Judul Buku : Filosofi
Kopi
Penulis : Dee
Lestari
Penerbit : Truedee
Books & GagasMedia
Halaman : xii + 13
ISBN : 9789799625731
Cetakan I :Februari
2006
Bagi saya yang setiap pagi rutin meneguk secangkir kopi,
magnet pertama dari kumpulan cerita dan prosa ini adalah judulnya: FILOSOFI KOPI.
Sepanjang saya tahu, biji tanaman yang berasal dari Timur Tengah ini hanya menjadi topik
menarik bila terkait dengan dunia kuliner atau kesehatan. Tidak sedikit artikel
tentang kopi dimuat di majalah kesehatan, kuliner, wanita, hingga majalah
keluarga. Artikel berisi peringatan bahaya, iming-iming kenikmatan, sampai
manfaat kopi sudah sering saya baca. Di benak sering terngiang-ngiang beberapa kalimat
yang bahkan terasa kontradiktif. Simak saja! Hindarkan mengkonsumsi obat
tertentu dengan kopi karena kafein dalam kopi dapat meningkatkan efek samping.
Minum 1-2 cangkir kopi membantu kesiagaan. Hasil penelitian di Jepang menemukan
adanya manfaat mengkonsumsi 3-4 cangkir kopi per hari bagi penurunan risiko
kanker hati.
Topik lain berkait dengan kopi yang menarik adalah
musik dan bisnis. Kenikmatan dan semangat yang dipompakan oleh sensasi aroma
kopi ditawarkan lewat iklan-iklan berlatar dunia musik. Seseorang yang mentok
dalam berkarya, hidup kembali oleh kopi. Kafe-kafe kopi modern bertebaran di
ibu kota. Banyak perjanjian bisnis disepakati di kafe-kafe bergengsi itu.
Terobosan lain adalah kolaborasi kopi dengan dunia perbankan. Penggemar kopi
berduit mana yang tidak tertarik dengan fasilitas coffee banking—alias ngopi
di bank, yaitu menikmati kopi sambil melakukan berbagai transaksi perbankan
(aplikasi, setor, kliring, dan sebagainya).
Mengaitkan kopi dengan filosofi? Rasanya baru
sekali ini saya temukan! Sang penulis adalah Dee, sarjana HI UNPAR kelahiran
Bandung 20 Januari 1976 ini, memang cukup jeli melihat sisi lain dari secangkir
kopi. Seperti halnya istilah kopi tubruk bagi para pecinta kopi, tentunya
Dee—yang bernama asli Dewi Lestari juga sangat familiar bagi pecinta buku.
Novel serial pertamanya, mulai Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
(TrueDee Books, 2001), disusul Supernova: Akar, hingga Supernova: Petir, laris
di pasaran. Dua seri pertama serial tersebut sempat menjadi nominasi dalam
Khatulistiwa Literary Award. Dan, serial tersebut sudah di-realese dalam edisi
bahasa Inggris. Kehadiran Dee dengan serial bernuansa sains yang fenomenal itu
bahkan sempat mengguncang dunia sastra Indonesia. Debat pro dan kontra memakan
waktu cukup panjang.
Filosofi Kopi adalah kumpulan cerita dan
prosa karya Dee sepanjang 1995-2005. Satu dekade. Waktu yang tidak sebentar.
Penerbitan buku ini seolah-olah menegaskan bahwa Dee memang bukan penulis karbitan. Cerpen
Filosofi Kopi sendiri ternyata bahkan ditulis Dee di tahun 1996, jauh sebelum 3
buku Supernova lahir. Cerpen Sikat Gigi hadir di CyberSastra pada edisi
April 2001 dan konon sebelumnya telah dimuat di buletin seni Bandung Jendela
Newsletter.
Seperti pengakuannya pula bahwa dia bukan tiba-tiba saja
menulis—bukan kesurupan saat dia menulis novel pertamanya. Karena baginya,
menulis adalah sebuah karir panjang yang berjalan paralel bersama karir
musik—yang lebih dulu diketahui dan diakui masyarakat. Dalam pengantarnya,
Goenawan Mohamad menyebut Dee sebagai tangkisan. Bahwa Dee adalah sebuah
tangkisan, bukti bahwa cemooh terhadap karya-karya penulis perempuan sebagai
“sastrawangi”—adalah tidak adil. (hlm. v). Membaca Filosofi Kopi mengukuhkan
pengakuan akan seorang Dee sebagai penulis berkelas. FK mampu menarik kita
sejenak dari dunia ramai untuk merenungkan hidup, tanpa kita sadari.
Ben—dalam cerpen Filosofi
Kopi—digambarkan sebagai seorang penggila kopi terobsesi oleh kenikmatan kopi.
Obsesi itu membawanya menjadi seorang barista—peramu kopi terandal di Jakarta.
Jody, sahabat terdekatnya menyediakan diri sebagai pemodal dan partner bisnis
untuk membuka kedai kopi. Bukan sembarang kedai kopi, tapi Kedai Koffie Ben
& Jody yang idealis dan berkelas. Kedai kopi yangmenawarkan racikan dan
pengalaman ngopi tak terlupakan. Ben tidak sekedar meramu, meng ecap rasa, tapi
juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga
terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. (Filosofi Kopi, hlm.
4). Bagi penggemar kopi tubruk Ben memberikan filosofi: lugu, sederhana, tapi
sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Pengunjung kedai adalah
penggemar kopi sejati yang mengerti benar kenikmatan secangkir kopi. Filosofi
yang dikonsepkan oleh Ben menambah ketertarikan dan kecintaan mereka akan kopi
sekaligus kedai Ben—yang kemudian bernama Filosofi Kopi. Lalu muncul ide sangat
jitu: menambahkan deskripsi filosofi setiap ramuan pada daftar menu! Setiap
pengunjung mendapat kenangan selembar kartu kecil, yang menjelaskan filosofis
dari kopi yang mereka nikmati hari itu.
Terobosan Ben menjadikan kedainya
sebagai magnet baru di metropolitan. Obsesinya untuk mencipta ramuan terbaik
dengan filosofi-filosofi baru terus berkembang. Hingga suatu ketika datang
seorang berduit yang menantangnya membuat racikan kopi sempurna. Taruhannya?
Selembar cek bernilai 50 juta rupiah. Lalu Ben menjadi “gila”! Dan seperti
seorang profesor di laboratoriumnya, dia bereksperimen menciptakan
ramuan-ramuan kopi untuk melahirkan “kopi sempurna” bernilai 50 juta rupiah.
Kerja kerasnya membuahkan hasil.
Pria itu menyeruput, menahan napas,
kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, ‘Hidup ini sempurna.’
Kedai mungil kami gegap gempita. Semua
orang bersorak. Pria itu mengeluarkan selembar cek. ‘Selamat. Kopi ini perfect.
Sempurna.’
Sebagai ganti, Ben memberikan kartu
Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan: KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: BEN’S
PERFECTO. Artinya: Sukses adalah Kesempurnaan Hidup. (Filosofi Kopi, hlm. 13).
Namun, ternyata kesuksesan
Ben bukanlah klimaks dari cerpen ini. Karena selang beberapa waktu datang
seorang tamu—pelanggan baru, yang membuat Ben hilang kesabaran. Pasalnya, tamu
itu begitu biasa menanggapi kopi paling perfect yang pernah diraciknya.
Dialog antara Ben dan tamunya (hlm. 16-17) yang
diciptakan Dee terasa natural. Dialog yang bagai cermin terang yang memantulkan
keseharian kita. Dialog itu mungkin saja kita alami, atau justru sering terjadi
saat ego, kepercayaan diri, atau image sempurna kita diremehkan atau dikoyak
orang lain.
Setelah meminum seteguk, bapak itu
meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias,’Bagaimana,
Pak?’
Bapak itu mendongak. ‘Apanya?’
‘Ya, kopinya.’
Dengan ekspresi sopan, bapak itu
mengangguk-angguk, ‘Lumayan,’ jawabnya singkat lalu terus membaca.
‘Lumayan bagaimana?’ Ben mulai terusik.
‘Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik,’
ia membalas.
‘Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi
yang paling enak di dunia.’ Aku tidak tahan untuk tidak menjelaskan.
‘Yang bener toh? Masa iya?’ Seperti
mendengar lelucon bapak itu malah tertawa kecil.
Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami
itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. ‘Aku bercanda kok, Dik.
Kopinya uenak, uenak! Sungguh!’
‘Memangnya bapak pernah coba yang lebih
enak dari ini?’ Ben bertanya dengan otot-otot muka ditarik.
Tambah panik, bapak itu terkekeh-kekeh,
‘Tapi ndak jauhlah dengan yang Adik bikin.’
‘Tapi tetap lebih enak, kan?’ Suara Ben
terus meninggi.
Jakun bapak itu bergerak gugup, ia
melirikku, melirik Ben, dan akhirnya menggangguk.
‘Di mana Bapak coba kopi itu?’
‘Tapi... tapi... ndak jauh kok enaknya!
Bedanya sedikiiit... sekali!’
Usahanya untuk menghibur malah
memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggil Ben, tapi tidak digubris
sama sekali. Kaki Ben tertanam di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada
bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.
‘Di mana?’
‘Wah. Jauh tempatnya, Dik.’
‘DI-MA-NA?’
Dari informasi sang tamu, Ben memaksa
Jody mengikutinya. Lalu, petualangan menemukan “kopi enak” oleh barista yang
tengah kesetanan itu pun dimulai. Mereka terdampar di sebuah dusun kecil. Kopi
enak seperti apa yang mereka temukan di sana? Bagaimana dusun kecil (oleh Dee
digambarkan berlokasi di sekitar Klaten-Jawa Tengah) itu membawa titik balik
bagi Ben? Pengalaman apa yang membuat Ben bahkan merasa hina memegang lembaran
cek bernilai 50 juta rupiah hasil kemenangannya, yang membuat Ben tersadar
bahwa semua filosofi rancangannya yang digembar-gemborkan pada semua pelanggan
kedainya hanyalah kegombalan, yang membuat Ben memutuskan pensiun sebagai
peramu kopi??
Dee begitu lugas membawa siapa pun, ke dalam “dunia
sang barista”. Seolah-olah Dee sendirilah barista itu. Karakter berbagai jenis
kopi (kopi tubruk, cafe latte, dan cappuccino) ditampilkan jelas. Setting bar
dengan segala peralatannya juga aksi seorang peramu kopi digambarkan Dee dengan
baik, hingga orang yang hanya biasa menikmati kopi sachet atau kopi tubruk di
rumah dapat dengan mudah membayangkan secangkir kopi ala kafe.
Klimaks dan
antiklimaks dalam cerpen FK seru. Kita boleh tercengang ketika akhirnya
lembaran cek 50 juta rupiah itu kelak hanya menjadi penghuni bagian bawah
tumpukan baju di lemari pakaian Pak Seno—seorang desa bersahaja.
Filosofi-filosofi yang ditawarkan Dee juga menggugah dan menyadarkan. Terutama
filosofi Kopi Tiwus yang dalam. “Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah
begini adanya” (Filosofi Kopi, hlm. 27). Bahwa seseorang bisa saja kehilangan
cinta dan persahabatan hanya karena obsesi kesempurnaan yang ingin dicapai.
Ego, uang, dan profit, bisa saja mengaburkan mata hati kita.
Lengkapnya, kumpulan ini memuat tidak kurang dari 18
judul cerpen maupun prosa. Menurut saya, semua tulisan dalam buku ini menarik
sekaligus menggelitik. Hal-hal sederhana yang selama ini mungkin tak
terpikirkan menjadi cerpen dan prosa apik di ujung pena seorang Dee. Kopi,
surat, lilin, kecoa, meja, sikat gigi, jembatan, atau sekedar nama Herman.
Semua terurai menjadi tulisan yang begitu enak dinikmati. Selain cerpen FK
sebagai pembuka, cerpen atau prosa dalam kumpulan ini antara lain: Mencari
Herman (2004), Surat Yang Tak Pernah Sampai (2001), Sikat Gigi (1999), dan
Cuaca (1998). Di akhir kumpulan ini dapat ditemukan cerpen satir Rico de Coro
(1995), yang juga sudah pernah dipublikasikan. Cerita tentang cinta sampai mati
seekor kecoa (coro, bahasa Jawa) pada seorang gadis cantik bernama Sarah. Dalam
cerpen ini lahir dialog-dialog dunia kecoa yang tak jauh beda dengan dunia
manusia. Dalam diri binatang jelek, kecil, item, yang selalu dianggap jorok
oleh manusia itu, entah bagaimana saya menangkap gambaran karakter-karakter
manusia sendiri. Keangkuhan, ketakutan, kemelut, tahta, kebencian, balas
dendam, dan cinta yang terkadang buta. Kabarnya, cerpen ini akan diproduksi
sebagai film animasi oleh sebuah Rumah Produksi.
Jika kita mau terbuka, setiap cerpen dan prosa dalam
kumpulan ini mengantarkan aroma filosofi yang memberikan inspirasi dan
menyadarkan kita akan berbagai sudut kehidupan. Pengelolaan rasa percaya diri,
menilai orang lain, menanggapi masalah, atau bahkan sekedar melihat siapa diri
kita. Sekedar inspirasi dan bukan menggurui!
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham
segalanya. … Setiap jenjang kehidupan memiliki dunia sendiri, yang selalu
dilupakan ketika umur bertambah tinggi. ... Dapatkah kita kembali mengerti apa
yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring
dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkannya? (Jembatan Zaman, hlm.
67-68).
Namun, bagaimana merefleksikan semua toh akan kembali
kepada keinginan pembaca. Ingin refleksi mendalam melalui permenungan, refleksi
dalam diskusi seru sambil ngopi bersama, atau sekedar puas membaui seperti
laiknya pemula menghirup aroma secangkir kopi.
Saya setuju jika pemikat tulisan Dee—penyabet anugerah
A Playfull Mind Award tahun 2003, adalah ritme kalimat. Membaca kumpulan
ini tidak perlu harus tahu filsafat atau menjadi filsuf. Hanya dibutuhkan kepekaan
rasa bak penikmat kopi. Bahkan untuk mereka yang hanya pernah mencium aroma
kopi. Namun, walau oleh Goenawan tulisan Dee dikatakan tidak ruwet, bahkan
terang benderang, ternyata bagi pecinta buku yang terbiasa dengan bacaan
ringan, beberapa kalimat Dee agak susah dicerna. Simak saja Cetak Biru di
halaman 99-100 ini:
“Sewujud bangunan hadir di setiap
kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. Satu demi satu batu
mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat.
Lalu bangunan itu dilengkapi dan digenapi, sampai lahirlah utuh ke dunia
materi. ... .
Jadi, sah-sah saja kalau perlu satu dua kali lagi
membaca ulang bagian-bagian tertentu.
Akhirnya, seperti pengakuan Dee (hlm. ix) cinta yang
bertransformasi menjadi pilihannya secara khusus. Cinta antarinsan—termasuk
perselingkuhan dan cinta sejenis, cinta akan kopi, juga cinta si kecoak.
Kumpulan cerita ini menggambarkan proses transformasi cinta dari sekadar
kumpulan emosi menjadi sebuah eksistensi. Dan, pengantar serta komentar seorang
Goenawan Mohamad, komentar Arswendo Atmowiloto, Manneke Budiman, dan FX Rudy
Gunawan, sepertinya menjadi guarantie tersendiri saat hendak memutuskan untuk
mengambil Filosofi Kopi dari rak buku. Guarantie berikutnya... nama Dee,
mungkin saja!
Kalimalang, Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar