, atau Gedung MPR/DPR, dan dengan
mengundang para pejabat. Sajian cerita harus menggigit, karena kenakalan pihak
yang hendak disindir sudah keterlaluan. “… dan di negeri ini kritik
hendaknya landepe pitung penyukur, ketajamannya setara tujuh silet digabung
menjadi satu—agar terasa oleh pihak yang dikritik….” (hal. 4)
Dalam esai tersebut Kang Sobari mengupas bait
Dandanggula (tembang Jawa) karya Ki Ranggawarsita (1802-1873) dua abad lalu.
Dalam tembang yang dianggap masih sangat relevan hingga kini, sang pujangga
menulis: Tikuse pada ngidung/Kucing gering kang njagani. Tikus-tikus
berkidung mewakili para koruptor yang menyanyi jejingkrakan: tak merasa malu,
tak pernah merasa hina dina. Mereka selalu berusaha menyerang dan memperlemah
lembaga yang mengawasi solah-tingkah mereka. Metafora tikuse pada ngidung ini
lebih simbolis dibandingkan para pencuri yang berpesta pora. Kucing gering kang
njagani, kucing sakit-sakitan tak berdaya, dan tak pernah berani menerkam
si tikus. (hal. 6)
Tikuse Pada Ngidung menjadi esai pembuka pada bagian pertama buku kumpulan esai Mohamad Sobary
berjudul sama. Buku ini memuat tak kurang dari 50 esai yang dikelompokkan
menjadi empat bagian. Bagian Pertama mengangkat tema Moral dan Dunia Politik;
Bagian II bertema Makna Revolusi Mental; Bagian III bertema Dari Dunia Kaum
Tani; dan bagian terakhir berisi esai-esai bertema Kebudayaan, Seni, dan
Rohani. Keseluruhan esai ditulis dengan cara bertutur yang menggelitik, khas
ala Mohamad Sobary.
Dalam sepotong esai bertema Revolusi Mental, pembaca
diajak introspeksi bahwa sudah semestinya seorang pemimpin melayani. Pemimpin
yang merasa dirinya sebagai tuan harus berbalik menjadi pelayan bagi rakyat.
Inilah hakikat revolusi mental yang sesungguhnya. Pemahaman ini penting, agar
revolusi mental yang digaungkan dari waktu ke waktu bukan sebatas wacana. Bagi
para pemimpin, revolusi mental menanggung tugas melunasi hutang kepada rakyat.
Bagaimanapun rakyat memiliki hak konstitusi untuk dibikin makmur—demikian tulis
Kang Sobary—dan pemerintah melayani kebutuhan; memakmurkan rakyat tersebut. Membayar
utang itu kini merupakan kewajiban pemimpin yang menyadari bahwa memimpin bukan
sekadar dilakukan dengan omong dan memberi janji berupa kata-kata, tetapi
melayani dengan tindakan nyata untuk membikin rakyat merasa punya pemimpin. (hal.
61). Namun, revolusi mental juga bukan semata tentang pemimpin, melainkan juga
seluruh elemen bangsa. Bukan hanya tentang kemakmuran, tetapi juga
nasionalisme; bagaimana semestinya mencintai bumi pertiwi; perjuangan tanpa
teror; dan juga pendidikan yang ideal.
Beranjak dari topik revolusi mental, pembaca dapat
menyimak sudut pandang seorang Mohamad Sobary terkait elemen terpenting negara
agraris, yaitu petani. Dalam topik Dunia Kaum Tani, utamanya ditampilkan
esai-esai terkait jejak perjuangan petani melawan teror, sejak era kolonialisme
Belanda hingga era reformasi. Bukan teror hama, melainkan teror kebijakan
pemerintah yang dinilai mengancam hidup petani—pembebanan pajak berlebihan,
penguasaan tanah, penerapan regulasi/UU, dsb. Esai-esai Kang Sobary menegaskan
bahwa perlawanan kelompok “wong cilik” ini suatu kewajaran. Bagaimanapun, dasar
perlawanannya adalah demi mempertahankan kelangsungan hidup. Mereka
menghormati pemerintah. Mereka menghormati kebijakan. Namun, jika kebijakan
membuat nasib mereka terancam, apa boleh buat selain melawan. Bagi mereka,
dalam urusan ini, melawan merupakan panggilan hidup untuk mempertahankan
kelangsungan hidup itu sendiri. (hal. 125)
Tak berbeda dengan tema-tema lain, Kang Sobary pun
jeli mengulik berbagai persoalan terkait kebudayaan, seni, dan rohani. Esais
yang peduli keberagaman Indonesia ini tetap netral dan berpijak hanya pada
kebenaran. Ia tak segan mengupas fenomena kerusuhan berlatar agama; atau
pergeseran iman dan agama menjadi barang dagangan, di mana rohaniwan tak lagi
hidup seturut khotbah-khotbahnya; dan tentang demokrasi yang justru mempersulit
hidup. Bagian ini juga menyadarkan pembaca betapa perlunya memaknai kebudayaan
secara lebih mendalam, karena kebudayaan dengan segala aspeknya adalah
representasi kehidupan manusia.
Tuturan Kang Sobary dalam setiap esai relatif kental
dengan kritik serta gagasan yang mampu merombak cara berpikir pembaca.
Alih-alih memprovokasi, dengan tuturan bergaya metaforis atau analogi, sang
esais berupaya menggugah kesadaran pembaca. Alhasil, pembaca dapat menarik
suatu pesan moral yang membawanya pada sudut pandang baru, yang lebih cerdas
dan kritis membaca serta menilai setiap persoalan dalam kehidupan berbangsa.
Tetap menjaga akal sehat, tidak gampang termakan hoax, dan setia memihak
kebenaran.
Depok, 18 April 2018
Note:
Resensi ini adalah versi original untuk tulisan saya
yang telah dimuat di Kolom Perada, Koran Jakarta Edisi Kamis, 24 April 2018. Baca
versi daringnya lewat tautan berikut ini Meski Dikritik, Koruptor Tetap Berdendang