Judul Buku : City of Joy (Negeri Bahagia)
Penulis : Dominique Lapierre
Penerjemah : Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang Pustaka
Halaman : xv+799
ISBN : 979-3062-31-2
Tahun terbit : Juli 2007
Novel epik ini bercerita tentang kehidupan pahit kaum urban di Calcutta. Sebuah kota yang yang berpenduduk sangat padat ini kubayangkan lebih semrawut dari Jakarta.
Namun, di kota itulah seorang biarawan
merelakan diri hidup bersama sekelompok kaum papa di daerah kumuh bernama
Negeri Bahagia. Meskipun bernama Negeri Bahagia, sejatinya wilayah tersebut adalah
sebuah slum area khas kota-kota di
negara berkembang. Lengkap dengan segala aroma anyir keringat pekerja keras,
jerit tangis sekaligus tawa pahit bayi dan anak-anak kekurangan gizi, serta
berbagai penyakit yang dihinakan.
Jika mau, sang biarawan sebenarnya bisa tinggal di pasturan gereja yang nyaman dan hanya datang sesekali saja untuk memberikan pelayanan. Namun, itulah sosok KASIH yang turun dari surga seperti malaikat. Kerelaan sang biarawan (yang juga terhubung dengan “kerja” Bunda Teresa) itu, rupanya memberi semangat hidup tersendiri bagi kaum miskin di daerah kumuh. Melalui dialah Kasih Allah bagi kaum miskin benar-benar menjadi nyata.
Lalu Kasih pun menyentuh seorang dokter muda yang berada ribuan mil jauhnya dari Calcutta. Dokter muda yang telah bertunangan, hidup mewah di Amerika, serta tengah bersiap menyelesaikan spesialisasinya tersebut, bersedia datang menanggapi surat sang biarawan untuk bergabung.
Sang dokter merelakan diri terjun dalam
kumuhnya Negeri Bahagia untuk mempraktikkan ilmunya tanpa imbalan apa pun.
Tanpa tahu kondisi riil sebuah tempat bernama Negeri Bahagia, sang dokter yakin
untuk melepaskan kesenangan hidup di tengah kemewahan di negara asalnya. Satu
lagi seorang malaikat turun dari surga. Itulah KASIH.
Membaca novel ini seperti berada bersama sang biarawan dan sang dokter di Negeri Bahagia itu. Sering kali kita seakan-akan harus menahan napas dan menutup hidung karena mencium bau anyir slum area. Kita pun harus menahan diri melihat peluh bercucuran dari para penarik.
Kita juga kerap kali harus menahan miris
melihat kematian-kematian dan bahkan pengobatan atau operasi yang mengenaskan.
Hingga puncaknya sering pula harus menahan malu bila kita menyadari hidup ini belum
berarti karena sedikit saja hal baik yang dilakukan. Atau mungkin telah berbuat
banyak, tetapi tanpa lapisan KASIH.
Selanjutnya, boleh jadi kalimat bijak Bunda
Teresa pun akan terngiang-ngiang. “Kita harus tahu bahwa kita telah diciptakan
untuk perkara-perkara yang lebih besar daripada sekadar memenuhi bumi, juga
lebih besar dari sekadar mendapatkan gelar dan jabatan, atau sekadar melakukan ini
dan itu. Kita telah diciptakan untuk mengasihi dan dikasihi.”
Kita mungkin lelah oleh pelayanan, bahkan mengorbankan nyawa untuk
itu.. tetapi jika pelayanan kita tidak mengandung kasih, maka sia-sialah
semuanya.
Kalimalang, 18 Februari 2009