Judul Buku : Rindu
Penulis : Sefriana
Khairil
Penerbit : GagasMedia,
Jakarta
Halaman : viii + 243
ISBN : 9789797804084
Cetakan I : 2010
Kehilangan seseorang yang paling kita kasihi adalah
satu episode kehidupan yang paling menyakitkan. Terlebih untuk sebuah
kehilangan yang kita sebut kematian. Kematian seorang yang paling kita cintai,
seolah-olah turut membunuh kita secara perlahan. Bahkan jika boleh, kita pun
ingin mati bersamanya saat itu juga. Benarkah kita harus turut “mati” bukan
oleh kehendak Yang Maha Pencipta?
Melalui novel ini Sefryana Khairil menguak
satu babak kehidupan di balik sebuah kematian. Sesudah pemakaman orang
tercinta, benarkah: everything will be fine?
Kematian Daffa-sang Buah Hati sangat memukul pasangan
Zahra dan Krisna. Daffa harus kembali kepada Sang Khalik saat masih belia
bahkan tepat di hari ulang tahunnya yang ke-5. Saat sebuah pesta dan semua
kebahagiaan kanak-kanak telah disiapkan. Kepergian yang begitu tiba-tiba. Tak
ada seorangpun yang siap untuk sebuah kehilangan.
Pukulan semakin terasa bagi Zahra, karena kepergian
Daffa secara tidak langsung adalah akibat keteledorannya. Setidaknya itulah
yang dipercayainya. Sebuah kecelakaan yang mungkin tak akan terjadi, bila Zahra
tidak membawa Daffa pergi atau jika Zahra erat-erat menggandeng buah hatinya.
Di antara tangisan akan kepergian Daffa, Zahra masih harus mendengar pertanyaan
yang tak sanggup dijawabnya: “Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi? Kok
bisa sih… ?” Berbagai pertanyaan yang selalu menghantui dan membuatnya
semakin terpuruk dalam perasaan bersalah. Terlebih saat Ibu Mertua mengetahui
kematian cucunya. Zahra merasa dirinya dianggap sebagai ibu yang tidak becus
mengurus anak, selain sebagai “bukan menantu idaman”.
Di sisi lain, Krisna digambarkan sebagai khas lelaki
yang “terpaksa” harus terlihat tegar, meskipun kenyataannya ia memiliki rasa
kehilangan yang sama besarnya dengan Zahra. Krisna selalu berusaha menenangkan
Zahra dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Krisna menyembunyikan
tangisnya dari semua orang. Krisna terlanjur dikenal sebagai sosok yang tegar,
pejuang yang pantang menyerah, lembut dan penyayang. Krisna yang tetap
menghormati sosok Ibu, meskipun sejatinya sang Ibu memilih meninggalkan dia dan
Ayahnya saat dirinya masih kecil. Krisna yang tetap menerima Ibunya, meskipun
sebaliknya sang Ibu sempat tidak menyetujui wanita pilihannya. Seorang Krisna
dengan masa lalu keluarga yang suram, dan sangat menyayangi Ayahnya yang
terpuruk di kursi roda.
Cerita dalam novel ini mengalir begitu saja seperti
ingin mengisyaratkan bahwa apapun yang sudah terjadi di masa lalu, kehidupan
tak bisa dihentikan. Di balik sebuah kehilangan dan porak porandanya hati Zahra
dan Krisna, life must go on. Krisna harus tetap berjuang dengan
masalah-masalah di kantornya. Zahra pun sibuk dengan usaha café bersama Riska
sepupunya. Namun, rutinitas kerja tidak bisa menutupi masalah. Pada
kenyataannya kehidupan mereka tidak lagi sama. Kebahagiaan keluarga kecil
mereka, saat-saat bahagia bersama Daffa, dan kepergian Daffa senantiasa
menghantui mereka. Cara mereka memandang kehidupan dan pasangannya berubah
tanpa mereka sendiri menyadarinya.
Zahra tak bisa lepas dari penyesalannya. Sering kali
dia berkutat dengan kamar dan barang-barang Daffa. Sebaliknya Krisna
terus-menerus menegarkan diri dan berusaha memulihkan kehidupan rumah
tangganya. Dengan sabar ia mengajak Zahra memulai semua dari awal. Begitu
terlihat tegarnya, hingga Zahra sempat menganggap rasa kehilangan Krisna tidak
sebesar dirinya. Keputusasaan Zahra berbuntut penolakan-penolakannya terhadap
kemesraan dan keinginan Krisna untuk memiliki anak lagi. Penolakan Zahra
menjadi lubang besar yang menganga dalam mahligai perkawinan mereka. Jarak di
antara Zahra dan Krisna semakin melebar meskipun mereka berdekatan. Rasa
kehilangan yang dalam dalam diri mereka masing-masing tidak terungkapkan dengan
tepat. Setiap kata dan awal romantis justru sering berakhir menjadi belati yang
saling melukai. Mereka hanya saling menebak tanpa tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
Sampai setengah bagian novel ini, kehidupan rumah
tangga Zahra-Krisna semakin tidak baik-baik saja. Keputusan Krisna untuk tidak
lagi menyakiti Zahra menjadi suatu yang dilematis. Hingga akhirnya keputusan
melepas Zahra seolah merupakan jalan terbaik. Namun, perpisahan menjadi
permenungan panjang bagi Zahra dan Krisna. Mengikuti permenungan Zahra-Krisna,
pembaca seperti diajak melihat bayangan diri: bagaimana kita pun terkadang
tidak bisa memahami diri kita sendiri dan terlebih memahami orang lain. Kita
perlu orang-orang terdekat untuk menyadarkan posisi kita. Perlu sebuah
perpisahan untuk menyadari pentingnya seseorang bagi hidup kita.
Melalui novel bergenre romantis ini, Sefryana
Khairil sepertinya ingin mengungkapkan satu hal penting: penyesalan akan
masa lalu terkadang membuat kita melupakan kehidupan yang sedang kita jalani.
Kita lupa bahwa kehidupan tidak berjalan mundur atau berjalan di tempat.
Penyesalan sering membuat kita tidak realistis menghadapi hidup. Meniadakan
orang-orang di sekitar kita untuk sesuatu yang telah tiada. Novel ini juga
dapat menjadi pengingat bagi pembaca akan adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam menghadapi sebuah kehilangan. Saat seorang perempuan terus-menerus
menangis mungkin itulah cara penyembuhannya. Sebaliknya bila seorang lelaki
terlihat tegar, belum tentu dia tidak terluka.
Gaya bahasa dan cerita yang mengalir membuat novel ini
tidak membosankan. Beberapa kalimat bisa menyentuh dan membawa pencerahan.
Simaklah: menjadi bahagia bukan bagaimana bisa tersenyum. Tapi bagaimana
bisa menerima dengan hati lapang (halaman 113). Novel ini menjadi unik
dengan kutipan romantis yang mengawali setiap bagian cerita. Selain mewakili
greget kisah pada setiap episode, kutipan-kutipan itu juga membawa gelitik
tersendiri bagi pembaca.
Catatan:
Resensi ini ditulis untuk Lomba Resensi Novel Rindu