Sabtu, 06 Desember 2008

Walau Tidak Sempurna, Hidup ini Indah



Judul Buku   : Filosofi Kopi
Penulis        : Dee Lestari
Penerbit      : Truedee Books & GagasMedia
Halaman      : xii + 13
ISBN           : 9789799625731
Cetakan I     :Februari 2006

Bagi saya yang setiap pagi rutin meneguk secangkir kopi, magnet pertama dari kumpulan cerita dan prosa ini adalah judulnya: FILOSOFI KOPI.

Sepanjang saya tahu, biji tanaman yang berasal dari Timur Tengah ini hanya menjadi topik menarik bila terkait dengan dunia kuliner atau kesehatan. Tidak sedikit artikel tentang kopi dimuat di majalah kesehatan, kuliner, wanita, hingga majalah keluarga. Artikel berisi peringatan bahaya, iming-iming kenikmatan, sampai manfaat kopi sudah sering saya baca. Di benak sering terngiang-ngiang beberapa kalimat yang bahkan terasa kontradiktif. Simak saja! Hindarkan mengkonsumsi obat tertentu dengan kopi karena kafein dalam kopi dapat meningkatkan efek samping. Minum 1-2 cangkir kopi membantu kesiagaan. Hasil penelitian di Jepang menemukan adanya manfaat mengkonsumsi 3-4 cangkir kopi per hari bagi penurunan risiko kanker hati. 

Topik lain berkait dengan kopi yang menarik adalah musik dan bisnis. Kenikmatan dan semangat yang dipompakan oleh sensasi aroma kopi ditawarkan lewat iklan-iklan berlatar dunia musik. Seseorang yang mentok dalam berkarya, hidup kembali oleh kopi. Kafe-kafe kopi modern bertebaran di ibu kota. Banyak perjanjian bisnis disepakati di kafe-kafe bergengsi itu. Terobosan lain adalah kolaborasi kopi dengan dunia perbankan. Penggemar kopi berduit mana yang tidak tertarik dengan fasilitas coffee banking­—alias ngopi di bank, yaitu menikmati kopi sambil melakukan berbagai transaksi perbankan (aplikasi, setor, kliring, dan sebagainya). 

Mengaitkan kopi dengan filosofi? Rasanya baru sekali ini saya temukan! Sang penulis adalah Dee, sarjana HI UNPAR kelahiran Bandung 20 Januari 1976 ini, memang cukup jeli melihat sisi lain dari secangkir kopi. Seperti halnya istilah kopi tubruk bagi para pecinta kopi, tentunya Dee—yang bernama asli Dewi Lestari juga sangat familiar bagi pecinta buku. Novel serial pertamanya, mulai Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (TrueDee Books, 2001), disusul Supernova: Akar, hingga Supernova: Petir, laris di pasaran. Dua seri pertama serial tersebut sempat menjadi nominasi dalam Khatulistiwa Literary Award. Dan, serial tersebut sudah di-realese dalam edisi bahasa Inggris. Kehadiran Dee dengan serial bernuansa sains yang fenomenal itu bahkan sempat mengguncang dunia sastra Indonesia. Debat pro dan kontra memakan waktu cukup panjang.

Filosofi Kopi adalah kumpulan cerita dan prosa karya Dee sepanjang 1995-2005. Satu dekade. Waktu yang tidak sebentar. Penerbitan buku ini seolah-olah menegaskan bahwa Dee memang bukan penulis karbitan. Cerpen Filosofi Kopi sendiri ternyata bahkan ditulis Dee di tahun 1996, jauh sebelum 3 buku Supernova lahir. Cerpen Sikat Gigi hadir di CyberSastra pada edisi April 2001 dan konon sebelumnya telah dimuat di buletin seni Bandung Jendela Newsletter

Seperti pengakuannya pula bahwa dia bukan tiba-tiba saja menulis—bukan kesurupan saat dia menulis novel pertamanya. Karena baginya, menulis adalah sebuah karir panjang yang berjalan paralel bersama karir musik—yang lebih dulu diketahui dan diakui masyarakat. Dalam pengantarnya, Goenawan Mohamad menyebut Dee sebagai tangkisan. Bahwa Dee adalah sebuah tangkisan, bukti bahwa cemooh terhadap karya-karya penulis perempuan sebagai “sastrawangi”—adalah tidak adil. (hlm. v). Membaca Filosofi Kopi mengukuhkan pengakuan akan seorang Dee sebagai penulis berkelas. FK mampu menarik kita sejenak dari dunia ramai untuk merenungkan hidup, tanpa kita sadari.

Ben—dalam cerpen Filosofi Kopi—digambarkan sebagai seorang penggila kopi terobsesi oleh kenikmatan kopi. Obsesi itu membawanya menjadi seorang barista—peramu kopi terandal di Jakarta. Jody, sahabat terdekatnya menyediakan diri sebagai pemodal dan partner bisnis untuk membuka kedai kopi. Bukan sembarang kedai kopi, tapi Kedai Koffie Ben & Jody yang idealis dan berkelas. Kedai kopi yangmenawarkan racikan dan pengalaman ngopi tak terlupakan. Ben tidak sekedar meramu, meng ecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. (Filosofi Kopi, hlm. 4). Bagi penggemar kopi tubruk Ben memberikan filosofi: lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Pengunjung kedai adalah penggemar kopi sejati yang mengerti benar kenikmatan secangkir kopi. Filosofi yang dikonsepkan oleh Ben menambah ketertarikan dan kecintaan mereka akan kopi sekaligus kedai Ben—yang kemudian bernama Filosofi Kopi. Lalu muncul ide sangat jitu: menambahkan deskripsi filosofi setiap ramuan pada daftar menu! Setiap pengunjung mendapat kenangan selembar kartu kecil, yang menjelaskan filosofis dari kopi yang mereka nikmati hari itu. 

Terobosan Ben menjadikan kedainya sebagai magnet baru di metropolitan. Obsesinya untuk mencipta ramuan terbaik dengan filosofi-filosofi baru terus berkembang. Hingga suatu ketika datang seorang berduit yang menantangnya membuat racikan kopi sempurna. Taruhannya? Selembar cek bernilai 50 juta rupiah. Lalu Ben menjadi “gila”! Dan seperti seorang profesor di laboratoriumnya, dia bereksperimen menciptakan ramuan-ramuan kopi untuk melahirkan “kopi sempurna” bernilai 50 juta rupiah. Kerja kerasnya membuahkan hasil.

Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, ‘Hidup ini sempurna.’ 

Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak. Pria itu mengeluarkan selembar cek. ‘Selamat. Kopi ini perfect. Sempurna.’ 

Sebagai ganti, Ben memberikan kartu Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: BEN’S PERFECTO. Artinya: Sukses adalah Kesempurnaan Hidup. (Filosofi Kopi, hlm. 13).

Namun, ternyata kesuksesan Ben bukanlah klimaks dari cerpen ini. Karena selang beberapa waktu datang seorang tamu—pelanggan baru, yang membuat Ben hilang kesabaran. Pasalnya, tamu itu begitu biasa menanggapi kopi paling perfect yang pernah diraciknya. 

Dialog antara Ben dan tamunya (hlm. 16-17) yang diciptakan Dee terasa natural. Dialog yang bagai cermin terang yang memantulkan keseharian kita. Dialog itu mungkin saja kita alami, atau justru sering terjadi saat ego, kepercayaan diri, atau image sempurna kita diremehkan atau dikoyak orang lain.

Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias,’Bagaimana, Pak?’
Bapak itu mendongak. ‘Apanya?’
‘Ya, kopinya.’
Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk, ‘Lumayan,’ jawabnya singkat lalu terus membaca.
‘Lumayan bagaimana?’ Ben mulai terusik.
‘Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik,’ ia membalas.
‘Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi yang paling enak di dunia.’ Aku tidak tahan untuk tidak menjelaskan.
‘Yang bener toh? Masa iya?’ Seperti mendengar lelucon bapak itu malah tertawa kecil.
Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. ‘Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!’
‘Memangnya bapak pernah coba yang lebih enak dari ini?’ Ben bertanya dengan otot-otot muka ditarik.
Tambah panik, bapak itu terkekeh-kekeh, ‘Tapi ndak jauhlah dengan yang Adik bikin.’
‘Tapi tetap lebih enak, kan?’ Suara Ben terus meninggi.
Jakun bapak itu bergerak gugup, ia melirikku, melirik Ben, dan akhirnya menggangguk.
‘Di mana Bapak coba kopi itu?’
‘Tapi... tapi... ndak jauh kok enaknya! Bedanya sedikiiit... sekali!’
Usahanya untuk menghibur malah memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggil Ben, tapi tidak digubris sama sekali. Kaki Ben tertanam di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.
‘Di mana?’
‘Wah. Jauh tempatnya, Dik.’
‘DI-MA-NA?’
Dari informasi sang tamu, Ben memaksa Jody mengikutinya. Lalu, petualangan menemukan “kopi enak” oleh barista yang tengah kesetanan itu pun dimulai. Mereka terdampar di sebuah dusun kecil. Kopi enak seperti apa yang mereka temukan di sana? Bagaimana dusun kecil (oleh Dee digambarkan berlokasi di sekitar Klaten-Jawa Tengah) itu membawa titik balik bagi Ben? Pengalaman apa yang membuat Ben bahkan merasa hina memegang lembaran cek bernilai 50 juta rupiah hasil kemenangannya, yang membuat Ben tersadar bahwa semua filosofi rancangannya yang digembar-gemborkan pada semua pelanggan kedainya hanyalah kegombalan, yang membuat Ben memutuskan pensiun sebagai peramu kopi??

Dee begitu lugas membawa siapa pun, ke dalam “dunia sang barista”. Seolah-olah Dee sendirilah barista itu. Karakter berbagai jenis kopi (kopi tubruk, cafe latte, dan cappuccino) ditampilkan jelas. Setting bar dengan segala peralatannya juga aksi seorang peramu kopi digambarkan Dee dengan baik, hingga orang yang hanya biasa menikmati kopi sachet atau kopi tubruk di rumah dapat dengan mudah membayangkan secangkir kopi ala kafe. 

Klimaks dan antiklimaks dalam cerpen FK seru. Kita boleh tercengang ketika akhirnya lembaran cek 50 juta rupiah itu kelak hanya menjadi penghuni bagian bawah tumpukan baju di lemari pakaian Pak Seno—seorang desa bersahaja. Filosofi-filosofi yang ditawarkan Dee juga menggugah dan menyadarkan. Terutama filosofi Kopi Tiwus yang dalam. “Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya” (Filosofi Kopi, hlm. 27). Bahwa seseorang bisa saja kehilangan cinta dan persahabatan hanya karena obsesi kesempurnaan yang ingin dicapai. Ego, uang, dan profit, bisa saja mengaburkan mata hati kita. 

Lengkapnya, kumpulan ini memuat tidak kurang dari 18 judul cerpen maupun prosa. Menurut saya, semua tulisan dalam buku ini menarik sekaligus menggelitik. Hal-hal sederhana yang selama ini mungkin tak terpikirkan menjadi cerpen dan prosa apik di ujung pena seorang Dee. Kopi, surat, lilin, kecoa, meja, sikat gigi, jembatan, atau sekedar nama Herman. Semua terurai menjadi tulisan yang begitu enak dinikmati. Selain cerpen FK sebagai pembuka, cerpen atau prosa dalam kumpulan ini antara lain: Mencari Herman (2004), Surat Yang Tak Pernah Sampai (2001), Sikat Gigi (1999), dan Cuaca (1998). Di akhir kumpulan ini dapat ditemukan cerpen satir Rico de Coro (1995), yang juga sudah pernah dipublikasikan. Cerita tentang cinta sampai mati seekor kecoa (coro, bahasa Jawa) pada seorang gadis cantik bernama Sarah. Dalam cerpen ini lahir dialog-dialog dunia kecoa yang tak jauh beda dengan dunia manusia. Dalam diri binatang jelek, kecil, item, yang selalu dianggap jorok oleh manusia itu, entah bagaimana saya menangkap gambaran karakter-karakter manusia sendiri. Keangkuhan, ketakutan, kemelut, tahta, kebencian, balas dendam, dan cinta yang terkadang buta. Kabarnya, cerpen ini akan diproduksi sebagai film animasi oleh sebuah Rumah Produksi. 

Jika kita mau terbuka, setiap cerpen dan prosa dalam kumpulan ini mengantarkan aroma filosofi yang memberikan inspirasi dan menyadarkan kita akan berbagai sudut kehidupan. Pengelolaan rasa percaya diri, menilai orang lain, menanggapi masalah, atau bahkan sekedar melihat siapa diri kita. Sekedar inspirasi dan bukan menggurui!

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya. … Setiap jenjang kehidupan memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. ... Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkannya? (Jembatan Zaman, hlm. 67-68). 

Namun, bagaimana merefleksikan semua toh akan kembali kepada keinginan pembaca. Ingin refleksi mendalam melalui permenungan, refleksi dalam diskusi seru sambil ngopi bersama, atau sekedar puas membaui seperti laiknya pemula menghirup aroma secangkir kopi.

Saya setuju jika pemikat tulisan Dee—penyabet anugerah A Playfull Mind Award tahun 2003, adalah ritme kalimat. Membaca kumpulan ini tidak perlu harus tahu filsafat atau menjadi filsuf. Hanya dibutuhkan kepekaan rasa bak penikmat kopi. Bahkan untuk mereka yang hanya pernah mencium aroma kopi. Namun, walau oleh Goenawan tulisan Dee dikatakan tidak ruwet, bahkan terang benderang, ternyata bagi pecinta buku yang terbiasa dengan bacaan ringan, beberapa kalimat Dee agak susah dicerna. Simak saja Cetak Biru di halaman 99-100 ini: 

“Sewujud bangunan hadir di setiap kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. Satu demi satu batu mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat. Lalu bangunan itu dilengkapi dan digenapi, sampai lahirlah utuh ke dunia materi. ... .

Jadi, sah-sah saja kalau perlu satu dua kali lagi membaca ulang bagian-bagian tertentu.

Akhirnya, seperti pengakuan Dee (hlm. ix) cinta yang bertransformasi menjadi pilihannya secara khusus. Cinta antarinsan—termasuk perselingkuhan dan cinta sejenis, cinta akan kopi, juga cinta si kecoak. Kumpulan cerita ini menggambarkan proses transformasi cinta dari sekadar kumpulan emosi menjadi sebuah eksistensi. Dan, pengantar serta komentar seorang Goenawan Mohamad, komentar Arswendo Atmowiloto, Manneke Budiman, dan FX Rudy Gunawan, sepertinya menjadi guarantie tersendiri saat hendak memutuskan untuk mengambil Filosofi Kopi dari rak buku.  Guarantie berikutnya... nama Dee, mungkin saja!


Kalimalang, Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar