Sudah seharusnya berpamitan
saat pergi dari suatu tempat di mana kita masih meninggalkan orang lain. Entah
keluarga di rumah, atasan/rekan di kantor, bahkan teman-teman di tempat
nongkrong. Berpamitan menjadi sangat penting saat kita bertamu. Hanya maling
yang konon tidak pernah berpamitan. (Datang pun dia tidak permisi!
Hehehe...)
Berpamitan menjadi tata krama yang sangat dijunjung tinggi dalam berbagai adat/
kelompok masyarakat. Orang yang tidak berpamitan saat meninggalkan tempat, bisa
dibilang “tak punya adat”. Dalam keluarga muslim, mengucapkan Assalamualaikum1)
sebelum pergi atau saat datang wajib hukumnya.
Dari empat bersaudara, aku
bisa dibilang paling bandel. Saat masih duduk di Sekolah Dasar, aku kadang
berpamitan sesukaku. Aku sering berteriak sambil berlari keluar rumah. Alhasil,
ibuku akan menyuruhku kembali untuk memperbaiki caraku berpamitan. Dengan
cemberut atau berkeluh kesah, biasanya aku akan kembali, menghampiri Ibu atau
Ayah lalu mencium punggung tangan beliau sambil bergumam kesal “Bu/Ayah,
berangkat sekolah”.
Setelah besar kebandelanku
dalam berpamitan kadang kala masih kuulang. (Bukan bandel ... hanya iseng!)
Saat jadi perantau di Medan, aku tinggal bersama sebuah keluarga Batak Karo.
Pada Mamak (Ibu kost yang sudah menjadi orang tua sendiri), aku sering
bercanda. “Mak, Laos aku … Vietnam, Kamboja, Thailand!” Laos
dalam bahasa Karo berarti pergi. Ibu kost yang kupanggil Mamak pun biasanya
hanya tersenyum sumringah menanggapi kebandelanku.
Konon katanya, kalau disuguh
makan besar saat bertamu, tidak sopan jika segera sesudah menghabiskan makan
kita langsung berpamitan. Entah hanya Ibuku yang memiliki prinsip ini dan
mengajarkan pada anak-anaknya atau memang semua ibu demikian. Setelah aku
semakin berumur, prinsip tersebut benar-benar kuakui kebenarannya. Bukan hanya
menyangkut kesopanan tapi juga kesehatan. Secara biologis, berpamitan sesudah
selesai menyantap makan besar memang tidak tepat karena proses pencernaan belum
lagi sempurna. Mungkin perlu waktu 10-15 menit. Kalau beruntung, mungkin masih
ada tawaran semangkuk es krim sebagai makanan penutup. :)
Pernah aku main ke rumah
temanku dan disuguh makan siang. Sesudah menghabiskan makan siang aku pamit
pulang. “Wah, SMP ya?” Seloroh ayah temanku. Aku hanya tersenyum tak mengerti.
Wah, beliau menyangka aku anak SMP! Mungkin ayah temanku memang tidak tahu
kalau aku ini teman sekolah anaknya di SMA. Namun, beberapa tahun kemudian
seloroh yang sama kudengar dari kakak sepupuku. Waktu itu karena takut
kemalaman pulang dari rumahnya, sesudah makan malam aku buru-buru pamit. “Kok
SMP, gak elok! Ngobrol dulu sebentar!” Demikian kata kakakku. Selidik
punya selidik, ternyata akronim SMP seperti seloroh ayah teman SMA-ku adalah
kependekan dari Sesudah Makan Pulang. Ha...ha... ha...
Ada satu hal tentang
berpamitan yang selalu membuatku tersenyum. Tamu di rumah orang tuaku selalu
berpamitan lebih dari satu kali. Makin akrab tamu itu dengan keluarga kami
semakin banyaklah salam pamit akan disampaikan.
Pertama, jika tamu seorang rekanan biasa. Beranjak dari kursi
tamu ia akan mengucapkan salam pamit dan bersalaman. Ayah atau Ibuku biasanya
akan mengantar sampai pintu. Di pintu sekali lagi mereka berpamitan dan
menghilanglah tamu di kelokan teras. Mengucapkan kata pamit dan bersalaman
dalam 2 waktu berbeda, bisa dihitung dua kali berpamitan!
Kedua, jika tamu itu adalah teman dekat. Biasanya sambil
menyeruput suguhan minuman untuk terakhir kali, mereka akan melontarkan kalimat
pamit. “Sampun cekap, nyuwun pamit”. Beranjak dari kursi mereka akan
bersalaman dengan Ayah/Ibuku dan kembali mengucapkan salam pamit lengkap dengan
ucapan terima kasih untuk suguhannya. Tapi jangan salah, obrolan masih akan
berlanjut karena Ayah/Ibuku akan mengantar hingga ke depan rumah sampai mereka
lenyap di ujung jalan. Maklum teman dekat! Di teras rumah, biasanya sang tamu
akan berpamitan lagi. Lalu di atas kendaraan atau di dalam mobil mereka kembali
berpamitan. Jika dihitung jumlahnya empat kali!
Ketiga, jika sang tamu adalah keluarga dekat. Tamu golongan ini
tentu akan menembus batas-batas area publik. Saat pertama datang bisa langsung
ngobrol di dapur bersama Ibu, pindah ke ruang keluarga, ruang tamu, teras, atau
ruang mana pun. Saat mereka sudah berpamitan pulang, mungkin saja Ibu baru
selesai memasak lalu menawarkan makan. Selesai ngobrol di ruang makan pamitan
kembali diulang, sambil berjalan ke ruang tamu. Bukan langsung keluar mereka
masih duduk lagi di ruang tamu. Ngobrol lagi. Lalu sambil menandaskan suguhan
kopi enak bikinan ibu sang tamu akan berpamitan lagi. Lalu di pintu,di teras
rumah, juga di mobil. Jumlahnya , enam kali!
Keempat, bagaimana jika tamunya seorang pelupa? Berurusan dengan
tamu pelupa, tentu lebih banyak lagi salam pamit yang akan kami terima.
Terlebih lagi jika tamu pelupa itu adalah keluarga dekat. Wah, bisa lebih dari
sepuluh kali salam pamit terucap. Bagaimana tidak? Sejak beranjak pertama kali
hingga berada di atas kendaraan saja sudah 5 kali pamit. Bayangkan, jika tamu
itu kembali masuk ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal. Tebaklah,
dia tentu akan berpamitan lagi, lagi, lagi, lagi. dan lagi.
Ternyata bukan hanya tamu di rumah orang tuaku yang pamit berkali-kali.
Beberapa temanku mengaku selalu berpamitan lebih dari 2 kali. Bahkan, ada
seorang teman yang punya kenangan lucu tentang berpamitan. Setelah berkali-kali
pamit, akhirnya justru dia pergi bersama seluruh penghuni rumah (yang telah
diberi salam pamit).
Pada waktu itu temanku berada di rumah tunangannya. Dia dan tunangannya
berencana pergi ke gereja. Sebelum pergi, temanku pamit pada calon mertua dan
seisi rumah. Eh, baru sampai di teras rumah, hujan turun dengan lebat.
“Tunggulah reda,” kata tunangannya. Mereka pun duduk dan ngobrol di teras.
Setelah reda, temanku berpamitan lagi. Kedua calon mertua mengantar sampai di
teras. Beberapa kali motor dihidupkan selalu gagal. Olala... ternyata busi
motor harus dibersihkan. Terpaksa temanku duduk di teras, sementara tunangannya
membereskan motor. Setelah motor selesai diperbaiki... sekali lagi mereka
berpamitan... untuk ke-3 kalinya. Bremmm... kali ini benar-benar berangkat!
Tapi, belum jauh berkendara, tepatnya ketika sampai di gerbang, sebuah mobil
membunyikan klakson hendak masuk halaman. Pengendaranya adalah tante sang
tunangan.
“Ngobrol dululah. Tante kan belum kenal...,” kata sang Tante dari dalam mobil.
“Kita ke gereja yang ke-2 saja,” bisik tunangannya.
Motor dimatikan dan mereka kembali masuk ke rumah. Bersama tunangan dan kedua
calon mertuanya, temanku menemani sang tante ngobrol. Setelah ngobrol cukup
lama, calon mertua memutuskan untuk ke gereja bersama-sama sang tante. Temanku
dan tunangannya juga diajak semobil. Akhirnya... temanku, tunangannya, dan
seluruh keluarga bermobil bersama ke gereja. Jadi untuk apa dari tadi pamit
berkali-kali, begitu cerita temanku sedikit kesal.
Pernah terlintas di benakku bahwa berpamitan berulang kali adalah sebuah basa
basi yang sangat basi. Dan, aku berniat menghilangkannya! Aku hanya akan
berpamitan satu kali jika bertamu, begitu janjiku! Tapi janji itu ternyata
susah diterapkan! Setelah diantar tuan rumah hingga pintu gerbang halaman dan
tidak berpamitan sekali lagi, aku merasa seperti orang yang tidak punya sopan
santun. Ah peduli amat jika basa basi ini memang basi! Mungkin basa basi adalah
salah satu keindahan hidup di negara timur.
Kalimalang, Maret 2009
Catatan:
1. Assalamualaikum: salam
dalam bahasa arab
2. Mak, laos aku (Bhs. Karo): Mak, pergi/berangkat aku.
4. sumringah (Bhs. Jawa): gembira
5. gak elok (Bahasa Jawa): tidak sopan/baik.
6. Sampun cekap, nyuwun pamit (Bahasa Jawa): Sudah cukup, mohon pamit