Mengunjungi Bude Parto di Yogyakarta (Foto: @widhi_three) |
Wedang jahe buatan Bude benar-benar maknyus
dan ngangeni. “Ndak ada rahasia. Resepnya sama dengan orang-orang, cuma jahe
sama gula merah!” tutur Bude tentang minuman tradisional buatannya. Bila
lidahku atau orang lain mencecap rasa lebih nikmat, pasti karena Bude membuatnya
dengan penuh kasih, sama seperti alasannya hadir dalam setiap kegiatan gereja.
Hanya karena kasih Kristus.
Bude! Begitulah aku menyapanya, juga sebagian
besar umat di Wilayah St. Sicilia juga Paroki St. Paulus, kota Depok. Wanita
sederhana yang sebenarnya bernama Juliana ini juga akrab dipanggil Bude Parto—mengikuti
nama almarhum suaminya, Suparto. Bude adalah sosok yang sangat ramah serta
murah senyum. Bude juga periang dan humoris. Tak lama setelah berkenalan aku
langsung saja merasa akrab seperti bertemu eyangku. Bagaimana tidak? Setiap
kugoda atau mendengar leluconku, Bude selalu tergelak riang kadang bahkan turut
melucu. Bercanda dengan Bude seperti bercanda dengan teman sebaya.
Sejatinya wanita yang suka menggelung
rambutnya tersebut sudah tidak muda lagi. Tahun 2011 saat aku pertama kali berkenalan,
usia Bude tercatat baru 66 tahun. Padahal sebenarnya lebih tua sekitar 5-10
tahun, mungkin 72 atau bahkan 80. Di KTP
ditulis lahir tahun empat lima, tapi sebenernya lahirku tahun tiga puluhan, pokok
sebelum Indonesia merdeka juga sebelum
Jepang datang. Demikian Bude mengisahkan perihal usianya. “Wah jadi muda banget, harusnya Bude
dipanggil Tante dong,” candaku. Bude Parto yang tercatat sebagai anggota
paguyuban lansia pun tertawa panjang.
Sampai tahun 2014 Bude Parto tinggal
sendiri di rumah mungilnya yang bersih dan asri di daerah Kampung Lio. Meskipun
hidup sederhana dan seorang diri, Bude bukan lansia yang lemah. Bude bahkan
sangat energik. Kerutan di tangan dan kaki, keriput di wajahnya, juga putih rambutnya
sama sekali tidak mengaburkan sorot matanya yang memancarkan semangat muda. Sakit
pada bagian pinggang dan kakinya yang cukup serius tidak pernah meredupkan semangat
Bude untuk berjalan kaki ke mana pun pergi, terlebih untuk kegiatan gereja. Hujan
ataupun panas tidak pernah menghalangi langkahnya. Kata ‘malas’ dan ‘lelah’ sepertinya
tidak ada dalam kamusnya. Padahal rumah Bude jauh dari jalur angkot. Kebetulan angkot
pun hanya mengelilingi wilayah perumahan kami sehingga jalan kaki adalah
satu-satunya pilihan jika tidak memiliki kendaraan. Jarak terjauh antarrumah di
Wilayah St. Sicilia harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 20-30 menit.
Satu-satunya
alasan kita ikut dalam kegiatan gereja semestinya hanya karena dan untuk Tuhan. Jangan kita melayani karena terpaksa bahkan sambil bersungut-sungut. Atau,
jangan karena si A tidak datang doa di rumah kita, lalu kita pun “balas dendam”
tidak mau hadir saat doa dilakukan di rumah si A. Demikian nasihat seorang
prodiakon di wilayahku. Sepertinya Bude telah mengikuti nasihat itu, karena nyaris
tidak pernah absen dari kegiatan di lingkungan, wilayah, dan paroki. Tidak
hanya misa hari minggu, tetapi Bude juga rajin ikut ibadat/misa wilayah, renungan
BKSN/APP/AAP, doa rosario sebulan penuh, novena, arisan, paguyuban lansia, latihan/tugas
koor wilayah, tugas tata tertib, dan sebagainya. Di tingkat lingkungan/wilayah,
tidak peduli jika umat yang ketempatan itu tidak pernah hadir di rumahnya atau
bahkan tidak pernah aktif, Bude tetap saja akan hadir. Hanya satu alasan yang
terlintas dalam benak Bude, yaitu ia datang untuk berkumpul dan berdoa dalam
nama Yesus. Saat kami yang muda mengeluh capek sepulang kerja, atau beralasan tak
ada transportasi, Bude sudah melangkahkan kaki untuk memenuhi setiap undangan. Bude
hanya absen jika benar-benar tak sanggup menahan rasa sakitnya atau cuaca
benar-benar sangat buruk. Namun hal ini pun jarang terjadi.
Oleh karena itu bila muncul rasa
malasku untuk hadir dalam kegiatan lingkungan/wilayah karena harus berjalan
jauh, suara hatiku sontak akan menegur keras mengingatkanku pada sosok Bude. Jika Bude
yang sudah sepuh dan kurang prima tak pernah absen, kenapa aku yang muda dan
sehat justru sedemikian malas? Saat enggan latihan/tugas koor, bayangan
Bude—yang kadang menyanyi sampai terbatuk-batuk serta memegang teks dengan tangan
gemetar karena usia lanjut—membuatku malu pada diri-sendiri. Saat merasa berat menjalankan
tugas tata tertib, bayangan Bude yang sibuk mengumpulkan kantong kolekte dengan
setengah terbungkuk dan tangan gemetar, seperti bergegas hadir menamparku.
“Semangat
dan perjuangan hidupnya patut diteladani. Pribadi Bude yang mandiri dan jarang
mengeluh meski sakit membangkitkan semangat bagi pengurus dan umat lain untuk terus
melayani,” tutur Alex salah satu pengurus wilayah. Lain lagi kisah Ibu Seve, ketua
lingkungan di mana Bude pernah tinggal. Suatu hari saat ia berniat absen kegiatan
doa karena hujan akhirnya tetap pergi juga tersebab Bude datang ke rumahnya dan
mengajak berangkat. Tanpa bermaksud menggurui, Bude telah menjadi panutan
dengan sendirinya. Siapa pun yang melihat betapa rajin Bude, pasti merasa
sungkan jika tidak hadir dalam doa yang diadakan di rumahnya. Alhasil saat doa/renungan
dilakukan di rumah Bude, bisa dibilang yang hadir cukup banyak, bahkan meskipun
hujan lebat mengguyur.
Meski hidup sederhana Bude tidak
pernah malu, bahkan cenderung terbuka. Dalam kehidupan menggereja, baik di
lingkungan, wilayah maupun paroki, Bude selalu siap memberi sekecil apa pun sesuai
kemampuannya. Saat kegiatan doa/renungan diadakan di rumahnya, Bude yang kadang
masih menjahit baju, selalu menyiapkan makanan buatan sendiri. Biasanya berupa
camilan tradisional, rebusan (pisang, dll), atau bihun goreng, serta tidak
ketinggalan adalah wedang jahe
andalannya. Bude juga siap menyumbangkan tenaga untuk ikut memasak keperluan kembul bujana (makan bersama untuk mempererat
ikatan persaudaraan penuh kasih) di hari perayaan, seperti peringatan hari
pangan atau pesta nama paroki. Wedang
jahe menjadi minuman favorit sekaligus ciri khas kesertaan Bude Parto.
Sudah dua tahun ini Bude hijrah ke
Yogya untuk menghabiskan hari tuanya dekat dengan keluarga. Namun sosok Bude
yang penuh semangat masih tertinggal di hatiku dan saudara-saudara seiman di Depok.
Sesekali aku suka meneleponnya dan juga berkunjung ke Yogya untuk melepas kangen—menggoda
lalu mendengar tawa renyahnya yang mengandung virus semangat. Di kota Gudeg, konon
Bude juga aktif di lingkungan St. Fransiskus Xaverius, Paroki St. Paulus,
Pringgolayan. Tak ada yang berubah. Tidak hanya tekun dalam doa pribadi, Bude
masih rajin menapaki jalan demi menghadiri kegiatan di lingkungan. Selain
memberi kebahagiaan, bagi Bude kehidupan menggereja juga menjadi tanda kesetiaannya
mengikut Yesus yang telah diimaninya semenjak kecil. “Lha wong ndherek Yesus itu tenang, enak ndak macem-macem, ati tentrem,”
tutur wanita yang cenderung menampilkan senyuman malu-malu kucing jika mendapat
pujian.
Sosok Bude memberi teladan
yang tampaknya kecil namun sungguh mengena. Dalam kesederhanaan, tanpa jabatan,
tanpa pendidikan tinggi, dan tanpa banyak bicara; imannya mewujud lewat
kehadiran yang tulus, penuh kasih, serta siap melayani. Bahkan wedang jahe yang dibuat Bude dengan
penuh kasih menjadi pengingat akan pesan rasul Paulus: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih,
dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Andaikan aku lakukan yang luhur mulia
Jika tanpa kasih cinta hampa tak berguna
Andaikan aku dermakan segala milikku
Tapi hanyalah cintaku sanggup membahagiakan
Semarang,
28 September 2016